Oleh : Sharia Consulting Center
Definisi
Zakat Fitrah adalah zakat yang disyariatkan dengan berakhirnya bulan Ramadhan sebagai pembersih dari hal-hal yang mengotori shaum, dan santunan yang mencukupi fakir-miskin di hari raya Fitri.
Landasan Hukum
Hadits Rasulullah Saw.:
عن ابن عمر ض قال : فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين وأمر بها أن تؤدي بها قبل خروج الناس إلى الصلاة {متفق عليه }
“Dari Ibnu Umar ra berkata: “Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah, satu sha kurma atau gandum pada budak, orang merdeka, lelaki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari umat Islam, dan memerintahkan untuk membayarnya sebelum mereka keluar untuk sholat (‘Ied)” (Mutafaqun alaihi).
Hukum Zakat Fitrah
Zakat Fitrah disyariatkan seiring dengan disyariatkannya shaum Ramadhan pada tahun kedua hijriyah. Status hukumnya pun sama. Yaitu wajib.
Adapun yang dikenai kewajiban adalah setiap muslim/muslimah, baik kaya maupun miskin, aqil baligh maupun tidak, jika yang bersangkutan masih hidup walaupun sesaat pada malam hari raya Fitri, serta mempunyai kelebihan dari kebutuhan primernya untuk sehari semalam Idul Fithri.
Hikmah Zakat Fitrah
Termasuk kebutuhan primer adalah makan, pengobatan yang sakit, kiswatul Ied (pakaian hari raya) jika memang perlu ganti pakaian, juga untuk membayar utang yang tidak dapat ditangguhkan lagi. Bagi yang mempunyai tanggungan wajib mengeluarkan zakat fithrah bagi orang yang dibawah tanggungannya, kecuali orang yang dibawah tanggungannya mampu untuk mengeluarkan sendiri. Maka, status hukumnya menjadi anjuran.
Pihak yang Berhak Menerima (Sasaran) Zakat Fitrah
Sebagaimana zakat yang lain mereka yang berhak mendapatkan (masharif) zakat fitrah ada 8 (delapan) kelompok, sesuai dengan firman Allah:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ(60)
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS At-Taubah 60) .
Namun demikian, lebih diutamakan atau diprioritaskan untuk fakir-miskin, supaya mereka dapat merasakan kegembiraan di hari raya. Rasulullah Saw bersabda:
“فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصيام من اللغو والرفث وطعمة للمساكين،
“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang berpuasa dari kesalahan dan kerusakan, serta sebagai makanan untuk orang miskin” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Ketentuan Zakat Fitrah
1. Besar sha’ menurut ukuran sekarang adalah 2176 gram (2,2 Kg). Boleh dan dipandang baik (mustahab) memberi tambahan dari kadar tersebut, jika dimaksudkan untuk kehati-hatian (ikhtiyat) mengenai ekuivalen sha dengan kilogram dan menunjang santunan kepada fakir miskin agar lebih mencukupi dan efektif.
2. Boleh mengeluarkan zakat Fitrah dengan uang jika lebih bernilai guna bagi fakir miskin penerimanya, terlepas apakah lebih memudahkan bagi pihak pembayar zakat atau tidak. Sebagaimana difatwakan oleh para ulama mazhab Hanafi dan ulama modern, juga diriwayatkan dari Hasan Al Bashri dan Umar bin Abdul Aziz.
3. Untuk kembali ke ashalah dan khuruj anil khilaf (keluar dari khilaf) sangat ditekankan mengeluarkan zakat fithrah dalam bentuk qut (bahan makanan pokok, beras) dan sedapat mungkin dengan kualitas yang terbaik.
4. Sebaiknya zakat fitrah sudah dikeluarkan/dikumpulkan dua hari sebelum hari raya, sebagaimana yang dilakukan sebagian sahabat, di antaranya Ibnu Umar ra. Hal ini jelas akan menunjang realisasi Ighnaul masakin (memberikan kecukupan kepada kaum miskin) pada hari Idul Fithri dan melancarkan penanganannya.
5. Boleh mengeluarkan zakat di-tajil (dipercepat) sejak awal-awal Ramadhan, dan masih boleh/sah mengeluarkannya bada shubuh hari raya, tapi sebelum usai shalat Ied. Jika sesudahnya, maka kedudukannya bergeser dari zakat fithrah yang fardhu menjadi shadaqah sunnah. Ha ini berdasarkan hadits berikut:
فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ *
”Barangsiapa yang membayarnya sebelum shalat, maka itu adalah zakat yang sah, dan barangsiapa membayarnya setelah shalat maka itu adalah sedekah sunnah” (HR Ibnu Majah).
6. Sejalan dengan ketentuan nomor 5, ketika terjadi perbedaan dalam penanggalan akhir Ramadhan atau 1 Syawal, maka yang jadi pertimbangan sah-tidaknya zakat fithrah yang dikeluarkan adalah sesuai dengan penanggalan yang dianut/dipilih muzaki. Yang bersangkutan dapat mengeluarkannya sendiri kepada para mustahiqin, atau mewakilkannya kepada suatu panitia sebagai amanah, baik penerimanya berlebaran pada hari yang sama dengan muzaki ataupun berbeda. Hal itu agar tujuan tumatul lil masakin atau menyantuni fakir-miskin tetap tercapai.
Memang patut mempertimbangkan kesamaan hari raya agar sesuai perintah Rasul saw : Buatlah mereka tidak meminta-minta pada hari ini. Kesamaan waktu hari raya adalah afdhal. Jika berbeda, dikhawatirkan tidak ada para mustahiqin di sekitarnya, sehingga zakat jadi terlantar.
7. Sejalan dengan hal tersebut, maka bagi suatu panitia zakat fithrah yang berhari raya lebih dahulu dari sebagian masyarakat, dapat melakukan hal-hal berikut:
Pertama: Tidak menerima zakat fithrah setelah panitia ini melaksanakan shalat Ied, jika dapat memberikan penjelasan tanpa mengundang fitnah dengan mereka/masyarakat sekitar.
Kedua: Zakat fithrah harus sudah diterima oleh mustahiq atau wakilnya (bukan amil zakat) sebelum shalat Ied. Adapun penyerahan dari wakil kepada mustahiq tidak diharuskan sebelum shalat Ied.
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center