0878 8077 4762 [email protected]

Etika Berpendapat

Teringat kita betapa sabarnya Nabi mendengarkan Utbah ibn Rabi’ah utusan quraisy yang ahli berargumen. Padahal yang dia ucapkan adalah caci maki, fitnah, dan umpatan. Di saat Utbah telah berhenti bicara, Nabi masih tersenyum mesra dan bertanya, “Adakah engkau sudah selesai hai Abdul Walid?” Utbah berkata, “Ya”. Beliaupun bersabda, ” Aku telah mendengarkanmu hai Abdul Walid. Kini berkenankah kau simak ucapanku?” Maka terlantunlah kalam suci dan terpesonalah Utbah. Dia mendengarkan, sebab Muhammad sedia mendengarkannya bicara.
Utbah pulang dengan mengubah sikap. “Menurutku kalian tidak perlu memusuhi Muhammad. Kalau bangsa Arab mengalahkannya kalian tak rugi. Tetapi jika Muhammad menang, jadi kemuliaan kalian juga.” Sontak pembesar quraisy tertegun kaget akan perubahan Utbah setelah bertemu Nabi Muhammad. Maka berkuranglah satu tokoh penentang quraisy.
Dengarkanlah siapapun yang berpendapat. Apapun pendapatnya dan bagaimanapun cara dia mengungkapkannya. Adapun cara kita berpendapat adalah dengan hikmah (surah An Nahl : 125)
Ibrahim misalnya di surah Ash Shaaffat ayat 102 bahwa menyembelih putranya adalah perintah Allah, tetapi ia tak langsung menetak leher anaknya, Ismail. Ibrahim mengajarkan seyakin apapun kita bahwa suatu hal adalah perintah Allah, meminta pihak terkait untuk berpendapat adalah sebuah kemuliaan. Penerapan syariat harus melalui pembicaraan dengan siapapun yang terkena dampaknya : masyarakat atau target dakwah.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media

Ejekan pun Bisa Jadi Jalan Hidayah

Seperti kisah Ibnu Hajar Al Asqalani, penulis Fathul Bari yang termasyur itu, ketika suatu hari melintas dengan kereta mewahnya.
Beliau dicegat oleh seorang Yahudi penjual minyak ter. Penampilan keduanya bertolak belakang. Ibnu Hajar tampak anggun dan megah. Sementara Yahudi penjual minyak ter itu dekil, compang-camping, berbau busuk dan kumal. Dicegatnya Ibnu Hajar lalu dia bertanya.
“Nabimu mengatakan bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surganya orang kafir, benarkah demikian?” ujarnya
“Betul, demikianlah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wasalam yang diriwayatkan muslim.” sahut Ibnu Hajar tersenyum
“Kalau begitu akulah mukmin dan kamulah kafir!” hardik si yahudi
“Oh,” sahut Ibnu Hajar sembari tersenyum lagi, “mengapa bisa demikian hai ahli kitab yang malang?”
Si Yahudi menjawab, “Coba lihat, aku hidup dalam susah dan nestapa sebagai penjual minyak ter, aku merasa terpenjara, maka aku mukmin. Sementara kamu hidup mewah dan megah, maka kamu seperti di surga. Sesuai hadis tadi, kamu adalah orang kafir
Ibnu Hajar mengangguk-ngangguk menyimak.
Setelah tersenyum lagi, beliau berkata, ” Sudikah jika aku jelaskan padamu makna yang benar dari hadis itu duhai cucu Israil?”
“Dunia ada penjara bagi seorang mukmin seperti diriku, sebab segala kemewahan yang kunikmati sekarang tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Allah sediakan untuk kami di surga. Dalam kemewahan ini, kami menanti nikmat yang jauh lebih berlipat. Maka hakikatnya, dunia ini penjara buat kami.”
“Sementara kau didunia memang payah dan menderita. Tetapi semua nestapamu itu tiada artinya dibanding apa yang Allah sediakan bagimu kelak di neraka. Duniamu yang menyiksa itu, sungguh adalah surga tempatmu masih bisa tersenyum, makan, dan minum; menantikan siksa abadi kelak di neraka sejati.”
Yahudi penjual ter itu ternganga kagum, bahwa senang dan derita didunia tidak ada apa-apanya. Lalu dengan mata berkaca-kaca, dia berkata lirih, “Asyhadu allaa illaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar rasuulullah.
Segera tanpa memedulikan pakaiannya yang mungkin terkotori, Ibnu Hajar memeluk si penjual minyak ter yang kini telah berislam. “Selamat datang! Selamat datang saudaraku! Selamat atas hidayah Allah padamu, pujian hanya milik-Nya!” ujar beliau. Mereka pun berangkulan erat.
Hari itu, si penjual minyak ter dibawa Ibnu Hajar ke rumahnya dididik dan akhirnya menjadi salah seorang muridnya yang utama.
Begitulah kekuatan ilmu dan ruhani yang tersambung ke langit suci. Orang shalih itu mengilhami, bahkan ‘ejekan’nya pun bisa menjadi jalan hidayah.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media

Dosa dan Taubat

Ditanya Hasan Al Bashri, “Tak malukah seorang dari kami pada Allah jika dia berdosa lalu bertaubat, lalu berdosa dan bertaubat lagi?”
Beliau menjawab, “Betapa senangnya syaitan bila mengalahkan kalian hingga menghentikan istighfar. Jangan pernah berhenti memohon ampunan.”
Sahut beliau, “Apa semalam kau menunaikan qiyamul lail?”
“Tidak” ujarnya
“Begitulah. Hukuman terberat atas maksiat mungkin bukan terputusnya rezeki, tapi terputusnya munajat.” jelas Sang Imam.
Di zaman Umar, seorang pencuri dihukum potong tangan setelah tertangkap, terbukti dan tersaksi. Maka ibunya datang dan berkata, “Maafkanlah dia, ini baru pertama kali dia mencuri!”
Jawab Umar, “Wahai ibu, Allah pasti tak hanya sekali memperingatkan seorang hamba yang melakukan dosa.”
Maknanya, Allah Maha Santun. Jika seseorang sampai tertangkap dan terhukum, besar kemungkinan dosanya telah berulang dan tak ditaubati dengan segera.
Semoga Allah mudahkan kita bertaubat dari setiap dosa kala Dia masih menutup aibnya, mengampuni dan melapangkan ke surga.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media

Doa Sang Penghamba

Mari sejenak belajar pada hamba-hamba terpilih tentang doa. Hamba agung pertama adalah Musa. Betapa payah dia berlari dari Mesir hingga Madyan, dikejar pasukan setelah membunuh tanpa sengaja dengan tinjunya. Kisah yang diabadikan dalam surah Al Qashash itu amat indah, bahwa dalam lelah dan gelisah Musa tetap bergerak menolong sesama.
Ada dua putri Syu’aib yang tersebab kehormatan diri tak ingin berdesak-desakan menunggu giliran memberi minum ternak. Maka musa yang walau perkasa tapi tenaganya tinggal sisa-sisa, menolong kedua gadis mulia itu dengan begitu ksatria. Seusainya, Musa bernaung ditempat yang agak teduh. Para mufassir menyebutkan : Dia begitu lapar dan memerlukan makanan. Tetapi Musa berdoa tidak spesifik, Musa berdoa : “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqiir (Duhai Rabbku, sungguh aku terhadap yang Kau turunkan padaku dari antara kebaikan, aku amat fakir, amatlah memerlukan)” Q.S. Al Qashash ayat 24.
Musa akhirnya tidak hanya mendapat makan atas laparnya tapi juga perlindungan, bimbingan, pekerjaan, bahkan kelak istri dan kerasulan.
Hamba agung kedua adalah Yunus alaihissalam, setelah dia marah dan pergi dari kaumnya di Ninawa. Kita tahu ringkasnya Yunus dibuang ke laut dari kapal setelah tiga kali undian muncul namanya, lalu ditelan ikan.
Menurut sebagian Mufassir : ikan yang menelannya ditelan ikan yang lebih besar, jadilah ia gelap dalam gelap. Bahkan ikan itu membawanya ke dasar samudra. Maka terinsyaflah Yunus akan khilafnya, seraya berdoa. Doa yang tidak spesifik untuk keluar dari perut ikan. Tapi doanya justru : “Laa ilaaha illa anta, subhanaka inni kuntu minazh zhalimin. (Tiada Ilah sesembahan haq selain Engkau, Mahasuci Engkau, sungguh aku termasuk orang yang berbuat aniaya.” (Q.S. Al Anbiya : 87)
Akhirnya Yunus bukan hanya dikeluarkan dari perut ikan, dia bahkan diantar sampai daratan, dan bukan sembarang daratan. Ibnu Katsir mengetengahkan riwayat : Yunus didamparkan di tanah yang ditumbuhi suatu tanaman. Ketika Yunus memakannya, tanaman itu memulihkan tenaga dan kesehatannya setelah sakit dan payah berpuluh hari di perut dan di lautan.
Selain itu ketika kembali ke Niwana, seluruh kaumnya telah beriman kepada Allah. Berkata Ibnu Taimiyah, “Diantara seagung doa ialah doa Yunus alaihissalam. Padanya terkandung dua hal: pengagungan keesaan Allah dan pengakuan akan dosa.”
Para ulama juga memuji doa Adam alaihissalam : “Rabbana zhalamna anfuusana, wa in lam taghfir lanaa, wa tarhamna, lanakunanna minal khaasirin. (Duhai Rabb kami, kami telah menganiaya diri sendiri. Andai Kau tak ampuni dan sayangi kami, sungguh kami pastilah termasuk orang merugi)”.
Doa indah itu mengiba, merendah, mengakui lemah, fakir, salah dan bernodanya diri disertai mengagungkan keesaan Allah.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media.

Diam atau Jawab

Imam Syafi’i ditanya suatu persoalan, maka beliau diam. Ditanyakan, “Tidakkah engkau menjawab, semoga Allah menyayangimu?” Lalu ujar beliau, “Aku belum akan menjawab hingga kuketahui dimana hal yang lebih utama: dalam diamku ataukah jawabku.”
Cahaya Allah
Imam Syafi’i berkasidah, “Kuadukan pada Imam Waki’ buruknya dalam berhafalan.
Maka dia arahkan aku untuk meninggalkan kemaksiatan. Dan dia kabarkan padaku bahwa ilmu Allah itu cahaya. Dan cahaya Allah takkan dikaruniakan kepada pendurhaka.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media