0878 8077 4762 [email protected]

Istana Kemaafan

Suatu hari Rasulullah sedang bersama sahabat. Sejenak beliau terlihat dengan wajah khawatir, tapi tak lama kemudian tertawa kecil. Para sahabat yang heran kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kiranya sehingga engkau tampak khawatir, tetapi kemudian tertawa?”
Telah diperlihatkan padaku, ujar beliau sembari tersenyum. Dua orang dari kalangan umatku yang bersengketa dihadapan Allah. Satu diantara mereka berkata, “Ya Rabbi, tegakkan keadilan diantara kami. Dulu di dunia saudaraku ini berlaku zalim dan keji!”
Si tergugat tertunduk malu, menangis sesal dan takut. Maka Allah pun memanggil sang penuntut dengan lembut dan berfirman kepadanya. “Wahai hamba-Ku, angkatlah kepalamu!”
Maka sang penggugat menengadah dan melihat sebuah istana yang begitu indahnya. Dia terpesona. Istana itu terbuat dari permata dan marjan, dibingkai oleh emas, dihiasi mutiara.
Maka dengan takjub ternganga, hamba itu bertanya, “Duh Rabbi, bagi nabi siapakah istana ini? Atau milik orang shiddiq yang mana? Atau kepunyaan pahlawan syahid zaman apa pula?”
Maka Allah berfirman, “Istana ini akan menjadi milik siapapun yang mampu membayarnya. Jika kau memaafkan saudaramu itu, niscaya istana ini kan jadi milikmu.”
Maka berteriaklah hamba itu tergembira, “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, Ya Rabbi. Sungguh kini aku telah memaafkan saudaraku ini!”
Iniliah sebagaimana firman Allah, “Dan Kami lenyapkan dari dalam dada mereka segala rasa dendam; sedang mereka merasa bersaudara, duduk berhadapan diatas dipan-dipan.” (Q.S. Al Hijr : 47). Terkutip dari Syahr Shahih Muslim karya Imam An-Nawawi.
Semoga kisah ini menginspirasi Shalihin-Shalihat sekalian untuk saling memaafkan.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Hukum Tak Tebang Pilih

Mari kagum sejenak pada Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam dari Kerajaan Aceh kala itu (1607-1636). Atas ungkapan terkenalnya tentang hukum.
Hadih Maja, ” Mate aneuk meupat jirat, reule adat hana pat ta mita!”, Mati anak ada kuburnya. Rusak hukum tiada gantinya!
Kalimat yang jadi peribahasa ini diucapkan Sang Sultan kala menghukum rajam Meurah Pupok, putra tercintanya yang berzina.
Sebuah ungkapan yang menyentuh karena diucapkan dengan menahan air mata dan sesak di dada sebagai seorang ayah penuh cinta.
Hingga hari ini kita mengenang Iskandar Muda sebagai sosok pemimpin yang jaya semasa itu. Merindu hukum yang adil tegak, penguasa tegas bertindak, walau pada para tercinta.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro-U Media

Para Pengemban Ilmu

Menurut Adz Dzahabi, orang berilmu menjaga lisannya karena Allah. Jika takjub pada bicaranya, dia diam. Walau terlanjur dianggap berilmu jangan malu mengatakan “Aku tak tahu!”, dengan begitu Allah yang akan menjadi Gurumu.
Jagalah ilmu dengan amal. Jagalah amal dengan ikhlas. Jagalah ikhlas dengan istiqamah. Jagalah istiqamah dengan ihsan. Kesalahan para MUDA; mengira kecerdasan penentu pengalaman. Kesalahan para TUA; mengira pengalaman penentu kecerdasan.
Ucapan Imam Syafi’i untuk renungan, “Aku sangat ingin agar manusia memahami ilmu ini, dan tak menyandarkannya padaku sedikitpun.”
Bukan ilmu sejati, jika membuatmu merasa lebih tinggi. Bukan pemahaman hakiki, jika membuatmu enggan belajar lagi.
Tingginya jalan cita-cita, menyempitkan waktu sanatimu. Dalamnya ilmu, meluaskan jalan baktimu. Ketika ilmu diperbincangkan lebih banyak daripada yang diasup seharian. Hampa dan ngilu pasti hadir menyesakkan kerongkongan.
Tabiat ilmu berlelah-lelah. Sebab ia jalan tuk naik ke ketinggian. Pendakiannya terjal, udaranya menipis, dan payah peluh menghiasi.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro U Media

Bashirun bis Siyasah (Melek Politik)

Al Ghazali menyebut keengganan Muslim berpolitik menyebabkan beberapa pemimpin dari non Muslim. Politik menyentuh sisi terluas kehidupan komunal, insan berilmu jangan sampai rabun tak sadar digunakan orang lain untuk kejahatan. Sebab kuasa politik jahat akan menebar kerusakan dimuka bumi.
Kesadaran politik (Political Awareness) harus tercapai tahap demi tahap dengan tujuan kuasa keshalihan yang melayani. Kita bisa melihat contoh Hijrah muslim dulu ke Habasyah. Mengapa yang berhijrah justru para bangsawan seperti Ja’far, Ustman dan lainnya. Bukan bilal dan sekawan dengannya yang tertindas? Sebab ada tujuan politik kaum muslim kala itu.

  • Pertama, mengguncang kuasa tribalistik Quraisy. Makkah termenung saat warga terhormatnya pergi.
  • Kedua, mengeksiskan muhajirin. Andai yang pergi para budak, duta besar quraisy akan mudah mendeportasi mereka dengan alasan lari.
  • Ketiga, menyiarkan kehadiran Islam pada dunia. Habasyah sebagai subordinat Romawi yang istimewa itu, menjadi isu yang menyebar di seluruh kekaisaran.
  • Keempat, Raja Habasyah bernama Najasyi dikenal adil dan uskup-uskupnya berpengaruh. Interaksi muhajirin dengan mereka adalah pembelajaran berharga.

Demikianlah ujar Al Ghadban, tiap langkah dakwah Nabi menunjukkan mendalamnya political awareness beliau, analisa maupun tindakan. Politik mulia asal akhlak dijaga. Terobosan besar seperti cita-cita khilafah biasanya tak datang dari materi pendalaman semata, melainkan dari terbukanya pola pikir dan maju dalam politik.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro-U Media

Terdikotominya Ilmu Agama dan Ilmu Dunia

Kemunduran abad IV hijriah dari telaah Al Ghazali diantaranya tersebab saling ejeknya para ahli ilmu, antara ilmu dunia dan ilmu Agama. Saat itu mereka yang belajar ilmu fikih merendahkan pembelajar matematika, astronomi, kedokteran, perdagangan, kimia dan tata negara. Sebutan “budak dunia” dilekatkan. Sebaliknya ahli fikih dihujat “munafik”, karena menjual ilmu agama untuk kepentingan dunia, harta dan kuasa.
Ahli fikih, kata Al Ghazali harus hargai ilmu lain sebab urusan ibadah pun tak bisa lepas dari aneka pengetahuan diluar fikih tersebut. Bagi orang berpenyakit pencernaan misalnya, dokterlah yang akan jadi mufti; apakah dia bisa berpuasa Ramadhan atau tidak. Itu ilmu agamawi.
Demikian juga ilmu tekstil, ia sangat agamawi sebab terkait dengan sah-batalnya ibadah dalam tertutupnya aurat; jenis kain hingga model.
Jadilah jua seorang fakih. Jangan hanya menjadi perbendaharaan ilmu, pahami juga interaksi ilmu realitas. Dalam umpama Imam Syafii, seorang berilmu tak cukup jadi ahli hadis, dia haruslah jua seorang ahli fikih. Analoginya: apoteker-dokter.
Ahli hadis dan apoteker memahami ilmu segala bahan dan racikan. Tetapi otoritas beri ramuan dan dosis pada ‘pasien’ ada di ahli fikih dan dokter. Sebab ahli fikih dan dokter tak hanya berpegang ilmu, bahan dan racikan.  Melainkan juga mempertimbangkan kondisi fisik, organ dan metabolisme.
Penempuh jalan ilmu adalah dia yang alim; sedang dan terus berpengetahuan dengan pembelajaran tak kenal henti; mendalamkan dan meluaskan. Sang alim tak mendikotomikan ilmu jadi duniawi-agamawi. Semuanya ilmu Allah selama dikaji dengan asma-Nya dan diguna bagi kemashlahatan.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro-U Media