by Farid Numan Hasan faridnuman | Apr 22, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Oleh: Farid Nu’man Hasan
4. Jangan menyibukkan diri dalam perkara dan pertanyaan yang tidak produktif, tidak melahirkan ilmu, iman, dan amal shalih.
Bahkan perkara tersebut membawa kekesatan hati dan pikiran. Seperti menanyakan Ruyatul Hilal awal Ramadhan bagi orang yang tinggal di bulan bagaimana? Mendebatkan kelebihan sahabat Nabi yang satu di atas yang lainnya, dan berlama-lama dalam menyibukkan diri dalam perkara khilafiyah padahal dia bukan ahlinya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra (17): 36).
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
“Di antara baiknya kualitas Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.”
(HR. At Tirmidzi No. 2317, Ibnu Majah No. 3976, Ibnu Hibban No. 229, Ahmad No. 1732, dari Al Husein bin Ali, Syaikh Syu’aib Al Arna-uth mengatakan: hadits hasan lisyawahidih (hadits hasan karena beberapa penguatnya). Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Ash Shaghir No. 884, dari Zaid bin Tsabit. Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 191. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Misykah Al Mashabih No. 4839).
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhr Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
“Apa-apa yang saya larang untuk kalian, jauhilah. Apa-apa yang saya perintahkan untuk kalian, kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya binasanya manusia sebelum kalian karena banyaknya pertanyaan mereka dan berselisihanya mereka terhadap nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari No. 6858, Muslim No. 1337, Ibnu Majah No. 2, An Nasai No. 2619, At Tirmidzi No. 2679, Ibnu Hibban No. 2105, Ibnu Khuzaimah No. 2508, Ahmad No. 10531, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 8768, Al Baihaqi dalam As Sunannya No. 1693, 13368).
Al Imam Ibnu Daqiq Al Id Rahimahullah menjelaskan:
أراد: لا تكثروا السؤال فربما يكثر الجواب عليه فيضاهي ذلك قصة بني إسرائيل لما قيل لهم: “اذبحوا بقرة” فإنهم لو اقتصروا على ما يصدق عليه اللفظ وبادروا إلى ذبح أي بقرة كانت أجزأت عنهم لكن لما أكثروا السؤال وشددوا شدد عليهم وذموا على ذلك فخاف النبي صلى الله عليه وسلم مثل ذلك على أمته.
“Maksudnya ialah janganlah kalian banyak bertanya sehingga melahirkan beragam jawaban, ini menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi betina yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi tersebut, niscaya hal itu cukup bagi mereka dikatakan telah menaatinya. Tetapi, karena mereka banyak bertanya dan memberatkan diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya. (Imam Ibnu Daqiq Al Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 58. Maktabah Misykah).
Al Imam Hasan Al Banna Rahimahullah mengatakan:
وكل مسألة لا ينبني عليها عمل فالخوض فيها من التكلف الذي نهينا عنه شرعا , ومن ذلك كثرة التفريعات للأحكام التي لم تقع , والخوض في معاني الآيات القرآنية الكريمة التي لم يصل إليها العلم بعد ، والكلام في المفاضلة بين الأصحاب رضوان الله عليهم وما شجر بينهم من خلاف , ولكل منهم فضل صحبته وجزاء نيته وفي التأول مندوحة
“Setiap masalah yang amal tidak dibangun di atasnya -sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak perlu- adalah kegiatan yang dilarang secara syar’i. Misalnya memperbincangkan berbagai hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Quran yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perihal perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat (padahal masing-masing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi dan pahala niatnya) Dengan tawil (menafsiri baik perilaku para sahabat) kita terlepas dari persoalan”. (Ushul Isyrin No. 9). *bersambung
Baca juga: Adab Menuntut Ilmu Syar’i (1)
by Farid Numan Hasan faridnuman | Apr 17, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Berikut ini adalah sebagian adab-adab yang mesti diperhatikan setiap muslim yang senantiasa menyibukkan dirinya dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama, baik dia seorang dosen, guru, pelajar, mahasiswa, jamaah masjid, aktivis Islam, dan juga manusia pada umumnya.
1. Menuntut Ilmu adalah bekal bagi kemakmuran dunia dan kebaikan akhirat, bukan bekal untuk berdebat dan kesombongan.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang bodoh, atau berbangga di depan ulama, atau mencari perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka“.
(HR. Ibnu Majah No. 253. At Tirmidzi No. 2654. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 253, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2654, Misykah Al Mashabih No. 225, 226, Shahihul Jami’ No. 6382)
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Janganlah kalian menuntut ilmu dengan maksud berbangga di depan ulama, mendebat orang bodoh, dan memilih-milih majelis. Barangsiapa yang melakukan itu maka dia di neraka, di neraka”
(HR. Ibnu Majah No. 254, Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 1725, Ibnu Hibban No. 77, Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 290. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib No. 102, dan Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 254).
2. Ilmu bukan untuk tujuan rendah keduniaan, tetapi mencari ridha Allah Ta’ala.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dengannya dia menginginkan wajah Allah, (tetapi) dia tidak mempelajarinya melainkan karena kekayaan dunia, maka dia tidak akan mendapatkan harumnya surga pada hari kiamat.”
(HR. Abu Daud No. 3664, Ibnu Majah No. 252, Ibnu Hibban No. 78, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, No. 288, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani mengatakan shahih lighairih. Lihat Shahih Targhib wat Tarhib No. 105. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 3664, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, No. 252).
Dari Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam:
“Barangsiapa diantara mereka beramal amalan akhirat dengan tujuan dunia, maka dia tidak mendapatkan bagian apa-apa di akhirat.”
(HR. Ahmad No. 20275. Ibnu Hibban No. 405, Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 7862, katanya: sanadnya shahih. Imam Al Haitsami mengatakan: diriwayatkan oleh Ahmad dan anaknya dari berbagai jalur dan perawi dari Ahmad adalah shahih, Majma’ Az Zawaid 10/220. Darul Kutub Al Ilmiyah).
3. Memurnikan niat untuk Allah Ta’ala semata adalah tujuan utama
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk selain Allah atau dia maksudkan dengannya selain Allah, maka disediakan baginya kursi di neraka.”
(HR. At Tirmidzi No. 2655, katanya: hasan gharib. Ibnu Majah No. 258. Didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dhaif Al Jami Ash Shaghir No. 5530, 5687).
*bersambung
by Farid Numan Hasan faridnuman | Apr 5, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh : Farid Nu’man Hasan
Berikut ini pujian Rasulullah terhadap para sahabatnya diantaranya adalah:
Pertama, hadits ‘Sebaik-baiknya manusia adalah zamanku…’
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah zamanku, dan kemudian setelahnya, dan kemudian setelahnya.” (HR. Bukhari No. 2509, 3451, 6065, 6282. Muslim No. 2533. At Tirmidzi No. 2320, dari Imran bin Al Hushain)
Manusia zaman nabi tentunya adalah para sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam An Nawawi Rahimahullah menerangkan:
“Yang benar adalah bahwa manusia terbaik adalah zaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat, kedua tabi’in, ketiga adalah orang-orang yang mengikuti mereka.” (Syarh Shahih Muslim, Bab Fadhlush Shahabah, No. 4603. Mausu’ah Syuruh Al Hadits)
Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri:
“Sabdanya: Sebaik-baik manusia adalah zamanku, yaitu yang hidup pada zamanku. Berkata Al Hafizh (Ibnu Hajar), yang dimaksud pada zaman Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits ini adalah sahabat nabi.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 6/469. Al Maktabah As Salafiyah. Madinah Al Munawarah)
Kedua, hadits ‘Jangan cela para sahabatku …’
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jangan kalian cela para sahabatku, seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Uhud itu tidak akan bisa menyamai satu mud-nya mereka bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari No. 3470. Muslim No. 2540. At Tirmidzi No. 3952)
Imam Al Baidhawi mengatakan:
“Makna hadits adalah tidaklah infakkan kalian walau emas sebesar gunung Uhud mampu menyamai keutamaan dan pahala yang sudah diraih oleh salah seorang mereka (para sahabat) yang sebesar satu mud makanan atau setengahnya saja.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/34. Darul Fikr)
Demikian keras larangan mencela para sahabat nabi, namun kaum Syi’ah mencela mereka, dan hal itu sama juga telah mencela orang-orang yang dicintainya.
Ketiga, keutamaan Ahli Badr, ‘Lakukan apa saja Allah Telah mengampuni kalian…’
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Lakukan apa saja oleh kalian, kalian telah diampuni.” (HR. Bukhari No. 2845, 4025, 4608. At Tirmidzi No. 3360, Ibnu Abi Syaibah No. 51, 74. Al Hakim No. 6968, dari jalur Abu Hurairah, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4798, juga dari jalur Abu Hurairah)
Keempat, keutamaan para peserta Bai’atur Ridhwan, ‘Tidak akan masuk neraka orang yang ikut bai’at di bawah pohon…’
Dalam Al Quran, Allah ‘Azza wa Jalla telah memuji mereka. Berikut adalah pujian dari Rasulullah untuk mereka.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak akan masuk neraka orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.” (HR. Abu Daud No. 4653. At Tirmidzi No. 3795, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 7980).
Dari Jabir juga, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Benar-benar akan masuk surga orang-orang yang berbaiat di bawah pohon, kecuali pemilik Unta Merah.” (HR. At Tirmidzi No. 3955, katanya: hasan gharib. Al Haitsami mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan oleh Al Bazar dari Ibnu Abbas, rijalnya shahih kecuali Hidasy bin ‘Iyasy, dia tsiqah, Majma’ Az Zawaid, 9/161).
Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan tentang maksud ‘Pemilik Unta Merah.’ Katanya:
“Dikatakan: dia adalah Al Jadd bin Qais seorang munafiq.” (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim Syarh Shahih Muslim, 8/157. Maktabah Al Misykat)
Kelima, menyakiti para sahabat adalah sama dengan menyakiti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bertaqwa-lah kalian kepada Allah terhadap hak-hak sahabatku, jangan jadikan mereka sasaran kata-kata keji setelah aku wafat. Barangsiapa yang mencintai mereka (para sahabat) maka dengan kecintaanku, aku akan mencintai mereka (orang yang mencintai sahabat), dan barangsiapa yang membenci mereka, maka dengan kebencianku, aku akan membenci mereka (orang yang membenci sahabat), dan barangsiapa yang menyakiti mereka maka dia telah menyakiti aku, dan barangsiapa yang telah menyakiti aku, maka dia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa yang menyakiti Allah, maka Dia akan memberinya azab.” (HR. At Tirmidzi No. 3954, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 19641).
Dikutip dari dakwatuna.com
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 330 – 17 April 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Farid Numan Hasan faridnuman | Mar 1, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Berikut ini adalah adab-adab dalam bergurau yang mesti diperhatikan:
Pertama, hindari berbohong. Tidak sedikit manusia berbohong hanya untuk mencari perhatian dan tawa manusia. Kadang mereka mencampurkan antara yang fakta dan kebohongan atau ada yang bohong sama sekali. Islam mengajar umatnya untuk jujur baik dalam serius maupun candanya.
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba tidak dikatakan beriman dengan sepenuhnya kecuali jika dia meninggalkan berbohong ketika bergurau, dan meninggalkan berdebat meski ia benar.” (HR. Ahmad).
Dr. Muhammad Rabi’ Muhammad Jauhari mengatakan: “Beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) memberikan arahan kepada para sahabatnya agar memiliki komitmen yang kuat untuk jujur dalam bergurau dan memperingatkan dari dusta saat bergurau.
Dari Bahz bin Hakim, katanya: berkata ayahku, dari ayahnya, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Celakalah bagi yang bicara lalu dia berdusta hanya untuk membuat orang tertawa, celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi). (Akhlaquna, Hal. 179. Cet. 4, 1999M/1420H. Maktabah Darul Fakhr Al Islamiyah).
Kedua, hindari kata-kata kotor, kasar, dan keji. Kadang ada orang yang bergurau dengan menggunakan kata-kata kotor dan tidak pantas, baik mengandung porno, mengejek secara kasar, bisa jadi semua berawal dari sindiran kecil, dan semisalnya. Boleh jadi itu mengundang tawa. Tapi itu adalah gurauan berkualitas rendah yang tidak pantas dilakukan seorang muslim.
Allah berfirman:
“Wahai orang-orang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lainnya ..” (QS. Al Hujurat: 11)
Dari Alqamah bin Abdillah, dia berkata: Bersabda Rasulullah:
Bukan orang beriman yang suka menyerang, melaknat, berkata keji, dan kotor. (HR. At Tirmidzi No. 1977, katanya: hasan gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)
Ketiga, hindari berlebihan. Aktifitas apa pun jika berlebihan tidak akan baik. Jika hal-hal yang pasti sunahnya saja mesti menghindari sikap berlebihan karena khawatir dianggap wajib, apalagi aktifitas yang boleh-boleh saja seperti bergurau yang berpotensi melalaikan hati manusia.
Allah berfirman: “Dan janganlah kalian melampaui batas sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al An’am: 141)
Nabi bersabda: “Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 3400).
Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah berkata: “Jangan banyak tertawa, sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah (berdzikir) adalah tenang dan tenteram. Jangan suka bergurau, karena umat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan bersungguh- sungguh terus menerus.” (Washaya Al ‘Asyr Lil Imam Hasan Al Banna)
Keempat, hindari main fisik. Main fisik di sini maksudnya adalah mengejek kondisi fisik seseorang (kurus, gemuk, hitam, pendek, pincang, pesek, dan lainnya) untuk mengundang tawa, atau memang menyakiti fisiknya dengan tangan kita. Ini terlarang dalam agama.
Rasulullah bersabda:
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama?” Beliau bersabda: “Yaitu orang yang muslim lainnya aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari No. 11, Muslim No. 42, dari Abu Musa Al Asy’ari).
Kelima, hindari bergurau dengan ayat-ayat Allah. Ini termasuk memperolok-olok agama yang sangat diharamkan dalam Islam. Menjadikan ayat-ayat atau sunah Nabi sebagai bahan ejekan adalah tindakan yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (QS. At Taubah : 65-66). *akhir
Wallahu A’lam
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 362 – 26 Februari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Farid Numan Hasan faridnuman | Feb 11, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan
Islam adalah agama yang sempurna, sesuai dengan fitrah dan hajat hidup manusia. Di antara hajat itu adalah hajat untuk relaksasi dan menenangkan pikiran. Manusia bukanlah robot yang hanya memiliki fisik dan seperangkat program berpikir, tetapi Allah SWT juga menciptakan jiwa dalam dirinya. Sehingga manusia dikatakan utuh jika dia mampu menjalankan fungsi fisik, akal, dan jiwanya. Agama dikatakan sempurna ketika mampu memberikan solusi atas kebutuhan-kebutuhan itu.
Bergurau adalah salah satu kebutuhan jiwa. Dengannya jiwa menjadi segar, hidup, dapat mengobati kesedihan, melupakan kepenatan dan amarah. Sehingga kita dapati dalam sejarah hidup manusia sejak dahulu adanya hal-hal yang unik, lucu, dan menghibur. Semua ini dalam rangka menjaga keseimbangan pada diri manusia. Namun kita juga mendapati dan melihat, adanya gurauan yang menyakitkan, membangkitkan kebencian, dan melecehkan, sehingga lahirlah permusuhan dan pertengkaran di antara manusia. Jauh dari menghibur dan membuat segar jiwa. Ada juga gurauan yang berlebihan sehingga melupakan hal-hal yang lebih utama dan penting, yang justru meruntuhkan wibawa pelakunya.
Nabi Muhammad juga Bersenda Gurau
Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bergurau, tersenyum, tertawa, dan mencandai para sahabatnya, sampai-sampai mereka bertanya:
“Wahai Rasulullah, engkau mencandai kami? Beliau menjawab: “Tidaklah aku berkata kecuali yang benar.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Dalam riwayat lain, “Aku juga bergurau tapi tidaklah aku berkata kecuali benar adanya.” (HR. Alauddin Al Hindi, Kanzul ‘Ummal)
Imam Abu Daud dan Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah adu cepat lari sebanyak dua kali bersama istrinya, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, yang pertama ‘Aisyah pemenang dan yang kedua ‘Aisyah kalah. “
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bercanda dengan sahabatnya bernama Zahir, beliau menganggetkannya dengan cara memeluknya dari belakang dan menutup mata Zahir ketika berjualan di pasar, dan seterusnya.
Dari Anas bin Malik, ia berkata,“Sungguh, ada seorang lelaki meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah kendaraan untuk dinaiki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Aku akan memberimu kendaraan berupa anak unta.’ Orang itu (heran) lalu berkata, ‘Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta itu?’ Nabi bersabda, ‘Bukankah unta betina itu tidak melahirkan selain unta (juga)?’.”(HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Orang-Orang Shalih Juga Bergurau
Bakr bin Abdullah mengisahkan, “Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (bergurau dengan) saling melempar semangka. Tetapi, ketika mereka dituntut melakukan sesuatu yang sungguh-sungguh, maka mereka adalah para kesatria.” (Lihat Shahih al-Adabul Al Mufrad No. 201).
Pada suatu hari, Imam Asy Sya’bi Rahimahullah bergurau, maka ada orang yang menegurnya dengan mengatakan, “Wahai Abu ‘Amr (Imam Asy Sya’bi, pen), apakah kamu bercanda?” Beliau menjawab, “Seandainya tidak begini kita akan mati karena bersedih.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, 2/214).
Berikut ini adalah adab-adab dalam bergurau yang mesti diperhatikan:
Pertama, hindari berbohong. Tidak sedikit manusia berbohong hanya untuk mencari perhatian dan tawa manusia. Kadang mereka mencampurkan antara yang fakta dan kebohongan atau ada yang bohong sama sekali. Islam mengajar umatnya untuk jujur baik dalam serius maupun candanya.
Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seorang hamba tidak dikatakan beriman dengan sepenuhnya kecuali jika dia meninggalkan berbohong ketika bergurau, dan meninggalkan berdebat meski ia benar.” (HR. Ahmad).
*bersambung
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 359 – 5 Februari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman: BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!