by Farid Numan Hasan faridnuman | Aug 1, 2017 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Ust Farid Nu’man Hasan
Sesungguhnya tiap amal shalih memiliki dua rukun. Allah Ta’ala tidak menerima amal kecuali dengan dua syarat. Pertama, ikhlas dan meluruskan niat. Kedua, bersesuaian dengan sunnah dan syara’.
Syarat pertama merupakan tanda benarnya batin, syarat kedua merupakan tanda benarnya zhahir (praktiknya-pen). Tentang syarat pertama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung niat.”(HR. Muttafaq ‘alaih, dari Umar). Ini adalah timbangan bagi batin.
Tentang syarat kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa beramal dengan amal yang kami tidak pernah perintah, maka amal itu tertolak” (HR. Muslim dari ‘Aisyah). Ini adalah timbangan zhahir.
Allah Ta’ala telah menggabungkan dua syarat tersebut dalam banyak ayat al Qur’an. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan semua urusan.” (QS. Luqman: 22).
Makna ‘menyerahkan diri kepada Allah’ yaitu memurnikan tujuan dan amal hanya untuk-Nya. Makna ‘berbuat kebaikan’ adalah memurnikannya dengan itqan (profesional) dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berkata Fudhail bin ’Iyadh tentang ayat, ‘Untuk menguji di antara kalian siapa yang paling baik amalnya (ahsanu amala).’ Ahsanul amal artinya paling ikhlas dan paling benar.
Ia ditanya: “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya amal, jika ikhlas tetapi tidak benar, tidak akan diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal hanya untuk Allah. Benar adalah beramal di atas sunnah.”
Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh membaca ayat: “Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal dengan amal shalih, dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan apapun dalam beribadah.” (QS. Al Kahfi: 110).
Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa niat yang ikhlas belumlah cukup untuk diterimanya amal, selama tidak sesuai dengan syariat dan tidak dibenarkan sunnah. Sebagaimana amal yang sesuai dengan syariat tidaklah sampai derajat diterima, selama di dalamnya belum ada ikhlas dan pemurnian niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Ada dua contoh dalam masalah ini. Pertama, membangun masjid dengan tujuan merusak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berssabda: “Barangsiapa membangun masjid dalam rangka mencari wajah Allah (ridha-Nya), Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin ‘Affan).
Namun hadits mulia ini, memperingatkan kita bahwa ganjaran hanya diperuntukkan bagi mereka yang menginginkan wajah Allah (sebagian orang menerjemahkan wajah Allah dengan ridha Allah-pen), bukan untuk setiap yang membangun masjid.
Jika membangun masjid dengan tujuan rusak dan maksud yang jelek, maka hal itu akan menjadi bencana bagi yang membangunnya. Sesungguhnya niat yang buruk akan memusnahkan dan menyimpangkan amal yang baik, dan merubah kebaikan menjadi keburukan.
Kedua, berjihad untuk selain Allah Ta’ala. Jihad fi sabilillah adalah tathawwu’ (anjuran) paling utama. Seorang muslim, dengan jihad bisa ber-taqarrub kepada TuhanNya.
Namun demikian, Allah Ta’ala tidak akan menerima amal jihad sampai ia bersih dari kepentingan duniawi. Misal untuk dilihat manusia, melagakan keberanian, membela suku dan tanahnya, dan lainnya.
Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ary Radhiallahu ‘anhu, bahwa datanglah seorang Arab Badui kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam, ia bertanya: “Ya Rasulullah, orang yang berperang demi rampasan perang, supaya namanya disebut-sebut orang, dan supaya kedudukannya dilihat, maka siapa yang fi sabilillah?”
Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin Affan).
Imam an Nasa’i meriwayatkan dengan sanad jayyid (bagus), dari Abu Umamah Radhiallahu ‘anhu, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ‘Alaihi shalatu wa salam, lalu berkata, “Apa pendapat engkau tentang orang yang berperang untuk mendapatkan upah dan disebut-sebut namanya, apa yang ia dapatkan?”
Rasulullah menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Diulangi sampai tiga kali. Kemudian ia bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali bagi yang ikhlas dan mengharapkan wajah-Nya”.
Wallahu A’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 356 – 15 Januari 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jul 29, 2017 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sebagaimana fitrah manusia menghendaki kedamaian dan ketenangan, begitu juga dengan ajaran agama Islam.
Ia selalu mengajak manusia dan mengajarkan mereka untuk hidup secara damai dan penuh kasih sayang. Tidak ada satupun dari ajaran agama Islam yang mengarahkan umatnya untuk berbuat teror dan kerusakan di muka bumi.
Bahkan, Islam sangat mengecam dan mencela para pelaku kerusakan dan kejahatan. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.” (QS. al-A’raaf: 56).
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Dilarang bagi kalian mengarahkan senjatanya kepada saudaranya walaupun hanya bercanda, sebab ia tidak tahu bisa jadi setan menghempaskannya dari tangannya, sehingga dia pun jtuh ke dalam jurang neraka.” (Muttafaq ’alaih).
Pernah terjadi salah seorang sahabat Nabi SAW sedang tidur, datanglah seseorang mengambil cambuknya dan menyembunyikannya. Pemilik cambuk itupun merasa takut.
Lalu Rasulullah SAW berkata, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk membuat rasa takut muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud).
Maka dari itu, agama Islam mengajarkan amalan-amalan yang dapat membawa kedamaian bagi kehidupan manusia.
Diantaranya ialah membudayakan ucapan salam setiap kali kita bertemu dengan saudara kita atau saat kita masuk ke dalam rumah.
Rasulullah SAW bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan pada sebuah amalan yang dapat menumbuhkan rasa cinta sesama kalian? Tebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim.)
Rasulullah juga menganjurkan agar kita untuk terbiasa tersenyum. Sebab hal itu akan membawa ketentraman bagi orang yang kita jumpai.
Islam juga mengajarkan kepada kita untuk saling tolong menolong, baik itu secara fisik, harta, pemikiran, dan lain-lainnya.
Semua itu tidak lain bertujuan agar tercipta kehidupan yang aman dan damai tanpa ada permusuhan dan pertikaian.
Tidak hanya kepada sesama muslim, islam juga menuntut kita untuk berbuat baik kepada non muslim selama ia tidak dalam posisi memerangi Islam.
Bahkan dalam berbagai riwayat kita temukan Rasulullah memberikan bantuan kepada non muslim. Diantaranya ialah kepada orang Yahudi yang biasa mencela Rasulullah.
Beliau menjenguk orang Yahudi tersebut saat ia jatuh sakit, padahal sebelumnya ia adalah orang yang sehari-harinya mencaci bahkan melemparkan kotoran kepada beliau.
Sikap Rasulullah SAW adalah bukti bahwa Islam mengajarkan kepada untuk bersikap baik kepada sesama manusia, bukan menakut-nakuti dan memerangi mereka walaupun mereka adalah non muslim.
Sangat jelas bagaimana Islam menginginkan kehidupan yang baik dan aman sesama manusia. Tidak saling memusuhi dan menyakiti diantara mereka.
Bahkan bukan hanya kepada sesama manusia, terhadap binatang sekalipun Islam mengajarkan kasih sayang padanya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Dalam setiap makhluk yang bernyawa ada pahala di dalamnya.” (Muttafaq ‘alaih).
Sikap kasih sayang ini tidak hanya berlaku di saat aman saja, bahkan saat terjadi peperangan sekalipun Islam memberikan rambu-rambu untuk tidak membunuh orang yang tidak berhak dibunuh.
Islam melarang membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan lain-lain. Islam juga melarang untuk menghancurkan pohon, tempat ibadah, binatang dan sebagainya.
Semua ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang zalim dan mengajarkan kekerasan dan peperangan. Sebab peperangan yang diwajibkan oleh Islam ialah manakala kita dalam kondisi diperangi atau terzalimi.
Oleh sebab itu, segala bentuk teror dan ancaman yang dilakukan oleh siapapun juga, tidak dibenarkan dalam ajaran agama Islam walaupun hal itu dilakukan oleh mereka yang mengaku dari kelompok Islam.
Al-Qur’an dan Sunnah berlepas diri dari tindakan yang mereka lakukan. Termasuk apa yang kita saksikan beberapa waktu yang lalu dalam peristiwa bom yang terjadi di Jakarta. Perbuatan tersebut sangat menyimpang dari ajaran Islam.
Kalaupun itu dilakukan oleh orang Islam, maka Islam yang pertama kali menolak tindakan tersebut. Dengan demikian, tuduhan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama teror dan perang, sangatlah tidak benar.
Sebaliknya, Islam mengajarkan kasih sayang, saling cinta mencintai, dan kedamaian. Wallahu a’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 358 – 29 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Danu Wijaya danuw | Apr 23, 2017 | Artikel, Buletin Al Iman
Acara tasyakuran dimulai dengan pengajian taklim yang disampaikan oleh ustad Fauzi Bahreisy, Lc.
Pembicara menyampaikan hakikat mensyukuri nikmat Allah atas kemenangan jihad politik umat Islam di Jakarta.
Setelah ditutup doa dan ibadah shalat isya berjamaah, tasyakuran dilakukan dengan menjamu peserta jamaah Majelis Taklim Al Iman.
Pengurus Yayasan Telaga Insan Beriman dan Majelis Taklim Aliman menyediakan nasi kebuli, nasi kuning, berikut daging sapi dan ayam sebagai menu makan-makan bersama warga Kebagusan, Jakarta Selatan.
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Sep 4, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Dakwah
Oleh: Ust. Fauzi Bahreisy
Setiap kali memasuki Idul Adha, kita diingatkan kepada perjuangan dan pengorbanan Ibrahim ‘Alaihissalam, sebuah pengorbanan luar biasa yang diabadikan dalam Al Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat manusia sepanjang sejarah.
Tidak ada penjelasan yang paling menarik dan paling utama daripada penjelasan Al Qur’an tentangnya. Karena itu, mari kita lihat apa yang Allah sebutkan tentang peristiwa tersebut untuk menjadi pelajaran dan bekal.
Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (QS ash-Shaffat: 99-100).
Maka, Ibrahim pun diberi kabar gembira. Demikianlah bahwa kehadiran seorang anak harus disambut dengan gembira, bukan dengan duka cita.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai ananda, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Wahai ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS ash-Shaffat: 102).
Anak itu sudah beranjak dewasa, sudah bisa diajak berjalan, pergi, dan bekerja bersamanya. Kita lihat kata bersamanya. Ia menunjukkan pendekatan orang tua yang demikian perhatian dan lembut kepada anaknya, tidak kasar. Disebutkan bahwa usia Ismail ketika itu sekitar 13 tahun.
Dalam kondisi demikian, ketika anak yang sudah dinantikan dari dulu lahir, ketika anak itu sedikit demi sedikit beranjak dewasa dan mulai bisa membantu sang ayah, tiba-tiba datang perintah Allah untuk menyembelihnya. Apa Ibrahim ragu?
Pasalnya, perintah itu datang dalam bentuk mimpi, bukan wahyu secara langsung sehingga bisa ditafsirkan macam-macam. Namun itu saja sudah cukup bagi Ibrahim. Ia tahu bahwa ini merupakan ujian dari Allah. Dan begitulah Allah menguji manusia. Allah sering menguji dengan sesuatu yang sangat kita cintai, bisa harta, jabatan, kedudukan, popularitas, harga diri, kehormatan, dan keturunan.
Ibrahim menunjukkan kedudukannya, ketakwaannya, dan keistiqamahannya. Ia tidak mengeluh, tidak mempertanyakan perintah itu kepada Tuhan. Namun sebaliknya, ia segera merespon dengan baik. Ia menerimanya dengan sangat patuh. Hanya saja, sebelum itu sang anak harus diberitahu. Ibrahim memberitahukan perintah itu kepada sang anak, Ismail ‘Alaihissalam. Mari kita perhatikan bagaimana dialog tersebut terjadi: Ya bunayya (ananda) dengan panggilan indah dan sayang, ia berbicara kepada anaknya. Demikian hendaknya orang tua berbicara kepada anaknya.
Ibrahim mengatakan, “Wahai ananda, aku bermimpi diperintah menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” Ia tidak melaksanakan perintah dengan langsung tanpa melihat kesiapan anaknya.
Ternyata sang anak juga menunjukkan kesiapan yang luar biasa. Ia menjawab dengan ungkapan yang juga indah. “Ya abati” (ayahanda) karena hal itu sudah diajarkan oleh sang ayah. Ia juga menunjukkan ketaatannya kepada perintah Tuhan tanpa ragu-ragu. Ini adalah bentuk adab kepada Allah dan juga adab kepada orang tuanya.
Namun, semua itu tidak dilakukan dengan sikap sombong. Ia sadar akan kelemahan dirinya. Ia tidak memastikan dirinya sabar. Namun ia sandarkan semuanya kepada Allah. Inilah adab manusia yang luar biasa. Manusia hanya berusaha secara maksimal namun, yang menentukan adalah Allah.
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)” (QS ash-Shaffat: 103).
Ketika keduanya (ayah dan anak) sudah patuh dan pasrah. Hal itu ditunjukkan tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan. Sang ayah sudah merebahkan anaknya dengan meletakkan di atas tanah. Bayangkan, ia sendiri yang akan menyembelih anaknya dan dengan alat yang seadanya ketika itu. Namun, disitulah Ibrahim dan Ismail menunjukkan kepatuhan total kepada Allah. Inilah Islam. Islam adalah patuh, taat, dan menyerah mutlak kepada Allah dengan penuh ridha.
Begitulah Allah menguji hamba-Nya. Dia tidak zalim dan kejam. Dia bukan Zat yang senang menumpahkan darah. Tapi Allah hanya ingin menguji. Buah dari ujian adalah balasan yang manis dan indah dari Allah. Demikian pula yang Allah berikan kepada mereka yang berhasil membuktikan pengorbanannya sepanjang masa.
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jun 17, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Ramadhan
Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sebagai seorang mukmin kita meyakini bahwa setiap perintah atau larangan dari Allah dan Rasul-Nya, pasti mengandung hikmah dan manfaat bagi manusia. Tidak ada satupun aturan dari Allah kecuali didalamnya terdapat kemashlahatan bagi manusia, termasuk ibadah puasa.
Sebagian manusia beranggapan bahwa tak ada manfaat dari ibadah puasa. Persepsi semacam ini tidak lain disebabkan oleh kedangkalan iman dan ketidakfahaman mereka terhadap syariat Allah.
Kita sebagai orang yang beriman, tidak dituntut untuk mencari tahu hikmah atau manfaat dari sebuah ibadah yang telah Allah tetapkan bagi kita. Yang dituntut oleh Allah adalah pelaksanaan ibadah tersebut secara sempurna dan benar, baik kita ketahui hikmahnya ataupun tidak.
Ketika kita melaksanakan syari’at Allah dengan baik dan benar, maka secara otomatis manfaat dan hikmah dari ibadah tersebut akan kita rasakan sendiri. Namun, alangkah baiknya juga jika kita bisa mengetahui hikmah dari ibadah yang kita laksanakan, sebab hal itu akan menambah semangat kita dalam beribadah.
Dalam ibadah puasa, banyak sekali hikmah dan manfaat yang bisa didapatkan oleh orang yang melaksanakannya. Diantaranya ialah bahwa puasa mendidik kita untuk bersikap ikhlas dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Puasa adalah ibadah yang bersifat rahasia antara kita dengan Allah. Tidak ada yang mengetahui apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali kita dan Allah.
Maka dari itu, tatkala ada seseorang yang menjaga dirinya untuk tidak makan dan minum, serta menjaga diri untuk tidak berhubungan suami istri di siang hari, tidak ada yang ia harapkan kecuali ridha dan pahala dari Allah. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits Qudis disebutkan, “Puasa adalah untukku, dan aku yang akan memberikan secara langsung pahalanya”.
Ibadah puasa juga dapat membersihkan diri kita dari dosa-dosa yang telah kita lakukan dan dapat melipatgandakan pahala ibadah kita. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berpuasa di bulan suci ramadhan, maka dosa-dosanya satu tahun yang lalu akan diampuni oleh Allah” (HR. Bukhari).
(Baca juga: 4 Kiat Sukses Ramadhan)
Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Amal manusia ditampilkan pada hari senin dan kamis. Oleh karena itu, aku ingin amalku ditampilkan oleh Allah dalam kondisi aku sedang berpuasa”.
Para ulama mengomentari hadits ini bahwa ketika kita melakukan sebuah ibadah di saat kita berpuasa, maka hal itu akan menambah pahala dan kedudukan dari ibadah tersebut.
Puasa juga melatih kita untuk mengontrol syahwat dan hawa nafsu kita. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa selain setan ada nafsu yang sering kali membuat manusia melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan Allah. Larangan untuk berhubungan intim di siang hari dan ancaman akan gugurnya pahala puasa bagi mereka yang tidak menjaga lisan dan sikapnya, hal ini dapat mengekang hawa nafsu dan syahwat. Ia akan menjadi kontrol agar tidak mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Puasa adalah perisai, maka ia tidak boleh berkata kotor dan tidak boleh bersikap bodoh. Jika ada seseorang yang mencela dan memusuhinya, maka katakan ‘saya sedang berpuasa’” (HR. Bukhari).
Selain itu ibadah puasa juga dapat menumbuhkan sikap disiplin dalam beribadah dan mengatur waktu. Dalam berpuasa kita dituntut untuk bangun sebelum shubuh untuk makan sahur dan mulai tidak makan dan minum saat adzan shubuh berkumandang. Kemudian kita baru diperbolehkan untuk makan dan minum ketika waktu maghrib sudah masuk.
Ini merupakan sebuah tarbiyah dari Allah agar kita terbiasa hidup disiplin dalam beribadah. Terlebih lagi ibadah puasa membutuhkan fisik yang fit di siang hari, sehingga tubuh kita memerlukan istirahat yang cukup. Hal ini membuat tidur kita lebih teratur demi lancarnya puasa yang kita lakukan.
Puasa juga mendidik kita untuk menjadi manusia yang sosial, peka terhadap sesama, dan perhatian terhadap hubungan silaturrahim. Anjuran untuk memberikan ifthar (ta’jil) dalam berpuasa dan rasa lapar dan haus yang kita rasakan saat berpuasa, ini semua merupakan sebuah tarbiyah dari Allah agar kita menjadi manusia yang peduli terhadap kondisi sesama dan mempererat hubungan silaturrahim dan ukhuwah diantara umat Islam.
Manfaat lainnya ialah dari sisi kesehatan, bahwa dalam banyak penelitian yang telah dilakukan oleh ahli kesehatan dan kedokteran menyebutkan bahwa puasa memberikan dampak positif terhadap kesehatan. Orang yang terbiasa berpuasa memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik daripada yang tidak berpuasa. Apalagi jika kita mengikuti tata cara Rasulullah dalam mengkonsumsi makanan yang dimakan pada saat sahur dan berbuka.
Inilah beberapa manfaat yang dapat menjadi tambahan motivasi bagi kita untuk melaksanakan ibadah puasa. Tentu saja, masih banyak manfaat yang lainnya yang tak dapat kita ketahui. Namun, yang lebih penting dari itu adalah kita melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, agar tujuan dari puasa, yaitu menjadi insan yang bertaqwa, dapat kita raih.
Wallahu a’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 375 – 3 Juni 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan. Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi@alimancenter.com
Dakwah semakin mudah. Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | May 28, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Ramadhan
Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Dalam beberapa hari ke depan bulan yang ditunggu-tunggu itu akan datang. Tak lama lagi tamu yang agung itu akan kita sambut dengan penuh kebahagiaan dan harapan. Bahagia karena memang ia membawa kemuliaan dan keistimewaan yang sangat besar. Namun, tidak semua orang menunggu kehadirannya. Hanya orang-orang yang beriman sajalah yang benar-benar bahagia akan kedatangan bulan suci ini. Bulan Ramadhan, bulan yang penuh dengan keberkahan, ampunan, rahmat, pelipatgandaan pahala, dan lainnya. Setiap muslim yang memiliki keimanan pasti akan menanti-nanti datangnya bulan mulia ini. Di bulan inilah kesempatan kita untuk menjadi manusia sejati, hamba yang bertaqwa kepada Allah SWT. Hanya orang yang hatinya berpenyakit sajalah yang merasa sedih dan tidak bahagia dengan kehadirannya.
Saudaraku, tentu kebahagiaan dan rasa senang dengan datangnya bulan yang mulia ini bukan hanya sekedar ucapan di lisan saja. Bukan hanya sekedar dengan kegiatan tarhib Ramadhan dan lainnya. Kebahagiaan yang jujur dan rasa senang yang tulus pasti ada tanda-tandanya. Sebab ada yang merasa bahagia dengan datangnya Ramadhan, akan tetapi perasaan ini bukan didasarkan pada iman.
Ia bahagia lantaran bisnis dan perdagangannya akan semakin meningkat di bulan ramadhan. Perasaan yang semacam ini bukan berarti dilarang, tetapi jadikan iman sebagai dasar utama rasa bahagia akan kedatangan bulan yang suci ini.
Diantara tanda rasa bahagia yang hakiki ialah adanya persiapan yang optimal untuk menyambut kehadirannya. Sebagaimana kita akan kedatangan seorang tamu yang istimewa, pasti kita akan menyiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kehadirannya. Sebagaimana seseorang yang akan mengikuti sebuah perlombaan dan ingin memenangkannya, pasti ia akan mempersiapkan dirinya semaksimal mungkin supaya ia menjadi pemenangnya. Begitu juga dengan Ramadhan, jika kita kita benar-benar ingin mendapatkan ampunan dari Allah dan pahala yang besar dari-Nya, pasti ada perisapan yang matang agar dapat meraih kemenangan di dalamnya. Sejauh mana persiapan kita menuju Ramadhan, itulah yang menjadi ukuran bahagia tidaknya kita dengan kedatangannya.
(Baca juga: Persiapan-persiapan Menghadapi Ramadhan)
Ada beberapa aspek persiapan yang harus kita lakukan untuk menyambut bulan Ramadhan, diantaranya ialah; Persiapan ruhiyah dan mental. Ini adalah yang pertama kali harus kita persiapkan. Iman dan mental kita harus benar-benar siap untuk berkompetisi di bulan suci Ramadhan. Sebaik apapun persiapan kita, kalau iman dan mentalnya belum siap, maka persiapan yang lainnya akan menjadi tidak berarti.
Sebagai contoh adalah ketika ada yang ikut perlombaan cerdas cermat, hafalan qur’an atau yang lainnya. Ia sudah melakukan persiapan dengan baik, akan tetapi mental belum ia siapkan. Di saat tampil di depan, semua persiapannya akan menjadi hilang dikarenakan ia tidak siap mental. Begitu juga dengan Ramadhan, ketika kita lalai untuk mempersiapkan iman dan mental kita, maka pesiapan yang lainnya akan menjadi tak bermakna.
Rasulullah dan para sahabat telah memberikan contoh kepada kita dalam mempersiapkan ruhiyah untuk menyambut ramadhan. Berbagai macam amalan dan do’a mereka lakukan agar keimanan mereka siap dalam memasuki bulan mulia ini. Bahkan beberapa bulan sebelum Ramadhan, Rasulullah sudah memberikan kabar gembira kepada para sahabat akan kedatangan Ramadhan. Hadits yang berbunyi, “Akan datang kepada kalian bulan ramadhan. Bulan yang penuh dengan keberkahan. Allah telah menetapkan kewajiban puasa di dalamnya. Pintu surga dibuka, pintu neraka diutup, dan setan-setanetan akan dibelenggu. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan.” (HR. an-Nasa’i dan Ahmad).
Hadits ini diucapkan oleh Rasulullah enam bulan sebelum datang Ramadhan. Dan ketika bulan ramadhan sudah dekat Rasulullah berdo’a kepada Allah, “Ya Allah sampaikanlah aku ke bulan ramadhan, dan sampaikan ramadhan kepadaku, dan terimalah ramadhan dariku.” (HR. at-Thabrani).
Selain do’a, membiasakan diri berpuasa di bulan Sya’ban merupakan bagian dari persiapan ruhiyah. Bahkan Aisyah mengisahkan kondisi Rasulullah di bulan Sya’ban bahwa seakan-akan Rasulullah berpuasa satu bulan penuh di bulan Sya’ban. Begitu juga dengan tilawah dan qiyamullail sudah harus kita biasakan mulai dari sekarang, sebab segala aktivitas akan menjadi mudah kalau sudah menjadi kebiasaan. Namun jika ia tidak dibiasakan, ia hanya akan bertahan beberapa saat saja. Bisa jadi semangat ibadah Ramadhannya hanya di awal-awal saja, setelah memasuki pertengahan motivasinya mulai hilang.
[Baca juga: Fiqih Wanita Berkaitan dengan Ramadhan (bagian 1)]
Kedua ialah persiapan ilmu. Ini sebagai bekal yang juga patut untuk diperhatikan, agar kita mengetahui amalan apa saja yang dianjurkan di dalamnya. Apa saja yang membatalkan dan apa syarat sahnya puasa? Bagaimana caranya agar pahala puasa kita tidak gugur? Dengan demikian, puasa kita tidak menjadi sia-sia. Persiapan ilmu ini harus dimulai sedini mungkin, supaya di saat kita masuk ke bulan Ramadhan, kita tidak lagi disibukkan dengan perkara-perkara fiqih Ramadhan dan hanya fokus untuk melakukan amaliyah Ramadhan.
Ketiga adalah persiapan fisik. Terkait dengan persiapan ini, dapat disimpulkan dalam kalimat berikut ini, “Bagaimana caranya agar kita tidak sakit di bulan Ramadhan?” Sebab kalau kita sudah sakit, peluang-peluang untuk melakukan ibadah menjadi kecil. Oleh sebab itu, mulai sekarang harus ada usaha untuk menjaga kondisi tubuh kita agar tidak jatuh sakit saat menjalankan ibadah Ramadhan. Jika kita sudah melakukan upaya untuk menjaga fisik kita, namun ternyata di bulan Ramadhan kita masih sakit juga, maka saat itu berlaku hadits, “Sesungguhnya semua amal tergantung pada niatnya.”
Keempat, persiapan harta. Ini juga menjadi bekal yang penting, sebab Ramadhan adalah bulan yang sangat dianjurkan untuk bersedekah di dalamnya. Belum lagi bagi mereka yang memiliki kewajiban zakat. Sehingga ketika masuk ke bulan Ramadhan alokasi dana untuk sedekah dan zakat sudah dipersiapkan. Begitu juga persiapan untuk Idul Fitri atau lebaran sudah dipersiapkan dari sekarang, sehingga di saat Ramadhan, kita tidak lagi “beri’tikaf” di mall, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Waktu-waktu kita diisi dengan ibadah dan amal shaleh, terkecuali kalau kondisinya memang darurat dan penting.
(Baca juga: Hukum Puasa Ramadhan)
Paling tidak inilah empat persiapan yang harus kita lakukan sebelum memasuki bulan yang mulia ini. Optimalkan persiapan kita agar kita tidak masuk kedalam orang-orang yang celaka atau merugi, yaitu mereka yang tidak mendapatkan ampunan Allah di bulan tersebut. Rasulullah SAW bersabda, “…Celaka dan sungguh celaka, seseorang yang masuk ke bulan Ramadhan hingga selesai namun dosa-dosanya belum diampuni oleh Allah…” (HR. at-Tirmizi).
Wallahu a’lam.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 374 – 27 Mei 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi@alimancenter.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!