by Danu Wijaya danuw | Aug 25, 2017 | Artikel, Sejarah
Sejarah bangsa ini telah banyak mencatatkan, bagaimana para pahlawan nasional atau pejuang kemerdekaan seperti Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, Teuku Cik Ditiro dan Imam Bonjol memilih memakai jubah dan sorban sebagai identitas diri melawan penjajah belanda
Pemilihan pakaian Islami berupa Jubah dan Sorban yang dilakukan para pejuang terdahulu saat melawan penjajah Belanda ternyata memiliki dasar yang kuat.
Guru Besar sejarah Universitas Padjajaran, Profesor Ahmad Mansur Suryanegara mengungkapkan bahwa alasan para pejuang mengenakan pakaian Islami dengan jubah dan Sorban adalah, karena pada masa itu pakaian adat identik dengan para pembantu Penjajah Belanda untuk menindas masyarakat Nusantara.
Jubah dan sorban dipilih oleh para pemimpin dan pejuang yang juga notabone adalah para pemimpin ulama sebagai identitas perjuangan melawan penjajah belanda
Dahulu, sejarah juga telah mencatatkan, bahwa belanda menggunakan pakaian adat untuk praktek memecah belah dan adu domba dengan memanfaatkan nilai nilai kedaerahan.
Para pejuang seperti Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo dan Sentot Alibasyah Prawirodirjo lebih memilih mengenakan busana Islami dari pada pakaian adat Jawa ketika melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada masa itu.
Penjajah belanda dinilai sebagai manifestasi barisan kaum kafir yang harus dilawan, dan sebagai identitas diri perlawanan, maka identitas diri sebagai muslimlah dengan jubah dan sorban yang dipilih
Ditambah dengan kobar semangat pekik takbir, Allah Akbar, yang selalu menghiasai tiap perjuangan didalam peperangan kepada belanda
Jadi soal Jubah atau sorban bukan lagi soal arab, tetapi sudah menjadi bagian perjuangan negeri ini terhadap penjajah belanda, istilahnya sudah menjadi identitas diri yang menjadi pembeda
Seperti penjelasan lengkap yang ditulis Profesor Ahmad Mansur Suryanegara melalui akun Facebook pribadinya, selasa (15/12/2015)
Pangeran Diponegoro, Kiyai Mojo, Sentot Alibasyah Prawirodirjo menanggalkan BUSANA ADAT Jawa, ketika para Pengena Busana Adat menjadi Pembantu Utama Penjajah Protestan Belanda. Ikut serta menindas rakyat dengan menggunakan topeng BUDAYA ADAT untuk memadamkan CAHAYA ISLAM.
Pangeran Diponegoro, walau menyandang Keris. Menurut DR Tjipto MangunKusumo tidak pernah menghunus kerisnya di tengah peperangan. Tetapi selalu membacakan AL QURAN untuk membangkitkan Jiwa Juang umat dan rakyat pendukungnya yang anti penjajah.
Pangeran Diponegoro, Kiyai Mojo, Sentot Alibasyah Prawirodirjo BERBUSANA ISLAMI menyelamatkan bangsanya dari keruntuhan moral bangsanya.
Pembusana Adat Djawa bertingkah laku pemadat, merendahkan martabat wanita, perusak keluhuran Adat Djawa, perusak Syariah Islam dalam Istana Kesultanan dan di masyarakat Djawa. Berkedok memelihara Adat Djawa, tapi bermental rendah.
Bila disebutkan ORA NDJOWO artinya tingkah lakunya TIDAK ISLAMI. Saat itu JOWO atau JAWA di masyarakat artinya MENGERTI.
Bila disebut ORA NDJOWO artinya ORA NGERTI atau TIDAK ISLAMI. ORA artinya Tidak. Djawa artinya Islam dan Pribumi berseberangan penjajah yang asing
Dalam perjalanan Sejarah. ADAT DAERAH di Nusantara diperadabkan oleh Ajaran ISLAM.
Pada masa penjajahan Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintah Kolonial Belanda, ADAT BUDAYA yang bersifat LOKAL dijadikan PEMECAH BELAH KESATUAN BANGSA atau UMAT.
Dijadikan Alat oleh penjajah melawan ISLAM yang bersifat UNIVERSAL dan PEMERSATU BANGSA INDONESIA.
Sumber : Islamedia
by Danu Wijaya danuw | Aug 22, 2017 | Sejarah
Dahulu di zaman penjajahan belanda, belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda.
Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji.
Bahkan untuk yang satu ini belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.
Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan tempat karantina jemaah haji. Pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Dengan alasan kamuflase “untuk menjaga kesehatan”, kadang saat ditemukan adanya jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, diberi suntik mati dengan alasan beragam.
Maka tak jarang banyak yang tidak kembali ke kampung halaman karena di karantina di pulau onrust dan cipir.
Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu “Haji”. Atau ditandai di depan namanya dengan huruf “H” yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah.
Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji. Ironis.. itulah asal usul mengapa di negeri kita untuk mereka yang telah berhaji diberi gelar “haji”.
Gelar haji bagi orang muslim yang pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah naik haji ternyata hanya ada di indonesia dan malaysia.
Dinegara-negara lain tidak ada gelar haji untuk kaum muslimin yang telah melaksanakan ibadah haji tersebut. Gelar haji ini pertama kali dibuat oleh bangsa belanda yang waktu itu sedang menjajah indonesia.
Pemberian gelar tersebut oleh bangsa belanda bukan tanpa maksud, hal ini dikarenakan kebanyakan orang Indonesia yang menjadi penentang belanda pada waktu itu yang berani mengajak masyarakat untuk melawan belanda adalah orang-orang yang baru pulang dari mekkah tersebut
Oleh karena itu belanda menandai orang-orang tersebut dengan huruf “H” di depan namanya, untuk memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.
Tetapi mengapa di zaman sekarang seringkali gelar haji itu menjadi seperti kebanggaan dan pembanding orang yang sudah mampu pergi haji dengan yang belum
Bahkan ada beberapa orang yang apabila tidak dipanggil pak haji atau bu haji mereka marah. Harusnya orang yang sudah pernah naik haji bisa merubah semua sifat buruk sewaktu ia belum naik haji menjadi kebaikan.
Sumber : History of Hajj/Kemenag
by Danu Wijaya danuw | Aug 18, 2017 | Sejarah
Tulisan ini hanya sepenggal kisah tentang Hasyim Asyari, pahlawan nasional dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Kiai karismatik berjuluk Hadratus Syaikh yang berarti Maha Guru, ini dikenal sebagai ahli ilmu agama, khususnya tafsir, hadits dan fiqih.
Dia mengabdi kepada umat dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Hasyim juga berdakwah ke daerah-daerah pada masanya.
Sedangkan gelar pahlawan dia dapat karena pada masa penjajahan belanda, Hasyim Asyari ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad yang kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945. Akibat fatwa itu, meledak lah perang di Surabaya pada 10 November 1945.
Menurut Ishom Hadzik (2000) dalam buku yang ditulis Zuhairi Misrawi berjudul “Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan”,
Pada masa penjajahan Belanda, K.H. Hasyim senantiasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh muslim dari berbagai penjuru dunia untuk melawan penjajahan.
Misalnya dengan Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko), Sultan Pasha Al-Athrasi (Suriah), Muhammad Amin al-Husaini (Palestina), Hasan al Bana (Mesir), Dhiyauddin al-Syairazi, Muhammad Ali, dan Syaukat Ali (India), serta Muhammad Ali Jinnah (Pakistan).
Hasilnya pada 22 Oktober 1945, Hasyim dan sejumlah ulama di kantor NU Jawa Timur mengeluarkan resolusi jihad itu.

Rapat para Kiyai dan Pengurus NU dalam film Sang Kiyai
Karena itulah Hasyim diancam hendak ditangkap Belanda. Namun Hasyim tak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Hizbullah dan Sabilillah melawan penjajah.
Bahkan ketika Bung Tomo meminta Kiai Hasyim mengungsi dari Jombang, Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan. Hingga muncul sebuah kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional; hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
Fatwa atau resolusi jihad Hasyim berisi lima butir. Seperti ditulis Lathiful Khuluq berjudul “Fajar Kebangunan Ulama, Biografi Kiyai Hasyim Asyari” yang diterbitkan LKiS pada 2000 lalu,
Butir Pertama resolusi jihad berbunyi; kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan.
Butir Kedua; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong.
Butir Ketiga; musuh republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu Inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia.
Butir Keempat; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali.
Butir Kelima; kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang.
Semangat dakwah antikolonialisme sudah melekat pada diri Hasyim sejak belajar di Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki.
Menurut Muhammad Asad Syihab (1994), KH Hasyim pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan Multazam, berjanji menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk penjajahan.
Semangat itu dia bawa tatkala kembali ke Indonesia dan dia tularkan kepada anaknya, Kiyai Wahid Hasyim. Kelak, Kiyai Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama pertama pada era Presiden Soekarno.
Sikap anti penjajahan juga sempat membawa KH Hasyim masuk bui ketika masa penjajahan Jepang.
Waktu itu, kedatangan Jepang disertai kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu menghormati Kaisar Jepang “Tenno Heika” dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB.
Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren.
Bisa ditebak, Hasyim Asyari menentang karena dia menganggapnya ‘haram’ dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat, hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT.
Menurut Hasyim, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit.
Akibat penolakannya itu, pada akhir April 1942, KH Hasyim Asyari yang sudah berumur 70 tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, lalu ke penjara Bubutan, Surabaya.
Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa hingga jari-jari kedua tangannya remuk tak lagi bisa digerakkan.
KH Hasyim Asyari lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 dengan nama lengkap Mohammad Hasyim Asyari. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng dan organisasi NU. Kakek almarhum Gus Dur ini meninggal di Jombang, 25 Juli 1947 pada umur 72 tahun.
Sumber : Merdeka
by Danu Wijaya danuw | Aug 18, 2017 | Sejarah
Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir. Demikian tertulis dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia.
Tapi, buku-buku sejarah umumnya tak menjelaskan lebih lanjut, mengapa dan bagaimana Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ternyata bangsa ini pantas berterima kasih juga kepada tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Sebab, merekalah yang melobi agar pemerintah Mesir segera mendukung kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM), Hasan Al Banna sendiri ternyata pernah menjadi anggota Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia di Mesir.

Hasan al Bana (kiri bawah) berfoto dengan Panitia Kemerdekaan Indonesia dan Pembesar Arab lainnya.
Para pemimpin Mesir dan negara-negara Arab saat itu membentuk Panitia Pembela Indonesia. Mereka mendorong pembahasan soal isu Indonesia di berbagai lembaga internasional, seperti di PBB dan Liga Arab.
Dalam bukunya, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, Zein Hassan menulis bahwa pengakuan kemerdekaan itu, pada akhirnya membuat posisi Indonesia setara dengan negara-negara lainnya termasuk Belanda dalam perjuangan diplomasi internasional.
Proklamator Bung Hatta pun menyatakan, “Kemenangan diplomasi Indonesia dimulai dari Kairo. Karena, dengan pengakuan mesir dan negara- negara Arab lainnya terhadap Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, segala jalan tertutup bagi Belanda untuk surut kembali atau memungkiri janji.”
Peran Ikhwanul Muslimin dalam kemerdekaan Indonesia, masih dapat ditelusuri jejaknya dalam artikel bertajuk Ikhwanul Muslimin di Wikipedia.

Sutan Syahrir menerobos ke Mesir bertemu Hasan Al Bana (pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir)
Saat itu, untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Ikhwanul Muslimin kerap mengerahkan massa untuk berdemonstrasi. Para pemuda dan pelajar Mesir, terutama Ikhwan, dengan caranya sendiri berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo.
Tidak hanya dengan slogan dan spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan teriakan-teriakan permusuhan terhadap Belanda kerap dilakukan mereka.
Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo ketakutan. Mereka dengan tergesa mencopot lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Mereka juga menurunkan bendera merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar tidak mudah dikenali pada demonstran.
Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI, juga atas desakan dan lobi yang dilakukan para pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun, membuat pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada tanggal 22 Maret 1946.
Inilah pertama kalinya suatu negara asing mengakui kedaulatan RI secara resmi. Dalam kacamata hukum internasional, lengkaplah sudah syarat Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat.
Bukan itu saja, secara resmi pemerintah Mesir juga memberikan bantuan lunak kepada pemerintah RI. Sikap Mesir ini memicu tindakan serupa dari negara-negara Timur Tengah.
Untuk menghaturkan rasa terima kasih, pemerintah Soekarno mengirim delegasi resmi ke Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah delegasi pemerintah RI pertama yang ke luar negeri. Mesir adalah negara pertama yang disinggahi delegasi tersebut.

Ketua Delegasi Indonesia H. Agus Salim mengucapkan terimakasih kepada Hasan Al Bana (ketua Ikhwanul Muslimin) yang kuat sekali menyokong perjuangan Indonesia.
Tanggal 26 April 1946 delegasi pemerintah RI kembali tiba di Kairo. Beda dengan kedatangan pertama yang berjalan singkat, yang kedua ini lebih intens.
Di Hotel Heliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir dan Dunia Arab mendatangi delegasi RI untuk menyampaikan rasa simpati. Selain pejabat negara, sejumlah pemimpin partai dan organisasi juga hadir.
Termasuk pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun, Hasan al Banna dan sejumlah tokoh Ikhwan dengan diiringi puluhan pengikutnya.

Setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia, diikuti serius oleh setiap Muslim, baik di Mesir maupun di Timur Tengah pada umumnya. Para mahasiswa Indonesia yang saat itu tengah berjuang di Mesir dengan jalan diplomasi revolusi, senantiasa menjaga kontak dengan Ikhwan.
Ketika Belanda melancarkan agresi Militer I (21 Juli 1947) atas Indonesia, para mahasiswa Indonesia di Mesir dan aktivis Ikhwan menggalang aksi pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda yang memasuki selat Suez.
Walau Mesir terikat perjanjian 1888 yang memberi kebebasan bagi siapa saja untuk bisa lewat terusan Suez, namun keberanian para buruh Ikhwan yang menguasai Suez dan Port Said berhasil memboikot kapal-kapal Belanda.
Pada tanggal 9 Agustus 1947, rombongan kapal Belanda yang dipimpin kapal kapal Volendam tiba di Port Said. Ribuan aktivis Ikhwan yang kebanyakan terdiri dari para buruh pelabuhan, telah berkumpul di pelabuhan utara kota Ismailiyah itu.
Puluhan motor boat dan motor kecil sengaja berkeliaran di permukaan air guna menghalangi motor-boat motor-boat kepunyaan perusahaan-perusahaan asing yang ingin menyuplai air minum dan makanan kepada kapal Belanda itu.
Motor-boat para ikhwan tersebut sengaja dipasangi bendera merah putih. Dukungan Ikhwan terhadap kemerdekaan Indonesia bukan sebatas dukungan formalitas, tapi dukungan yang didasari kesamaan iman dan Islam.

Pemimpin kedua Ikhwan, Hasan Hudaiby terus menjalin komunikasi dengan Indonesia melalui M. Natsir
Tokoh-tokoh bangsa seperti Sjahrir dan H Agus Salim yang menemui Mursyid Am Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, dan tokoh Ikhwan selanjutnya menyampaikan terima kasih atas dukungannya terhadap kemerdekaan Indonesia kala itu.
Ketika terjadi pertempuran Surabaya 10 November 1945 dan banyak koran Indonesia memberitakan, Ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam lainnya mengadakan shalat ghaib berjamaah di banyak tempat di Mesir.
Jadi Peran Mesir yang dipelopori oleh Ikhwanul Muslimin sangatlah besar dan berarti buat Indonesia.
Maka, sangatlah wajar kalau pemerintah dan rakyat Indonesia saat ini membantu Mesir dan Palestina dalam menyelesaikan masalah mereka, karena hubungan historis yang sangat kuat.
Di Mesir juga ada Jalan Ahmad Soekarno yang diambil dari nama Presiden Pertama Republik Indonesia.
Sumber : Republika/Salam/SuaraIslam
by Danu Wijaya danuw | Aug 12, 2017 | Artikel, Sejarah
Victor Laisdokat dari fraksi nasdem memberikan terjemahan sendiri kekhilafahan Islam secara tidak layak.
Namun Tahukah Anda? Saat kelaparan melanda Eropa, Khilafah Islam Turki Utsmani datang membantu, tanpa meminta imbalan atau misi keagamaan. Itu semua dilakukan atas dasar kemanusiaan.
Suatu ketika antara tahun 1845-1852 M kelaparan hebat terjadi di seantero Eropa. Peristiwa itu dikenal dengan “The Great Hunger” atau “the Great Irish Famine”. Walaupun bencana kelaparan merata di Eropa, namun kelaparan terparah terjadi di Irlandia dan Skotlandia.
Kelaparan ini disebabkan panen kentang yang berulang kali gagal, sementara kentang yang ada diserang jamur berbahaya, sehingga tidak dapat dikonsumsi.
Selain itu kelaparan juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah Inggris yang mengekspor bibit kentang ke wilayah utara, serta pemberlakuan tanam paksa dengan harga sewa tanah yang tinggi terhadap petani Irlandia, yang saat itu dibawah kekuasaan Inggris.
Akibat bencana kelaparan ini angka kematian meningkat, lebih dari 1 juta orang meninggal dunia, terjadi imigrasi besar-besaran yang membuat jumlah penduduk Irlandia berkurang sebanyak 25%.
Mendengar peristiwa itu Khilafah Sultan Ottoman Turki, Abdul Majid I menyatakan keinginannya untuk mengirimkan bantuan sebesar 10.000 sterling demi membantu para petani Irlandia. Akan tetapi Ratu Victoria meminta Sultan untuk mengirimkan 1.000 sterling saja.
Permintaan Ratu Victoria memang aneh, sepertinya dia tidak mau terlihat rendah karena sebelumnya hanya mengirimkan 2.000 sterling, jumlah yang jauh lebih kecil dibanding tawaran Sultan Turki.
Sultan pun sepakat dengan permintaan tersebut. Dia hanya mengirimkan 1.000 sterling, namun secara diam-diam Sang Sultan mengirimkan 3 kapal besar yang memuat makanan, sepatu dan keperluan lainnya.
Mengetahui hal itu, pemerintah Inggris berusaha memblokir kapal yang membawa bantuan tersebut, akan tetapi kapal-kapal itu berhasil berlabuh di pelabuhan Drogheda dengan aman. Setelah mengantarkan kapal tersebut, para pelaut Ottoman meninggalkan pelabuhan Drogheda dan kembali ke Turki.
Atas pemberian itu masyarakat Irlandia menyampaikan rasa terima kasih kepada sultan Abul Majid I melalui sebuah surat yang hingga saat ini masih tersimpan rapi di museum arsip Turki.

Surat Terimakasih dari Irlandia. Dikolom kotak bawah ada nama-nama Pemimpin, Bangsawan dan Baron (penguasa tanah) Irlandia
Dalam surat tersebut para pembesar dan bangsawan Irlandia menyampaikan pujian kepada Sultan, dan berharap agar tindakan Ottoman menjadi contoh bagi negara-negara lainnya di Eropa.
Adapun isi surat berikut dengan ucapan syukur kepada Khalifah Negara Islam Turki Utsmani:
“Kami para bangsawan, tuan-tuan dan penduduk Irlandia ingin mengekspresikan terima dan terima kasih atas bantuan murah hati Sultan Turki Utsmani.”
“Karena bencana kelangkaan. Hal ini tidak dapat dihindari bagi kita untuk menarik bantuan dari negara-negara lain untuk diselamatkan dari ancaman abadi kematian dan kelaparan.”
“Kemurahan hati Sultan untuk memenuhi panggilan bantuan ini menampilkan contoh untuk Eropa Serikat. Masyarakat merasa lega dan diselamatkan dari kebinasaan melalui tindakan ini yang sangat tepat waktu.”
“Kami mengucapkan terima kasih atas nama mereka dan berharap bahwa Sultan Turki Utsmani dan kekuasaannya akan diselamatkan dari penderitaan yang menimpa kita.” – tulis para Pimpinan & bangsawan Irlandia
Hingga kini peristiwa bersejarah itu masih sangat membekas di hati masyarakat Irlandia, terutama bagi mereka yang tinggal disekitar pelabuhan Drogheda.
Dan sejak peristiwa itu pula masyarakat Irlandia menganggap Turki seperti saudara sendiri. Sehingga tak jarang siapapun yang pernah berkunjung ke Irlandia, khususnya ke Drogheda dapat dengan mudah menyaksikan hal-hal yang bernuansa Turki.
Bahkan salah satu klub sepak bola Irlandia Drogheda United menjadikan lambang kesultanan Ottoman sebagai lambang klubnya.

Klub bola Irlandia dengan lambang Bulan Bintang
Sebagai penghormatan terhadap kekhalifaan Ottoman Turki, mereka bangga dengan lambang tersebut, disaat sebagian kaum muslimin sebaliknya justru bangga dengan jersey berlambangkan salib.
Allahulmustaan.. Begitulah jadinya bila Islam berjaya.
Biarkan Sejarah Bicara.
Sumber : Middle East Update/ yang menyadur dari ’Shalatin Daulah Al-Utsmaniyah’
Source :
When the Ottomans Came to Ireland’s Aid
munculnya symbol-simbol Usmani ( http://en.wikipedia.org/wiki/Drogheda )
[Video : English Subtitle] https://www.youtube.com/watch?v=y4Oaw23NPoU
[Video : Teks Indonesia] https://www.youtube.com/watch?v=AA_fx_TlZiM
Catatan: tahun 1845, nilai 10,000 ponds yang diberikan kepada penduduk Irlandia dari Sultan itu bernilai kurang lebih 800,000 pond pada hari ini, itu sama dengan $1,683,280 US Dollar. Di sisi lain, Ratu memberikan uang senilai 160,000 pond pada hari ini atau 336,656 US Dollar. (Kurs Dollar 2008)
by Danu Wijaya danuw | Jul 25, 2017 | Artikel, Sejarah
YERUSALEM – Masjid Al-Aqsha yang berada di situs suci Yerusalem sedang jadi sorotan dunia, setelah pasukan keamanan Israel sempat menutup masjid itu untuk pertama kali sejak separuh abad silam.
Israel membuka lagi masjid itu dua hari kemudian dengan aturan baru. Yakni, pemasangan detektor logam dan CCTV. Aturan baru inilah yang memicu ketegangan lebih lanjut, karena Israel diduga akan mengubah situs masjid suci itu dari status quo (daerah kondusif, wilayah Internasional)
Lebih dari 900 warga Palestina terluka dalam bentrokan melawan pasukan keamanan Israel untuk memprotes aturan baru di kompleks Masjid Al-Aqsha.
Masjid itu merupakan masjid bersejarah bagi umat Islam yang merupakan kiblat pertama untuk shalat umat muslim sebelum kiblat beralih ke Kakbah di Makkah, Arab Saudi. Setidaknya ada delapan fakta tentang Masjid Al-Aqsha yang menarik untuk diketahui. Berikut fakta-fakta tersebut.
1. Bukan Hanya Satu Masjid Saja
Namanya memang abadi sebagai Masjid Al-Aqsa. Namun, di situs itu sebenarnya ada beberapa masjid. Di bangunan sebelah selatan ada masjid yang dikenal sebagai Masjid Qibly—sebutan untuk situs yang paling dekat dengan kiblat. Namun, semua bangunan termasuk kubah di situs itu dianggap sebagai Masjid Al Aqsa atau terkadang disebuat sebagai “Haram Al-Sharif”. Beberapa masjid yang ada di situs suci itu di antaranya Masjid Buraq, Masjid Marwani dan beberapa masjid lainnya.
2. Diyakini sebagai Tanah Makam
Tidak ada catatan berapa banyak nabi dan sahabat Nabi Muhammad yang dimakamkan di sana. Tapi, dalam sejarahnya, Nabi Sulaiman diyakini dikuburkan di situs suci itu. Nabi Sulaiman diyakini meninggal saat mengawasi pembangunan di situs tersebut dan dimakamkan di sana.
3. Pernah Jadi Tempat Sampah
Pada periode waktu ketika tidak ada orang Yahudi yang diizinkan tinggal di Kota Yerusalem ini, penduduk Romawi yang menguasai wilayah tersebut menggunakan area masjid sebagai tempat pembuangan sampah.
Ketika sahabat Nabi Muhammad, Umar bin Khatab membebaskan Kota Yerusalem, dia membersihkan sampah itu dengan tangan kosongnya. Dia juga mengakhiri pengasingan orang-orang Yahudi yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Umar bahkan mengundang 70 keluarga di sebuah desa pengungsi terdekat kembali ke Yerusalem dan diberikan hak untuk tinggal di sana.
4. Tempat Imam Al-Ghazali Menulis Kitab Ihyaa’ Ulumuddin
Salah satu kitab paling terkenal dalam literatur Islam adalah Ihyaa’ Ulumuddin karya ulama besar Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Dia adalah orang yang dihormati oleh semua aliran pemikiran karena kemampuannya dalam mendalami ajaran Al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad. Apa yang kebanyakan orang tidak tahu adalah bahwa Al-Ghazali pernah untuk sementara waktu tinggal di Masjid Al-Aqsha dan menulis kitab legendaris itu di sana. Sebuah bangunan di Masjid Al-Aqsa pernah ditandai sebagai lokasi kamar lamanya.
5. Jadi Lokasi Pembantaian Umat Islam
Ketika tentara Salib datang ke Yerusalem, mereka menemukan mayoritas penduduk muslim berada di Masjid Al-Aqsa. Tentara itu kemudian membantai sekitar 70.000 dari mereka dan kemudian mengubah kubah menjadi kapel dan masjid diubah menjadi istana. Orang-orang muslim yang selamat dari pembantaian awal kemudian disalibkan di sebuah di dekat pusat masjid.
6. Kiblat Pertama Shalat Umat Islam
Fakta bahwa Masjid Al-Aqsha memang pernah menjadi kiblat pertama bagi umat Islam untuk shalat. Namun, oleh Nabi Muhammad yang mendapat petunjuk Allah, kiblat shalat pindah menghadap Kakbah yang berdiri di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.
7. Pernah Dibakar
Pada tahun 1969, seorang zionis asal Australia, Dennis Michael Rochan, membakar Masjid Al-Aqsa. Seluruh dinding, termasuk mimbar yang dikenal sebagai mimbar Salahuddin al-Ayyubi, terbakar.
Pemadaman dilakukan warga muslim secara gotong-royong. Zionis tersebut pernah diadili di pengadilan Israel. Namun, pada akhirnya dia dibebaskan dengan alasan Rochan mengalami gangguan jiwa.
8. Jejak Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw
Bagi kalangan umat Islam, Nabi Muhammad diyakni meninggalkan jejak di Masjid Al-Aqsha saat peristiwa Isra’ Mi’raj atau dikenal sebagai perjalanan Nabi Muhammad dari Masjid Al-Aqsha ke langit dalam waktu semalam. Perintah shalat dari Allah untuk umat Islam juga turun saat peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad dengan menggunakan Buraq.
Sumber: Muslimmaters.org