0878 8077 4762 [email protected]

Generasi Merdeka

MERDEKA merupakan suatu anugerah dari Allah kepada manusia. Kita sebagai bangsa Indonesia yang negeri telah sah merdeka dengan ditandai sebuah proklamasi kemerdekaan, adalah nikmat yang harus disyukuri.
Sebab tidak semua negara merasakan sebagaimana kita rasakan. Seperti Palestina. Negara yang masuk pada wilayah Syam itu telah lama menjadi bulan-bulanan Israel yang tak punya sifat manusiawi.
Berpuluh tahun tetesan darah tumpah demi memperebutkan tanah yang Allah berkahi itu. Negara-negara lainnya pun masih dalam keseteruan panjang.
Jika dipandang dari sisi rasa aman, kondisi mereka belum merdeka. Keamanan seakan dicabut pada hati para penghuninya. Tapi kalau dilihat dari sisi Islam, bisa jadi mereka adalah orang yang merdeka. Lalu seperti apa merdeka dalam pandang Islam?
Merdeka, seperti yang dikatakan oleh salah seorang Ulama, “Keberadaan manusia sebagai hamba Allah baik dari sudut penciptaan, perasaan maupun akhlaq.”
Maknanya bahwa seorang muslim hakekatnya tidak merdeka ketika belum berusaha melepas diri dari belenggu penghambaan kepada selain Allah.
Keberadaan diri sebagai makhluk yang ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan, tentu bakal menjadi asfalas safilin, menjadi orang yang hina-dina saat merasa nyaman dalam lingkaran penghambaan selain-Nya.
Mudah ditemukan orang yang telah biasa berharap banyak kepada manusia. Padahal bila berharap kepada makhluk tentu sering kecewa. Karena manusia memiliki kelemahan dan kekurangan.
Tak hanya itu saja. Seringkali manusia dalam suatu urusan, rasanya sulit untuk melibatkan Allah. Padahal Dialah yang Maha Berkehendak pada segala rencana manusia.
Hal seperti itu akhirnya dipandu pada sikap praduga belaka, nasib baik dan buruk seseorang. Bukan lagi diatas landasan keyakinan penuh kepada-Nya, bahwa apa yang telah terjadi pasti mengandung hikmah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai penyampai kabar gembira sekaligus peringatan, telah memutus rantai penghambaan kepada selain Allah ta’ala. Apa yang beliau dakwahkan merupakan estafet para nabi yang telah disampaikan kepada setiap umat.
Seruannya berbentuk ajakan agar menyembah Allah dan menjauhi thagut. Menetapkan Allah sebagai Rabb yang berhak diibadahi dan meniadakan segala sekutu bagi-Nya.
Hal ini pula sebagaimana yang disampaikan Rib’iy bin Amir, saat di utus Oleh khalifah Umar bin Khattab ke salah satu negara adidaya, Persia. Dengan gagahnya, utusan Khalifah ini berkata didepan panglima persia Rustum, “

ابتعثنا الله لنخرج الناس من عبادة العباد لعبادة الله وحده

“Kami (umat Islam) diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba untuk menghamba kepada Allah semata.”
Maka, suatu prestasi yang gemilang dengan melihat generasi terbaik. Suatu bibit yang tumbuh dibawah naungan wahyu ilahi, yaitu jaman Rasulullah dan para sahabat.
Generasi yang sampai disebut sebagai Khoirul Ummah, melihat semua manusia yang berdiri dalam penghambaan kepada manusia, berubah begitu kerdil dimata mereka.
Sebab hati mereka telah terpaut kepada Dzat yang tidak pernah berhenti mengawasi hambanya. Yang menjadikan hati hamba-Nya merdeka dari segala penghambaan kepada yang fana dan nista.
Mereka adalah generasi merdeka. Jiwa dan raga bebas dari segala bentuk kekangan yang membuat terpenjara pada sikap bergantung pada selain-nya.
Merekapun telah berhasil merdeka dari belitan nafsu yang tidak pernah berhenti menyerang. Mereka tundukkan sebagaimana penunggang kuda telah menguasai kudanya.
Jadi, kemerdekaan adalah suatu keniscayaan saat kita berusaha membuang seluruh penghambaan kepada manusia, dan termasuk penghambaan pada nafsu kita.
Mari, jadikan totalitas kemerdekaan dengan menjadi hamba yang hanya bergantung penuh kepada-Nya. Wallahu a’lam.
 
Oleh: Rohmat Saputra
Anggota Kelas Menulis Islampos

Amaliyah Dzulhijjah

Oleh : Ustad Fauzi Bahreisy
 
Bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antara 12 bulan tersebut, terdapat 4 bulan haram (QS at-Taubah 36)
Keempat bulan yang dimaksud adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Di dalamnya Allah melipatgandakan pahala amal salih.
Dan di antara ke-4 bulan suci dan mulia tersebut, terdapat hari-hari yang sangat utama yaitu sepuluh hari pertama dari bulan dzulhijjah.
Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini.
Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’
Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.” [HR al-Bukhori]
Amal saleh tersebut berlaku umum mencakup apa saja. Namun terdapat amal-amal yg secara khusus diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Misalnya:
1. Puasa
Dalam riwayat Hafshah ra, Nabi saw berpuasa biasa berpuasa 9 hari pertama Dzulhijjah. Jadi minimal puasa Arafah.
Nabi saw bersabda: “Puasa hari arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai penebus dosa satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya..” (HR. Ahmad dan Muslim).
2. Takbir, tahlil, dan tahmid
Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.”
Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada 10 hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir.
3. Shalat Iedul adha
Rasul saw tidak pernah meninggalkannya, bahkan mengajak seluruh kaum muslimin dan muslimat utk datang ke shalat ied, meski dalam kondisi berhalangan shalat (seperti haid dan nifas)
4. Berkurban
Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang memperoleh kelapangan untuk berkurban, dan dia tidak mau berkurban, maka janganlah hadir dilapangan kami (untuk shalat Ied).” [HR Ahmad, Daruqutni, Baihaqi dan al Hakim]
Catatan:
Bagi yg ingin berkurban hendaknya mulai tanggal 1 Dzulhijjah sampai penyembelihan kurban, tidak lagi memotong kuku dan rambut.
Tanggal 1 Dzulhijjah jatuh pada Rabu, 23 Agustus 2017.

Sering Mengkhayal Ketika Shalat Menurut Imam Nawawi

Sering sekali pikiran lain muncul tiba-tiba dalam benak kita ketika mengerjakan shalat. Seperti soal pekerjaan, anak, harta, dan dagangan.
Bahkan dalam shalat pun, terkadang khayalan aneh datang menghantui pikiran. Sehingga, semua itu membuat kekhusyukan ibadah menjadi terganggu dan berkurang.
Lalu bagaimana hukumnya? Apakah masih sah shalat orang yang mengkhayal ketika shalat?
Terkait masalah ini, Imam An-Nawawi punya jawaban di dalam kitabnya Fatawa Al-Imam An-Nawawi:

إذا فكر في صلاته في المعاصي والمظالم ولم يحضر قلبه فيها ولا تدبر قراءتها هل تبطل صلاته أم لا؟ أجاب رضي الله عنه: تصح صلاته وتكره..

Artinya, “Bila seorang mengkhayal maksiat dan kezalimaan pada saat shalat sehingga hatinya tidak fokus dan dia tidak meresapi bacaannya, apakah shalatnya masih sah? ‘Shalatnya sah, namun makruh,’” jawab Imam An-Nawawi.”
Orang yang mengkhayal, pikirannya melayang ke mana-mana, bahkan memikirkan sesuatu yang buruk, shalatnya masih dihukumi sah.
Meskipun sah, shalatnya dianggap makruh, karena hatinya tidak hadir dan dia tidak meresapi bacaan yang dilafalkannya sendiri atau mendengar lafal Imam.
Lalu apakah diterima shalatnya? Wallahu a’lam. Kita tidak pernah tahu shalat yang kita kerjakan tersebut apakah diterima atau tidak.
Namun Allah SWT menerangkan dalam sebuah hadits Qudsi tentang Shalat yang Ia terima:
Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku hanya akan menerima shalat orang-orang yang merendahkan dirinya-karena kebesaran-Ku, menahan dirinya dari hawa nafsu karena Aku, yang mengisi sebagian waktu siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, yang melazimkan hatinya untuk takut kepada-Ku, yang tidak sombong terhadap makhluk-Ku, yang memberi makan pada orang yang lapar, yang memberi pakaian pada orang yang telanjang, yang menyayangi orang yang terkena musibah, yang memberikan perlindungan kepada orang yang terasing. Kelak cahaya orang itu akan bersinar seperti cahaya matahari.
Aku akan berikan cahaya ketika dia kegelapan. Aku akan berikan ilmu ketika dia tidak tahu. Aku akan lindungi dia dengan kebesaran-Ku. Aku akan suruh Malaikat menjaganya.
Kalau dia berdoa kepada-Ku, Aku akan segera menjawabnya. Kalau dia meminta kepada-Ku, Aku akan segera memenuhi permintaannya. Perumpaannya dihadapan-Ku seperti perumpamaan surga Firdaus”.
Kekhusyukan memang tidak menjadi kewajiban di dalam shalat, namun bukan berarti kita mengabaikannya. Kita mesti  mengupayakan dan mengusahkannya. Minimal kita berusaha merenungi dan meresapi setiap bacaan yang dilafalkan ketika shalat.
Setelah berniat dan melakukan takbir, seharusnya pikiran dan hati kita fokus untuk beribadah dan tertuju pada Allah SWT.
Wallahu A’lam.
 

Cara Membentengi Diri Dari Maksiat Menurut Salaf

SADAR ataupun tidak, dalam keseharian kita maksiat sangatlah dekat dengan kita. Tak sedikit dari kita yang belum mampu untuk menguasai dirinya sehingga terjerumus ke dalam maksiat.
Bagi sebagian orang yang menginginkan keluar dari kemaksiatan, ternyata inilah hal yang bisa membentengi diri Anda dari kemaksiatan.
Ilmu ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membentengi maksiat.
Karena semakin seseorang berilmu dan makin mengenal agungnya Rabb yang telah menciptakan dan memberikan berbagai nikmat untuknya, maka tentu ia akan semakin punya rasa takut pada Allah.
Rasa takut inilah yang dapat membentengi dari maksiat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba bisa menerjang yang haram karena dua sebab:
1- Suuzhon (berprasangka jelek) pada Allah. Karena seandainya seseorang mentaati dan mendahulukan perintah Allah, tentu ia hanya mau melakukan yang dihalalkan.
2- Hawa nafsunya mengalahkan sifat sabar dan menutupi akal, dalam keadaan ia tahu yang dilakukan itu haram. Padahal jika seseorang meninggalkan sesuatu karena Allah, Dia akan mengganti yang lebih baik.
Sebab yang pertama di atas disebabkan karena sedikitnya ilmu. Sedangkan yang kedua dikarenakan kurangnya akal dan bashiroh (cara pandang),” (Al Fawaid karya Ibnul Qayyim, hal. 78).
Itulah yang terjadi di saat kita mudah berbuat maksiat. Itu semua disebabkan karena kurangnya ilmu dan kurangnya akal. Karena ilmu itulah yang dapat membuat kita punya rasa takut pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam ayat, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama,” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling takut pada Allah dengan takut yang sebenarnya adalah para ulama (orang yang berilmu).
Karena semakin seseorang mengenal Allah Yang Maha Agung, Maha Mampu, Maha Mengetahui dan Dia disifati dengan sifat dan nama yang sempurna dan baik, lalu ia mengenal Allah lebih sempurna, maka ia akan lebih memiliki sifat takut dan akan terus bertambah sifat takutnya,” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 308).
Para ulama berkata, “Siapa yang paling mengenal Allah, dialah yang paling takut pada Allah.”
Semakin seseorang berilmu, semakin ia memiliki rasa takut pada Allah. Rasa takut inilah yang membentengi seseorang dari maksiat. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu dalam mengenal Rabbnya.
Seringkali pula para ulama berkata -di antaranya Imam Asy Sya’bi-, “Orang yang berilmu, itulah yang punya rasa takut pada Allah.”
Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Cukup rasa takut pada Allah disebut ilmu dan cukup orang yang terbuai dengan karunia Allah disebut bodoh.” (Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 3: 333).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika orang yang takut pada Allah adalah para ulama, lalu mereka inilah yang terpuji dalam Al Qur’an dan mereka pun tidak dicela, maka merekalah yang biasa menjalankan kewajiban,” (Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 7: 21).
 
Sumber: Rumaysho

Ketika Ibu Marah Terhadap Syeikh AsSudais

SIAPA yang tidak mengenal Syeikh Abdurrahman AsSudais? Imam Masjidil Haram, sekaligus hafidz yang memiliki suara yang sangat menyentuh para ma’mum dan pendengarnya.
Tetapi ternyata di balik kesuksesannya, beliau memiliki kisah unik di masa kecilnya.
Ketika itu orang tua Syeikh Sudais akan kedatangan tamu kehormatan, sehingga ibunda Syeikh Sudais menyiapkan hidangan termasuk memasak kambing untuk menyambut tamu tersebut.
Ketika hidangan sudah siap saji, masuklah Sudais kecil setelah bermain ke dalam rumahnya. dan alangkah kagetnya sang IBU melihat apa yang Sudais kecil lakukan terhadap hidangan yang sudah ia siapkan.
Sudais kecil menaburkan pasir ke dalam hidangan kambing yang disiapkan ibunya.
Kaget bercampur kesal akhirnya ibunda beliau memarahinya,  “Sudais, dasar kamu anak nakal! Awas kamu kalau sudah besar kamu akan menjadi IMAM MASJIDIL HARAM!”
Kemarahan ibunda Sudais inilah yang menjadi do’a luar biasa untuknya.
Sudais dewasa tumbuh menjadi seorang Imam Besar Masjidil Haram, sesuai dengan apa yang diucapkan oleh ibunya

Ada Doa dan Dzikir Agar Bebas Utang

Utang adalah perkara yang dihalalkan dalam Islam. Tetapi, jika tidak hati-hati, utang bisa membawa musibah. Karena sebuah utang itu sangat wajib untuk kita lunasi.
Utang juga tidak hanya berupa uang, utang pun dapat berupa janji atau tindakan. Seorang sahabat pernah mengeluh kepada Rasulullah Muhammad SAW. Sahabat itu sedang kesulitan karena utang.
” Kenapa tidak amalkan Sayyidul Istighfar?” kata Rasulullah.
Rasulullah kemudian menyarankan sahabatnya untuk mengamalkan zikir Sayyidul Istighfar antara terbit fajar dan Sholat Subuh.
Subhaanallaahi wa bi hamdih, subhaanallaahil ‘azhiim, astaghfirullaah, 100 kali.
Artinya,
” Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya. Mahasuci Allah yang Maha Agung. Aku memohon ampun kepada Allah,” 100 kali.
Kemudian ada doa melunasi utang yang dibaca sebelum tidur. Doa ini adalah di antara doa yang bisa diamalkan untuk melunasi utang.
Telah diceritakan dari Zuhair bin Harb, telah diceritakan dari Jarir, dari Suhail, ia berkata, “Abu Shalih telah memerintahkan kepada kami bila salah seorang di antara kami hendak tidur, hendaklah berbaring di sisi kanan kemudian mengucapkan,

اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى، وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ وَالْفُرْقَانِ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ اْلآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ، اِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ

Allahumma robbas-samaawaatis sab’i wa robbal ‘arsyil ‘azhiim, robbanaa wa robba kulli syai-in, faaliqol habbi wan-nawaa wa munzilat-tawrooti wal injiil wal furqoon. A’udzu bika min syarri kulli syai-in anta aakhidzum binaa-shiyatih.
Allahumma antal awwalu falaysa qoblaka syai-un wa antal aakhiru falaysa ba’daka syai-un, wa antazh zhoohiru fa laysa fawqoka syai-un, wa antal baathinu falaysa duunaka syai-un, iqdhi ‘annad-dainaa wa aghninaa minal faqri.
Artinya:
“Ya Allah, Rabb yang menguasai langit yang tujuh, Rabb yang menguasai ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu. Rabb yang membelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah, Rabb yang menurunkan kitab Taurat, Injil dan Furqan (Al-Qur’an).
Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya (semua makhluk atas kuasa Allah).
Ya Allah, Engkau-lah yang awal, sebelum-Mu tidak ada sesuatu. Engkaulah yang terakhir, setelahMu tidak ada sesuatu. Engkau-lah yang lahir, tidak ada sesuatu di atasMu. Engkau-lah yang Batin, tidak ada sesuatu yang luput dari-Mu.
Lunasilah utang kami dan berilah kami kekayaan (kecukupan) hingga terlepas dari kefakiran.” (HR. Muslim no. 2713)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa maksud utang dalam hadits tersebut adalah kewajiban pada Allah Ta’ala dan kewajiban terhadap hamba seluruhnya, intinya mencakup segala macam kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 17: 33).
Juga dalam hadits di atas diajarkan adab sebelum tidur yaitu berbaring pada sisi kanan.
Semoga bisa diamalkan dan Allah memudahkan segala urusan kita dan mengangkat kesulitan yang ada.
Namun, hal yang perlu diingat jika kita memiliki utang, selain berdoa dan berzikir, anda pun perlu berusaha untuk membayar utang tersebut.