Pesan Nabi SAW memang selalu terasa istimewa. Pesan yang tidak lekang oleh masa, tidak lapuk oleh waktu, serta selalu menjadi kiat dan kunci sukses dalam kehidupan manusia.
Misalnya, pesan Nabi SAW berikut ini, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja dan kapan saja engkau berada. Ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya ia menghapuskannya. Berinteraksilah dengan manusia dengan akhlak yg baik.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
Menurut Yusuf al-Qardhawi, pesan Nabi di atas mengarah kepada tiga kunci dan kiat yang sangat efektif dalam membangun relasi. Pertama adalah kiat membangun relasi dengan Allah. Ini sangat prinsip dan fundamental. Relasi dengan Allah harus tegak di atas landasan takwa.
Bertakwa dalam pengertian menjauhkan diri dari hal yang bisa mencelakakan; menjauhkan diri dari siksa-Nya; yaitu dengan menjauhkan diri dari dosa dan kejahatan dan melaksanakan semua perintah. Ketakwaan tersebut berlaku berlaku di mana saja dan kapan saja kita berada.
Pasalnya, Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Meski tidak ada orang yang melihat, tidak ada kamera yg mengintai, tidak ada cctv yang mengawasi, tidak ada yang menjadi saksi, namun yakinlah Dia tetap membersamai. Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Hadid: 4)
Tidak ada yang luput dari-Nya. Tidak ada yang lepas dari hisab-Nya. Semua akan diminta pertanggungjawaban oleh-Nya. Bila di dunia berhasil menipu dan mengelabui manusia, maka di akhirat tidak ada yang bisa menipu dan memperdaya Allah. Demikian prinsip yang harus menjadi dasar relasi manusia dengan Allah.
Kedua, terkait kiat membangun relasi dengan diri sendiri. Yaitu segera menyusul keburukan dengan amal kebaikan. Tidak ada manusia yang bersih dari kesalahan. Namun bukan berarti itu menjadi alasan untuk mengulang apalagi bangga dengan kesalahan yang dilakukan. Nabi SAW bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertobat.” (HR Tirmidzi).
Jadi, saat jatuh dan tergelincir dalam dosa dan kesalahan, manusia harus segera menyesal, bertobat dan menyusul kesalahan tadi dengan berbagai kebaikan. Sebab ketika keburukan dibiarkan bahkan diulang-ulang, ia bisa menjadi kebiasaan. Dan kalau sudah menjadi kebiasaan hati akan kesat dan mengeras sehingga ia tidak merasa kalau itu adalah sebuah kesalahan.
Ketiga, kiat membangun relasi dengan orang lain. Yaitu dengan menunjukkan akhlak mulia. Akhlak mulia itu terlihat pada sikap, tampilan, dan tutur kata. Ia terwujud dalam sikap yang mudah memaafkan, suka membantu, memberikan kelapangan, tidak pendendam, jujur, adil, dan seterusnya. Akhlak semacam inilah yang akan membuat orang lain simpati, merasa nyaman, aman, hangat, dan bahagia.
Bila ketiga pesan Nabi SAW dipraktikkan dalam kehidupan, pasti hidup manusia akan sukses dan selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Saat itu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Tsauban RA oleh Imam Abu Daud bahwa Nabi SAW menggambarkan kondisi umat Islam di masa sepeninggal beliau. Beliau berkata, “Sebentar lagi sejumlah kalangan akan mengerubuti kalian sebagaimana orang-orang yang sedang lapar mengerubuti hidangan.”
Sungguh satu gambaran yang memilukan dan menghentak banyak orang. Umat Islam menjadi santapan dan makanan yang dikerubuti banyak orang. Karenanya para sahabat yang berkumpul itu pun bertanya, “Apakah itu terjadi karena jumlah kita yang sedikit ketika itu wahai Rasulullah?”
Beliaupun menjawab, “Tidak. Jumlah kalian banyak. Namun kalian laksana buih seperti buih di lautan. Allah cabut dari dada musuh rasa gentar kepada kalian dan Allah tanamkan pada diri kalian sifat lemah (wahn).”
Penjelasan Nabi di atas membuat sahabat semakin heran. Tidak terbayang umat Islam yang saat itu sedang kuat dan berjaya, pada masa selanjutnya akan menjadi lemah tidak berdaya. Maka, mereka bertanya, “Apa yang dimaksud dengan lemah (wahn) tersebut?” “Cinta dunia dan takut mati,” jawab beliau.
Itulah penjelasan Nabi tentang faktor yang menyebabkan kelemahan umat. Rahasia dan sebabnya adalah cinta dunia. Inilah penyakit kronis yang paling mengkhawatirkan. Bila cinta dunia bersarang di hati, bersiaplah menjadi umat dan bangsa pecundang.ย Sebab, cinta dunia seringkali melenakan dan membutakan. Bukankah kekalahan di perang Uhud juga karena disebabkan oleh kecintaan terhadap dunia?
Bukankah mereka meninggalkan bukit yang disuruh untuk dijaga oleh Nabi setelah melihat harta rampasan perang yang berada di depan mata? Bukankah akhirnya mereka ditegur dalam Alquran, “Di antara kalian ada yang menginginkan dunia dan di antara kalian ada yang menginginkan akhirat.”
Salah orientasi dengan mencintai dunia dan melupakan akhirat memang bisa berakibat fatal. Dalam hadis lain Nabi mengingatkan, “Bukan kefakiran yang kukhawatirkan atas kalian. Namun aku khawatir bila dunia sudah berada di tangan kalian sebagaimana telah diberikan kepada orang-orang sebelum kalian. Akhirnya kalian saling bersaing memperebutkannya sebagaimana mereka. Maka hal itu membinasakan kalian sebagaimana sebelumnya juga membinasakan mereka.” (HR Bukhari Muslim).
Karena dunia banyak orang bermusuhan. Karena dunia, mereka memukul dan menganiaya saudara. Karena dunia, mereka tega menyiksa dan menghabisi nyawa. Karena dunia mereka menjual suara. Karena dunia, mereka rela membungkuk-bungkuk menghinakan diri tidak memiliki wibawa. Karena dunia, mereka tak berani berbicara. Karena itu, Hasan al-Bashri berkata, “Cinta dunia pangkal segala kejahatan.”
Nabi SAW mengajarkan sebuah doa agar tidak menjadikan dunia sebagai tujuan akhir dalam hidup. “Ya Rabb jangan jadikan dunia sebagai perhatian terbesar kami dan tujuan akhir ilmu kami.” (HR at-Tirmidzi).
Dalam Alquran terdapat sebuah pertanyaan menarik yang diungkapkan oleh Nabi Ibrahim AS kepada ayah dan kaumnya, “Apa prasangka kalian terhadap Tuhan semesta alam?” (QS ash-Shaffat: 78).
Sebab, prasangka manusia terhadap Tuhan menunjukkan sejauh mana kualitas iman dan keyakinannya. Itulah yang akan menentukan sikap dan perbuatannya. Terutama saat dihadapkan pada kondisi sulit dan berat serta saat dihadapkan pada ujian dan cobaan yang luar biasa.
Termasuk ketika berada pada kondisi wabah pandemi sekarang ini yang terus menyebar secara masif. Ketika banyak yang jatuh sakit dan wafat, ketika banyak yang kehilangan keluarga, pekerjaan, dan penghasilan, ketika interaksi dan pergaulan dibatasi begitu rupa. Seakan manusia terkungkung dalam lingkungan kecilnya.
Dalam kondisi semacam itulah muncul beragam dugaan dan prasangka manusia kepada Tuhan. Sebagian orang mungkin menjadi frustrasi dan menyalahkan Allah SWT karena dianggap membiarkan dan sengaja mencampakkan umat manusia pada penderitaan. Tuhan dipersepsikan sebagai Dzat yang kejam penuh angkara murka. Atau bisa pula ada yang sudah tidak percaya pada-Nya.
Pada saat semacam ini biasanya setan terus bermain dan berusaha membuat manusia putus asa. Ia membisikkan berbagai macam bisikan. Karena itulah, sifat aslinya seperti yang Allah terangkan dalam surat an-Nas ayat 5. Tujuannya adalah agar, “Engkau tidak mendapati sebagian besar mereka bersyukur.” (QS al-A’raf: 17).
Namun, orang beriman hatinya tetap terpelihara dan selalu berbaik sangka kepada Allah. Ia yakin dan percaya di balik ini semua pasti ada hikmah dan kebaikan yang hendak Dia berikan kepada manusia. Sebab, Dia Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kasih sayangnya mengalahkan murka-Nya. Dia juga Dzat selama ini telah banyak memberikan karunia.
Dari musibah dan bencana, bisa jadi Dia ingin menguji manusia; ingin melatih mereka untuk bisa bertahan dan bersabar; ingin agar mereka sadar dan bertobat dari segala kesalahan; ingin menyadarkan akan kelemahan diri manusia; ingin agar manusia berkarya menemukan inovasi dan temuan barunya; ingin agar manusia mengingat kematian yang sangat dekat dengannya; dan seterusnya.
Orang beriman yakin Allah tidak akan membiarkan dirinya, sebagaimana ucapan Nabi Muhammad SAW saat berada dalam kondisi sulit, “Jangan bersedih, Allah bersama kita.” (QS at-Taubah: 40).
Orang beriman yakin Allah akan memberikan balasan atas kesabaran-Nya sebagaimana bunyi firman-Nya, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS az-Zumar: 10).
Orang beriman selalu bersyukur bahwa selama alam ini diatur dan diurus oleh Allah, Dia pasti akan menghadirkan kebaikan bagi umat manusia. Itulah pengakuan yang terucap lewat lisan saat membaca surah al-Fatihah, “Alhamdulillah Rabbil alamin.”
Dalam hadis qudsi Allah berfirman, “Aku bersama prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik, itulah yang ia dapatkan. Namun, jika ia berprasangka buruk, itu pula yang ia dapatkan” (hadis hasan dalam kitabย al-Jami ash-Shaghir lis Suyuthi).
============================ DONASI DAKWAH :
Transfer ke: Bank Syariah Mandiri
No. Rek. 703 7427 734
a.n Yayasan Telaga Insan Beriman konfirmasi via WA 081311139686
============================ DONASI DAKWAH :
Transfer ke: Bank Syariah Mandiri
No. Rek. 703 7427 734
a.n Yayasan Telaga Insan Beriman konfirmasi via WA 081311139686
Sesungguhnya muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat nanti.
(HR. Muslim No. 387, Ibnu Majah No. 725, Ath Thabarani dalam Al Muโjam Al Kabir No. 777, Al Baihaqi dalam Syuabul Iman No. 2789, Ahmad No. 1681, Abu Yala No. 7384, 7388, Al Qudhai dalam Musnadnya No. 235, Abu Uwanah No. 971, 973, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 2/277, No. 415, dll)
Beragam makna diberikan para imam tentang kalimat orang yang paling panjang lehernya, dan tidak satu pun yang memaknai secara hakiki, melainkan majazi saja.
Imam Al Baghawi mengatakan dari Ibnul Arabi: Aktsaruhum amaalaโ (yang paling banyak amalnya di antara manusia). (Syarhus Sunnah, 2/277)
Ada yang mengatakan bahwa para muadzin akan menjadi pemimpinnya para pemimpin, orang Arab menamakan pemimpin sebagai orang yang paling panjang lehernya. Ada yang menyebut para muadzin menjadi orang paling cepat dan dahulu memasuki surga. Dalam As Sunan Al Baihaqi diriwayatkan bahwa Abu Bakar bin Abu Daud berkata: aku mendengar Ayahku berkata: maksud hadits ini bukan lehernya benar-benar menjadi panjang, tetapi pada hari itu manusia kehausan jika mereka haus maka leher mereka mengkerut, sementara para muadzin mereka tidak kehausan dan leher mereka tetap tegak. (Syarh Sunan Ibni Majah, 1/53)
Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi Rahimahullah menjelaskan: Para salaf dan khalaf berbeda pendapat tentang maknanya. Ada yang mengartikan bahwa muadzin adalah orang yang paling banyak menengok kepada rahmat Allah Taala, karena yang sedang menengok akan memanjangkan lehernya kepada apa yang dia lihat. Jadi, artinya adalah orang yang paling banyak melihat adanya pahala. Berkata An Nadhr bin Syamiil: Pada hari kiamat urat leher manusia terkekang sehingga leher mereka menjadi panjang agar mereka tidak mendapatkan kesusahan dan tidak berkeringat. (Shahih Muslim, dengan tahqiq Syaikh Fuad Abdul Baqi, 1/290. Ihyaut Turats Al Arabi, Beirut)
Semua makhluk yang mendengar adzan akan menjadi saksi bagi muadzin pada hari kiamat
Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu Anhu, dia berkata kepada seorang laki-laki:
Aku perhatikan kamu ini orang yang suka menggembala dan berkelana, maka jika kamu sedang menggembala kambingmu atau sedang berkelana maka adzanlah kamu dengan adzan seperti adzan shalat, tinggikan suaramu dengan adzan karena sesungguhnya semua yang mendengarkan adzan, baik dari golongan jin dan manusia dan apa pun saja, mereka akan menjadi saksi bagi si muadzin ada hari kiamat nanti. Abu Said berkata: Aku mendengar hal ini dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. (HR. Al Bukhari No. 609)