0878 8077 4762 [email protected]
Kemenangan Pertempuran Ain Jalut, Umat Islam Melawan Mongol di Bulan Ramadhan

Kemenangan Pertempuran Ain Jalut, Umat Islam Melawan Mongol di Bulan Ramadhan

Hanya dengan kekuatan 200.000 tentara dan berlangsung hanya dalam waktu 40 hari Kekhalifahan Abbasiyah yang bertahta selama 500 tahun dengan segala kebesarannya lenyap dari muka bumi.
Baghdad luluh lantak dihancurkan. 1,8 juta kaum muslimin di Baghdad disembelih dan kepalanya disusun menjadi gunung tengkorak. Tua, muda bahkan kanak-kanak. Laki-laki maupun perempuan, hingga janin di dalam kandungan semua dipenggal.
Khalifah dibantai beserta 50.000 tentara pengawalnya. Sejak pembantaian itu selama 3,5 tahun umat Islam hidup tanpa Khalifah. Tentara yang biadab memusnahkan ribuan perpustakaan yang memuat jutaan kitab-kitab, manuskrip-manuskrip sebagai khazanah peradaban di Baghdad dengan mencampakkannya ke dalam sungai hingga berwarna kehitaman. Siapa pelakunya?
Mereka yang bengis itu disebut Bani Qantura dengan ciri-ciri fisik bermuka lebar dan bermata kecil yang telah diisyaratkan kemunculannya oleh Nabi Muhammad saw. Kita mengenalnya sebagai bangsa Mongol atau Tartar yang kala itu dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan.
Ketika itu, seluruh negeri Islam yaitu Baghdad, Syria dan Asia Tengah sudah jatuh ke tangan tentara Mongol. Hanya tinggal tiga negeri Islam yang belum dimasuki yaitu Makkah, Madinah dan Mesir. Maka Hulagu Khan terus merangsek berupaya menaklukkan negeri yang lain.
Ambisi selanjutnya adalah menaklukan  Mesir dan mengutus delegasi Mongol ke Mamluk Mesir, dimana pemimpin saat itu adalah Sultan Syaifuddin Muzaffar al Quthuz. Delegasi ini datang dengan membawa surat dari Hulagu Khan yang isinya,“Dari Raja Raja Timur dan Barat, Khan Agung. Untuk Quthuz Mamluk.”
Isi surat tersebut melecehkan kedaulatan Islam, cuma ada dua opsi, menyerah atau berperang. Syaifuddin Quthuz tidak gentar sedikitpun, malah beliau dengan berani menempeleng delegasi Mongol itu dan membunuh mereka karena tertangkap tangan melakukan tindakan spionase. Dengan segera ia menggerakkan pasukannya dan memancing Mongol untuk bertempur di Ain jalut.
Kemudian Al Quthuz segera memobilisasi tentaranya maka terbentuklah pasukan berjumlah 20. 000 orang tentara dan bergerak menuju Ain Jalut di Palestina untuk menantang tentara Mongol.

ain jalut 3a

Map pertempuran di Palestina, daerah Ain Jalut


Bahkan istri sang sultan ikut berjuang dan memilih jalan jihad bersama kekasihnya. Pada malamnya Quthuz dan pasukan Islam melakukan tahajud dan memohon dari Allah demi kemenangan pasukan Islam dalam pertempuran esok hari. Malam itu adalah malam jum’at 25 Ramadhan, mereka menghabiskan malam mereka dengan tahajud dan doa serta menyerahkan diri kepada Allah.
Semoga Allah menerima mereka sebagai hamba-Nya dan memberikan kemuliaan kemenangan atau syahid di medan pertempuran esok hari. Hari di mana mereka menebus semua kematian jutaan umat Islam di tangan Mongol. Hari dimana kekhalifahan Islam akan sirna selamanya jika Mongol berhasil mengalahkan mereka.
Jum’at, 25 Ramadhan 658 H
Sultan Quthuz berdiri gagah, ia hendak memotivasi seluruh tentara gabungan Mesir, Syam dan Turki, serta seluruh rakyat Mesir untuk bergerak menuju jihad di jalan Tuhan. Suaranya begitu lantang dan keras, membuat jiwa bergetar, dan mengalirkan air mata, kata-katanya terdengar nyaring, menyerukan jihad paling menentukan dalam sejarah.
“Jika Mongol memiliki kuda, panah, tameng, dan manjanik. Maka kita punya yang tak terkalahkan oleh apapun, kita punya Allaaaaah… Azza wa Jalla!”
Suara takbir bergemuruh, semangat pasukan terbakar, dan rakyat  berjanji akan bertempur bersama sultan mati-matian, hingga darah penghabisan.
Bertemulah Kedua kekuatan tersebut di Medan perang Ain jalut, Pasukan Mamluk dengan mengandalkan pasukan kavaleri sebagai kekuatan utama di pimpin oleh Jendral Baibars dengan Sultan Quthuz mengamati dari dataran tinggi sementara Pasukan Mongol dipimpin langsung oleh jendral tangan kanan dan kepercayaan Hulagu Khan, Qitbuka Noyan.
Baibars yang memiliki jumlah pasukan kaveleri yang lebih sedikit menggunakan taktik “hit and run” dalam melawan pasukan Mongol hingga terjadi pertempuran selama berjam-jam sampai pada akhirnya pasukan Mongol jatuh ketengah-tengah perangkap pasukan Mamluk.
Melihat lawannya sudah masuk kedalam perangkap, pasukan Mamluk yang bersembunyi mulai keluar dan langsung menghujani pasukan Mongol dengan panah dan meriam kecil dalam penyerangan ini.
Ketika pasukan lawannya sudah berada dalam posisi terdesak, pasukan kavaleri Mamluk lain yang juga bersembunyi serta kemudian disusul oleh Infantrinya langsung menyerbu lawannya dalam empat posisi, menutup jalan keluar bagi pasukan Mongol.
Qitbuka yang menyadari bahwa pasukannya tidak mempunyai harapan lagi untuk melawan pasukan Kaveleri utama pimpinan Baibars dan memenangkan pertempuran, serta pasukannya terpojok ditengah-tengah, segera memerintahkan keseluruhan sisa pasukan yang dimilikinya untuk memfokuskan penyerangan ke posisi sayap kiri pasukan Mamluk pimpinan Al-Mansur Mohammad yang dirasa paling lemah, untuk membuka jalan keluar bagi pasukan yang dipimpinnya. Setelah digempur secara gencar akhirnya posisi sayap kiri pasukan Mamluk menjadi goyah.
Dari dataran tinggi, Sultan Quthuz yang mengamati jalannya pertempuran, melihat posisi sayap kiri pasukannya mulai terbuka akan dijebol pasukan Mongol, seketika itu pula ia membuang topeng bajanya ke tanah hingga wajahnya dapat terlihat oleh seluruh pasukannya, Sambil mengacungkan senjata Ia menggebrak kudanya ke arah posisi sayap kiri pasukannya,dan berteriak keras-keras,
“Demi Islam!..Demi Islam!”
Melihat sultannya menuju ke arah mereka, seketika itu pula moral dan semangat bertempur pasukan sayap kiri Mamluk meningkat, mereka kembali meningkatkan pertahanan dan tekanan kepada pasukan Mongol, satu-persatu pasukan Mongol berjatuhan terbunuh termasuk Qitbuka.
Pasukan yang tak pernah terkalahkan akhirnya takluk oleh pejuang Islam yang pemberani dan panji-panji Islam kembali ditegakkan.
Sultan Syaifuddin Muzhaffar al Quthuz meninggal dunia hanya lima puluh hari setelah kemenangan Ain Jalut. Kekuasaannya hanya berusia 11 bulan dan 17 hari. Tidak genap satu tahun!
Berbagai peristiwa bersejarah yang agung, persiapan yang bagus, pendidikan yang tinggi, kemenangan gemilang, hasil yang luar biasa dan dampak yang besar. Ya, semua ini dicapai kurang dari satu tahun di bawah pemerintahan pemuda legendaris ini.
Lalu. Bagaimana dengan kita? Di penghujung Ramadhan ini, apakah yang telah kita persiapkan, korbankan bahkan perjuangkan untuk menegakkan keadilan dan mencegah kemungkaran di sepanjang hidup kita?
Ramadhan adalah bulan perjuangan. Mulai dari perang Badar, perang Tabuk, menggali parit untuk perang Khandaq, penaklukkan Makkah, penaklukkan Andalusia, serta banyak peperangan terjadi di bulan ini termasuk perang Ain Jalut.
Mari kita berjuang, tentu saja bermula dari melawan hawa nafsu kita sendiri untuk menang dan merdeka baik sebagai diri, ummat dan bangsa.
 
Salam spektakuler
Archan, The Revolutionist (Motivator)

Lewat Surat, Cara Rasulullah ajak Pemimpin Dunia Masuk Islam

Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin umat Islam yang membawa kedamaian dengan keluhurun akhlak. Beliau SAW juga mengirim beberapa surat kepada raja dan penguasa di luar Jazirah Arab untuk mengundang mereka agar masuk Islam.
Dalam sebuah surat yang dikirim ke penguasa Mesir Al-Muqawqis pada tahun keenam hijriah, sang Nabi mengundangnya untuk masuk Islam. Nabi juga mengatakan jika Al-Muqawqis menjadi seorang Muslim, maka Allah akan menggandakan pahalanya.
Nabi SAW juga mengutip ayat Al-Qur’an: “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab Suci, datanglah sebuah kata yang adil antara kita dan Anda – bahwa kita tidak akan beribadah kecuali kepada Allah dan tidak ada apapun yang setara dengan-Nya dan tidak saling mengambil alih. Tetapi jika mereka berpaling, katakanlah:’ Saksikanlah bahwa Kami adalah umat Islam yang hanya tunduk kepada-Nya.’”
Tercatat Nabi juga mengirim surat kepada Kaisar Ashama ibn Abjar di Ethiopia, Heraclius, kaisar Kekaisaran Bizantium, Chosroes, raja Persia, Munzir ibn Sawa, penguasa Bahrain, Himyarite Harith, pangeran Yaman, dan Harith Gassani, Gubernur Syam, Alarabiya melaporkan.
Surat-surat nabi yang mengundang raja-raja dan pangeran untuk mengikuti Islam semuanya disimpulkan dengan pernyataan: “Jika berpaling, Anda akan menanggung dosa rakyat Anda.”
Menurut beberapa narasi bersejarah, Chosroes of Persia merobek surat nabi tersebut. Ketika sang nabi mendengarnya, dia berjanji akan menghancurkan Chosroes dan yang terakhir meninggal tak lama kemudian dan kekaisaran melemah.
Beberapa surat ini disimpan di museum Istanbul Turki dan Museum Madinah di Arab Saudi menyimpan salinan asli dari surat-surat ini.

Ketika Gubernur Al-Hisyam Bertemu Seorang Tabiin

Gubernur al-Hisyam adalah salah seorang pejabat yang sangat berkuasa pada zaman Dinasti Umayah. Al-Hisyam sering kali menggunakan kekuasaannya untuk keperluannya sendiri. Seperti suatu kali, ia ingin menunaikan ibadah haji. Atas biaya negara, ia pun berangkat menuju tanah suci Mekkah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ibadah haji yang dilaksanakan al-Hisyam saat itu diikuti rombongan besar yang terdiri dari sanak saudara, pejabat teras, dan para pengawalnya.
Pada masa pemerintahan ini, jumlah sahabat Rasulullah yang masih hidup hanya tertinggal beberapa orang saja. Bisa dihitung dengan jari. Di Mekkah, entah kenapa, tiba-tiba saja al-Hisyam ingin bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah. Tetapi, terlambat. Sahabat terakhir yang ada di kota suci itu pun sudah wafat. Karenanya, para pengawal al-Hisyam tidak bisa mendatangkan sahabat kepada sang gubernur. Akhirnya sebagai gantinya, para pengawalpun mendatangkan salah seorang tabiin, generasi setelah sahabat, yang masih hidup untuk dipertemukan dengan Hisyam.
Tabiin yang terpilih itu adalah Thawus Al-Yamani. Ia yang kemudian mewakili para tabiin yang lainnya. Maka, Thawus pun segera menghadap Gubernur Hisyam. Di wajahnya tidak tersirat beban apapun.
Ketika hampir masuk, Thawus menanggalkan alas kakinya persis halnya ketika akan menginjak permadani merah yang membentang mewah di hadapan Hisyam. Hisyam, ketika itu sedikit mendongak keras. Emosinya mendadak mendidih. Tapi ia masih bisa menahan diri.
“Assalamuallaikum,” ucap Thawus kepada Hisyam–tanpa didahului dengan ucapan ta’zhim terlebih dahulu. Dan yang cukup membuat Hisyam lebih tersentak lagi adalah ketika Thawus masuk dan duduk persis di samping tempat duduk Hisyam. Muka Hisyam merah. Apalagi ketika Thawus bertanya, “bagaimana keadaanmu wahai Hisyam?”
Mendapat perlakuan seperti itu, Hisyam tentu saja tersinggung. Ia marah besar. Hampir-hampir ia segera memberikan hukuman. Atau membunuhnya sekalian. Orang macam apa dia, bertemu dengan seorang gubernur tidak mempunyai kesantunan sama sekali?
Thawus bukannya tidak menyadari hal itu. Namun, ia berusaha untuk tersenyum kepada Hisyam seraya berkata, “Wahai Hisyam, engkau berada di wilayah tanah suci Allah dan tanah suci RasulNya. Karenanya, demi tempat yang mulia ini engkau tidak diperkenankan melakukan niat buruk seperti itu.”
Hisyam terperanjat. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa orang di hadapannya mengetahui apa yang ada dalam hatinya. Tapi tak urung ia berujar juga, masih dalam keadaan marah, “Lalu, engkau sendiri, apa maksudmu berulah seperti ini?”
Thawus malah balik bertanya, “Apa yang telah aku lakukan?”
Hisyam menarik nafas sambil terus memandangi muka Thawus dengan penuh ketersinggungan. “Engkau tanggalkan alas kaki persis di hadapan karpet merahku. Engkau masuk tanpa salam ta’zhim terlebih dahulu kepadaku dan tidak mencium tanganku. Engkau memanggilku hanya dengan nama kecilku tanpa gelar kehormatanku. Dan engkau duduk di sampingku tanpa terlebih dahulu permisi. Bukankah semua itu merupakan penghinaan kepadaku?”
Thawus kembali tersenyum. Ia balik memandang Hisyam dengan tajam. Hisyam merasa risih entah kenapa. Sejurus kemudian, Thawus bersuara kembali, “Wahai Hisyam! Inginkah engkau mengetahui kenapa aku melakukan semua ini?”
Tanpa menunggu jawaban Hisyam, Thawus terus berkata, “Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga menanggalkan alas kakiku lima kali sehari saat aku menghadap Tuhanku, Azza waJalla. Dia tidak marah, apalagi murka lantaran perbuatanku itu.
“Wahai Hisyam! Aku tidak mencium tanganmu lantaran aku mendengar Ali bin Abi Thalib berkata bahwa seseorang tidak boleh mencium tangan orang lain kecuali tangan istrinya karena syahwat, atau tangan anaknya karena kasih sayang. Hai Hisyam! Aku tidak mengucapkan salam ta’zhim dan menyebutmu dengan kata-kata Amirul Mukminin karena tidak semua orang rela atas kepemimpinanmu. Karenanya aku enggan berbohong.”
“Hai Hisyam! Aku tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran lantaran Allah memanggil para kekasihNya di dalam Al-Quran dengan sebutan nama semata-mata, seperti ‘Ya Daud, Ya Yahya, Ya Isa.’ Sedangkan Ia memanggil musuh-musuhNya dengan sebutan ‘kuniyah,’ seperti Abu Lahab.
“Wahai Hisyam! Aku duduk di sampingmu lantaran kudengar Ali berkata, ‘apabila engkau ingin melihat calon penghuni neraka, lihatlah orang yang duduk sementara orang sekitarnya tegak berdiri.’
Mendengar jawaban-jawaban ini, Hisyam yang pada awalnya sangat marah, lunglai dengan tiba-tiba. Kata-kata Thawus begitu tajam menohok dirinya. Tapi di sisi lain, ia meyakini kebenaran apa yang dikatakan oleh Thawus.
Walau dengan malu yang luar biasa, Hisyam kemudian tiba-tiba kini bersimpati kepada Thawus. Kemudian ia malah minta nasihat kepadanya.
Memenuhi permintaan itu, Thawus pun berkata, “Kudengar Ali berkata dalam salah satu nasihatnya, bahwa sungguh dalam api neraka ada ular-ular yang berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya.”
Mendengar itu, Hisyam pun menggigil. Ia takut kalau-kalau selama ini ia tidak berlaku adil kepada rakyatnya. Ia tiba-tiba ingin belajar kepada Thawus untuk belajar bersikap adil. Seperti tadi Thawus datang kepadanya. Seorang tabiin yang mencoba bersikap adil kepada pemimpinnya.

Kisah Sahabat Nabi : Abu Darda Ahli Hikmah yang Budiman

Pada saat balatentara Islam berperang, kalah dan menang di beberapa penjuru bumi, di kota Madinah berdiam seorang ahli hikmah dan filsuf yang mengagumkan. Dari dirinya memancar mutiara yang cemerlang dan bernilai.
Ia senantiasa mengucapkan kata-kata indah kepada masyarakat sekelilingnya, “Maukah kamu sekalian, aku kabarkan amalan-amalan yang terbaik. Amalan yang terbersih di sisi Allah dan paling meninggikan derajat kalian. Lebih baik dari memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang lehermu, dan malah lebih baik dari emas dan perak?”
Para pendengarnya menjulurkan kepala mereka ke depan karena ingin tahu, lalu bertanya, “Apakah itu wahai, Abu Darda’?”
Abu Darda’ menjawab, “Dzikrullah!”
Ahli hikmah yang mengagumkan ini bukannya menganjurkan orang menganut filsafat dan mengasingkan diri. Ia juga tidak bermaksud menyuruh orang meninggalkan dunia, dan tidak juga mengabaikan hasil agama ini yang telah dicapai dengan jihad fi sabilillah.
Abu Darda’ bukanlah tipe orang semacam itu, karena ia telah ikut berjihad mempertahankan agama Allah bersama Rasulullah SAW hingga datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut kota Makkah.
Abu Darda’ adalah ahli hikmah yang besar di zamannya. Ia adalah sosok yang telah dikuasai oleh kerinduan yang amat besar untuk melihat hakikat dan menemukannya. Ia menyerahkan diri secara bulat kepada Allah, berada di jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh.
Pernah ibunya ditanyai orang tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda’. Sang ibu menjawab, “Tafakur dan mengambil i’tibar(pelajaran).”
Masuk Islam dan Harta untuk Allah
Pada saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda’ adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara para saudagar kota Madinah. Dan sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam perniagaan, bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.
“Aku tidak mengharamkan jual-beli. Hanya saja, aku pribadi lebih menyukai diriku termasuk dalam golongan orang yang perniagaan dan jual-beli itu tidak melalaikannya dari dzikir kepada Allah,” ujarnya.
Abu Darda’ sangat terkesan hingga mengakar ke dasar jiwanya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi bantahan terhadap, “Orang yang mengumpul-ngumpulkan harta dan menghitung-hitungnya.” (QS Al-Humazah: 2-3).
Ia juga sangat terkesan sabda Rasulullah SAW, “Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak namun merugikan.”
Oleh sebab itulah, ia kerap menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan. “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang.”
Orang-orang bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang itu?”
“Memiliki harta benda di setiap lembah!” jawabnya. Ia mengimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat padanya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada kesudahannya. Maka yang demikian adalah seburuk-buruk corak penghambaan diri.
Saat itu ia juga berkata, “Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya.”
Bagi Abu Darda’, harta hanyalah alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak lebih. Berpijak dari sini, maka manusia hendaknya mengusahakannya dengan cara yang halal, dan mendapatkannya secara sopan dan sederhana, bukan dengan kerakusan dan mati-matian. “Jangan kau makan, kecuali yang baik. Jangan kau usahakan kecuali yang baik. Dan jangan kau masukkan ke rumahmu, kecuali yang baik!” ujarnya.
Menurut keyakinannya, dunia dan seluruh isinya hanya semata-mata pinjaman dan menjadi jembatan untuk menyeberang menuju kehidupan yang abadi.
KetikKetika
Pada suatu hari, para sahabat menjenguknya ketika ia sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk.
Tawaran ini dijawabnya sambil memberi isyarat dengan telunjuknya, sedangkan kedua bola matanya menatap jauh ke depan.
“Kampung kita nun jauh di sana, untuknya kita mengumpulkan bekal. Dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat kepadanya dan beramal untuk bekal di sana.”

Kenapa Setan Takut dengan Umar bin Khattab?

Umar bin Khattab adalah khalifah kedua, dan mungkin terbesar dari semua khalifah Islam. Dia sejaman, namun lebih berusia muda ketimbang Nabi Muhammad.
Dan seperti juga nabi Muhammad, dia kelahiran Mekkah. Tahun kelahirannya tidak diketahui, tetapi menurut taksiran tahun ke-586 M.
Asal-muasalnya Umar bin Khattab merupakan musuh yang paling ganas dan beringas, menentang Muhammad dan Agama Islam habis-habisan.
Tetapi, mendadak dia memeluk agama baru itu dan berbalik menjadi pendukung gigih. Umar bin Khattab selanjutnya menjadi penasihat terdekat Nabi Muhammad dan begitulah dilakukannya sepanjang umur Muhammad.
Suatu ketika, pada saat itu terdapat sebuah kisah di mana syetan takut akan Umar bin Khattab.
Maka Syaikh DR. Muhammad al-‘Arifi (Sunni) berkata:
“Semoga Allah merahmatimu wahai Umar, Syaithon telah lari darimu baik ketika engkau hidup atau setelah engkau meninggal.”
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a bahwa Rasulullah pernah bersabda, ”Sesungguhnya setan lari ketakutan jika bertemu Umar”
Rasulullah Saw pun bersabda, “Wahai Ibn al-Khattab, demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah setan mendapatimu melalui satu jalan kecuali dia akan mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang kaulalui.” (HR. al-Bukhari 3120 dan Muslim 2397)
Alasan Syetan Takut dengan Umar bin Khattab :
1. Karakter Umar yang Keras dan Berani Melawan Musuh 
Umar bin Khattab adalah salah satu dari empat khalifah yang dikenal karakternya yang tegas, bijaksana, kasar dan banyak ditakuti oleh kaum Quraisy pada saat itu.
Kebaranian Umar ketika ia hendak berhijrah meninggalkan kota Mekkah ke kota Madinah. Semua sahabat Nabi saw berhijrah dengan sembunyi-sembunyi, tidak terkecuali Nabi sendiri.
Sementara Umar dengan begitu beraninya mengumumkan niatannya untuk berhirjah seraya menantang para pendekar Quraisy,
“Siapa yang ingin istrinya menjadi janda, dan anak-anaknya menjadi yatim, hendaknya ia menghadapiku saat berhijrah.”
Dan benar, tidak seorang pun berani menghalangi Umar hijrah. Sebab tidak seorang pun dari pendekar Quraisy yang ingin mati di tangan Umar.
Akhirnya, Umar pun hijrah tanpa ada seorang pun yang berani menghalanginya. Sebuah keberanian yang luar biasa!
2. Umar pernah Membanting Setan
Ada seorang mukmin bertemu dengan setan, lalu ia bergulat melawannya dan berhasil membanting setan tersebut.
Setan tersebut ditanya oleh teman-temannya, “Mengapa kamu bisa dibantingnya?”
“Di antara kawan-kawannya, orang itu benar-benar sangat kuat, dia adalah Umar bin Khattab.” jawabnya.
3. Umar adalah seorang Shalih yang Mengekang Nafsu dan Syahwatnya
Setan sangat takut terhadap Umar, seperti sabda Nabi
“Apabila Umar berjalan di suatu lorong atau lembah, setan akan mengambil jalan di lorong atau lembah yang lain.”
Bagaimana Umar bisa naik ke peringkat yang seperti itu? Jawabnya karena kesabaran. Ia mengikat syahwatnya dengan mengekang hasrat dan keinginannya.
Umar pernah bersikap keras semasa menjadi Khalifah, ketika kaum Muslimin pernah mengalami masa paceklik. Ia tidak makan daging atau mentega sebelum keadaan membaik. Sehingga dirinya menderita sakit bawasir dan kulitnya menghitam.
 
Sumber: Asbabul Wurud/Sirah Sahabat Umar bin Khattab

Kisah Hakim Agung yang Mengundurkan Diri

Suatu ketika seorang ulama yang Masyhur, yaitu al-Imam al-Qadhy Syekh Yusuf Bin Ismail An-Nabhani yang menjabat sebagai Qadhy (Hakim) di Lebanon masa Itu dihadapkan pada suatu kasus pembunuhan.
Saat persidangan berlangsung, didatangkan pemuda yang menjadi tersangka pembunuhan.
Terjadi dialog antara Syekh Yusuf An-Nabhani selaku Qadhy dengan Pemuda tersebut.
Syekh Yusuf Pun Bertanya : “Apa betul kamu telah melakukan suatu pembunuhan?”
Sang pemuda menjawab : “Iya, betul. Saya telah membunuh seseorang wahai Syekh.”
Lalu Syekh Yusuf bertanya lagi : “Kalau boleh, Kau jelaskan apa motif dari pembunuhanmu, wahai Anak Muda?”
Dijawab oleh Sang pemuda : “Orang itu telah menghina Rasulullah SAW terang-terangan. Saya tidak sanggup lagi menahan amarahku terhadap orang-orang yang mencaci Rasulullah SAW dihadapanku. Lantas aku membunuhnya.
Syekh Yusuf diam sejenak. Lalu bertanya lagi : “Tangan yang mana Kau gunakan untuk membunuh orang itu. Kanan atau Kiri?”
Dijawab olehnya: “Tangan kananku ini wahai Syekh.”
Lalu Tiba-tiba Syekh Yusuf An-Nabhani turun dari singgasana Hakim menuju ke arah pemuda tadi. Meraih tangan kanannya, lalu menciumnya berkali-kali seraya berkata : “Tangan Ini kelak yang akan membawamu ke surga.”
Wahai hadirin sekalian. Saksikanlah, mulai hari ini saya mengundurkan diri dari jabatanku selaku Qadhi di sini, Karena saya tidak akan pernah sanggup menghukum seseorang yang telah membunuh yang disebabkan membela kehormatan Rasulullah SAW…!!
Demikian cinta dan hormatnya Syekh Yusuf An-Nabhani Kepada Rasulullah SAW dan agamanya.
Berbeda dengan oknum profesor/ahli hukum dari Islam sekarang, meski belajarnya sampai ke Australia atau Eropa, tapi sibuk membela orang kafir meski telah jelas-jelas melecehkan ayat suci al-Qur’an.
barakallahufikum