0878 8077 4762 [email protected]

Sepertinya Saya Kurang Piknik?

 
Iman itu terkadang naik terkadang turun, kenapa koq kayaknya ga naik-naik ya, sepertinya saya kurang piknik?
Ghiroh di dada ini terasa hampa, sepertinya saya kurang piknik.
Ibadah koq kayaknya cenderung melemah (semangat gitu-gitu aja dan cenderung berkurang), lagi-lagi sepertinya saya kurang piknik?
Akhir zaman semakin dekat, tanda-tanda semakin jelas, hati terasa resah gelisah, apakah akan mengalami masa-masa puncak akhir zaman ,sedangkan sekarang saja zamannya penuh dengan fitnah.
Dimanakah posisi saya saat terjadinya masa-masa puncak akhir zaman? Ataukah nanti anak keturunan saya yang mengalaminya?
 
Hati semakin resah betapa beratnya di akhir zaman ini, bagaimana saya bisa mendidik anak keturunan saya kalau iman dan aqidah saya pun lemah? Ibadah pun hanya sekedarnya?
Apa jadinya jika saya hanya menuntut menyuruh keluarga saya sholat, beribadah semaksimal mungkin sedang saya pun lalai? Astagfirullohal’adzim.
Ya sudah, sekarang waktunya saya piknik.
Piknik ke majelis-majelis ilmu, belajar kembali tata cara ibadah yang benar sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Hadits bukan berdasarkan kata-katanya.
Semoga piknik ini saya bertemu dengan orang-orang sholih, ustadz, ulama ahlussunnah waljama’ah yang mengamalkan Al-Quran dan Sunnah-sunnah Rasulullah, agar saya bisa belajar memperbaiki diri. Perlahan mengamalkan apa yang telah dicontohkan Rasulullah.
Semoga dijauhkan dari pemikiran dan pemahaman yang sesat dan menyesatkan, dilindungi dari fitnah-fitnah Dajjal yang kian kuat.
Jangan ragu ajak saya piknik ya, semoga ada kesempatan umur dan waktu serta kesehatan. Saya malu, karena dosa dan aib saya sangat banyak.
 
Oleh: Hadi Taufik
Sumber : Islampos

MUI Diminta Segera Terbitkan Fatwa Uang Elektronik

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) diharapkan dapat segera menerbitkan fatwa mengenai uang elektronik berbasis syariah. Saat ini diketahui sudah terdapat bank syariah yang memiliki uang elektronik.
Pengamat Ekonomi Syariah SEBI (School of Islamic Economics), Aziz Setiawan menilai, sudah saatnya DSN MUI untuk menerbitkan fatwa tentang uang elektronik secara khusus. Terlebih dalam praktiknya sudah ada bank syariah yang menerbitkan dan menyusul bank-bank syariah lainnya.
“Kita berharap fatwa yang akan diterbitkan bisa secara detail menjawab hal teknis yang berkembang dan juga bisa mengikat bagi penerbit uang elektronik syariah. Saat ini bank syariah sebagai penerbit terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan rambu-rambu syariah yang kurang tegas dan jelas dari DSN MUI,” ujar Aziz kepada Republika.co.id, Jumat (22/9).
Aziz menilai, masing-masing bank memang meminta persetujuan produk dari Dewan Pengawas Syariah masing-masing, namun publik belum mengetahui konstruksi akad fikihnya secara detail. Akad fikih yang perlu dijelaskan detail misalnya dasar akad yang membolehkan pengambilan biaya (fee).
“Jadi perlu fatwa DSN untuk penyeragaman dan menjadi clear konstruksinya,” imbuhnya.
Secara umum, uang elektronik adalah alat pembayaran yang sah berdasarkan ketentuan Bank Indonesia (BI) dan tidak terdapat perbedaan signifikan dalam fungsinya dengan uang kertas dan uang logam. Lalu apakah isi ulang uang elektronik ini termasuk jual beli mata uang?
Fatwa MUI Sementara Terkait Sharf
Menurut Aziz, secara umum proses isi ulang uang elektronik adalah pertukaran atau jual beli mata uang. Pertukaran atau jual beli mata uang baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis dikenal dengan istilah sharf.
DSN-MUI telah mengeluarkan pendapat syariah terkait sharf melalui Fatwa DSN nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh).
“Dalam perkembangannya, produk uang elektronik yang bersertifikat syariah dari DSN MUI secara umum menggunakan kaidah fatwa di atas,” tutur Aziz.
Skema syariah yang dilakukan adalah fee yang didapatkan penerbit bukan dari transaksi yang dilakukan, melainkan mendapatkan fee dari biller atau agen karena membantu membayarkan.
Terkait biaya isi ulang yang saat ini sedang diatur oleh Bank Indonesia (BI), khusus untuk uang elektronik bank syariah harus menggunakan kaidah seperti di atas, karena belum ada fatwa baru yang terbit terkait biaya isi ulang ini.
Potensi Riba dari Kelebihan Dana
 
“Isi ulang yang dikenakan biaya bisa masuk dalam kategori riba yang dilarang secara Syariah,” kata Aziz.
Lebih lanjut ia menuturkan, pertukaran Rupiah (uang kertas) dengan Rupiah (uang elektronik) maka berlaku hukum sharf, yaitu harus senilai (sama nilainya) dan tunai. Jika ada kelebihan dari diantara salah satu rupiah maka kelebihan itu cenderung menjadi riba.
Jika seseorang melakukan isi ulang uang elektronik, misalkan dengan menggunakan uang kertas Rp 50 ribu,-, akan tetapi saldo yang tersimpan dalam chip uang elektronik hanya sebesar Rp 49.000, maka kelebihan Rp 1.000,- yang diterima penerbit kartu adalah dikategorikan riba. Sama halnya dengan isi ulang Rp 50 ribu,- diharuskan membayar Rp 51.000,-.
“Pendapatan penerbit seharusnya bisa dikembangkan dari sumber yang lain seperti fee dari agen atau fee membership seperti dalam ketentuan kartu kredit syariah,” ujar Aziz.
Sebelumnya Bank Indonesia (BI) menyebutkan rencana menerbitkan ketentuan biaya isi ulang uang elektronik. Sementara itu saat ini DSN MUI sedang menyusun fatwa mengenai uang elektronik syariah.
 
Sumber : Republika

Keistimewaan Bulan Muharram

Keistimewaan bulan muharram bisa kita pelajari dan amalkan dalam kehidupan sehari – hari.
Arti dari kata ‘muharram’ sendiri ialah ‘diharamkan’.
Zaman dahulu sebelum muncul nama bulan muharram dinamakan sebagai bulan Shafar Al-Awwal.
Berikut 5 keistimewaan bulan muharram :
1. Penamaan Bulan Muharram
Dinamakan sebagai bulan muharram, karena dahulu kala dibulan ini diharamkan untuk melakukan suatu aktivitas berperang dalam arti melakukan jihad.
Bulan muharram dalam Islam merupakan bulan yang menjadi pembuka dalam penentuan penanggalan hijriah. Rasulullah Saw memberikan nama sebagai bulan Muharram.
Awal mulanya Allah melarang berperang pada bulan muharram termaktub pada firman Allah ta’ala berbunyi,
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”
“Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu,”
“dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. at Taubah : 36)
 
2. Bulan Muharram merupakan Salah Satu dari Bulan Haram
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi.”
Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan Muslim (1679) ]
3. Bulan Muharram disebut Bulan Allah
Bulan Muharram meraih keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah). Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. [H.R. Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan adanya keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul Jalalah (lafazh Allah).
Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk disandarkan pada lafzhul Jalalah maka itu mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan).
Imam As Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah sementara bulan yang lain tak mendapat gelar ini, karena nama bulan ini “Al Muharram” dengan nama-nama islami.
4. Dianjurkan Puasa di Bulan Muharram
Abu Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram. Dengan demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram.
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ  بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail.”    [HR. Muslim (11630)]
5. Ada Ibadah Puasa Sunah Asyuro
Hadist yang menjelaskan keutamaan puasa Asyuro dibulan Ramadhan sangat banyak, diantaranya

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda,
“Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu”
[ HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad (22024). Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau (1162).
Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat yang begitu besar terhadap puasa ‘Asyuro terlihat pada hadist ini

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” [ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim (1914) ]

Kisah Bait Aqobah sebagai Penyemangat Hijrah Rasulullah

Latar belakang historis sebuah peristiwa hijrah adalah gerakan perpindahan dari kota Makkah ke kota Madinah dalam rangka mempertahankan aqidah.
“Ketika umat belum memiliki kekuatan untuk dapat mempertahankan pendirian atau keimanan, maka hijrah adalah merupakan strategi Rasulullah dalam melaksanakan risalah dakwah,” ujar Ketua Bidang Sarana, Hukum, dan Wakaf Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI) Natsir Zubaidi.
Secara historis, kata dia, ada dua hal yang menjadi momentum tepat Rasulullah melakukan Hijrah.
Pertama, adanya baiat aqobah kubro yaitu pertemuan antara Mukimin di Yathrib (kini bernama Madinah) dengan orang-orang Makkah yang menjadi pengiktut setia Rasulullah SAW.
Pertemuan itu berlangsung dalam suasana rasa ukhuwah, solidaritas sehidup semati dalam memperjuangkan Islam dan umat.
Bahkan Rasulullah SAW bersabda secara lugas kepada umat hadir pada saat itu,
“Darah kalian adalah darahku, kehancuran kalian adalah kehancuranku juga. Aku adalah bagian dari kalian, dan kalian adalah bagian dariku. Aku akan memerangi orang yang kalian perangi dan melakukan perdamaian dengan orang yang kalian adakan perdamaian dengannya.”
Di lain pihak, para elit Quraisy khawatir terhadap pengaruh Rasulullah yang mampu menyampaikan kebenaran ajaran agama Islam. Mereka mulai merasa gerah dan mengadakan pertemuan pleno di Darun Nadwah.
Mereka pun memutuskan untuk memblokade gerak Nabi dan para pengikut setianya, bahkan ingin membunuhnya.
Rasulullah SAW akhirnya meninggalkan rumah beliau pada malam 27 Shafar (12 atau 13 September 622 Masehi).
Natsir mengatakan, cara memaknai hijrah yang dilakukan Rasul dan pengikutnya bukan tanpa perhitungan yang matang.
“Tetapi dipersiapkan para sahabat Anshar yag siap mengakomodasi di tanah tujuan (Madinah), dan orang Makkah (sahabat Muhajirin) juga sudah mempersiapkan mental untuk hidup di wilayah baru,” kata dia.
Peristiwa baiat aqobah kubro adalah sebuah proses seleksi pengikut Rasulullah untuk dipersiapkan dalam memperjuangkan risalah dakwah.
Para pengikut Rasulullah (baik pemukim maupun pendatang) sudah mempersiapkan diri dengan mentalitas ukhuwah, solidaritas, sehidup semati, menginfaqkan hartanya secara ikhlas demi kejayaan Islam.
Menurut Natsir, dalam konteks kekinian, pergantian tahun baru hijriyah (1437/1438) harus juga dimaknai perlunya umat Islam memiliki jiwa dan semangat mengutamakan ukhuwah Islamiyah.
Tak hanya itu, umat Islam harus juga mempunyai solidaritas sosial, loyalitas yang istiqamah kepada Allah, Rasulullah dan pemimpin umat serta kesediaan diri untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam kerangka NKRI.
 
Sumber : Republika
Oleh :  Ustad Nasir Zubaidi, Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI)

Penetapan Tahun Hijriyah Baru Di Masa Umar bin Khattab

 
Masyarakat Arab sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan kalender qamariyah (kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal.
Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.
Hanya saja masyarakat jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal dan bulan, tapi tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu.
Kita kenal ada istilah tahun gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah.

  • Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar.
  • Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang.
  • Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan, semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.

Keadaan semacam ini berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
Ketika itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

  1. Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah.
  2. Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik.
  3. Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud.
  4. Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang khandaq. Dst.

(Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret 2005)
Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah.
Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah.
Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:

إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:
ضعوا للناس شيئاً يعرفونه
“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”
Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:
Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.”
Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.”
Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.
Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).
Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw yang menjadi acuan?
Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:

أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة

Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat:

  • Tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
  • Tahun ketika diutus sebagai rasul,
  • Tahun ketika hijrah
  • Dan tahun ketika beliau wafat.

Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu.
Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari, 7:268).
Abu Zinad mengatakan:
استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة
“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya kalender ini dinamakan kalender hijriah.
Penentuan Awal Bulan : Muharram, serta Alasannya
Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama.
Pada musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:

  1. Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam.
  2. Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah.
  3. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua.

(simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268)
Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut.
Wallahu a’lam
 
Sumber : Konsultasi Syariah

Kisah Pernikahan Barakah

Sebagian pernikahan menjadi penuh barakah, karena niat awal ketika memutuskan untuk menikah. Al-Idris Asy-Syafi’i menikah semata, karena ingin mendapatkan ridha dari pemilik pohon delima atas apa yang ia makan. Ia bersedia menikah asal delima yang sudah dimakannya diikhlaskan dan pemiliknya ridha.
Maka ia menikah dengan Fathimah, putri pemilik pohon delima itu. Dari rahim istrinya, lahir Muhammad bin Idris yang kelak dikenal sebagai Imam Syafi’i karena keutamaan ilmu dan akhlaknya.
Pernikahan Al-Idris melahirkan anak yang sangat penuh barakah. Sampai sekarang kita masih mengambil ilmu dari apa yang diwariskan oleh Imam Syafi’i, buah pernikahan Al-Idris dan Fathimah yang diridhai.
Ada contoh lain pernikahan karena menjaga diri dari hal yang meragukan, semata-mata demi mencapai keselamatan akhirat. Imam Bukhari dalam hadis shahihnya pernah meriwayatkan sebuah cerita dari Rasulullah.
Kata Rasulullah Saw., “Ada Seorang laki-laki membeli sebidang tanah dan menemukan sebuah tempayan berisi emas dalam tanah itu.
Katanya kepada si penjual, ‘Ambillah emasmu, karena hanya tanah yang saya beli dari engkau dan saya tidak membeli emas’.
Kata yang punya tanah, ‘Tanah itu beserta isinya telah saya jual kepada engkau’.
Keduanya lalu minta putusan kepada seseorang.
Kata hakim itu, ‘Adakah kamu berdua mempunyai anak?’
Seorang di antara mereka berkata, ‘Ya, saya mempunyai seorang anak laki-laki’.
Kata yang seorang lagi, ‘Ya, saya mempunyai seorang anak perempuan’.
Kata hakim tadi, ‘Kawinkanlah anak perempuan itu dengan anak laki-laki ini dan belanjailah dengan keduanya dari harta itu dan bershadaqahlah’.” (HR Bukhari dalam shahihnya, hadis No. 1513).
Suatu ketika seorang pemuda ahli ‘ibadah mendatangi pelacur, karena desakan keinginan yang kuat. Setelah berada dalam kamar berdua dengan pelacur itu, ia merasakan ketakutan yang amat sangat mengingat pengawasan Allah yang tak pernah lepas serta kedudukannya di hadapan Allah.
Maka ia berkeringat dan pucat karena takutnya. Ia meninggalkan tempat pelacuran itu dan tidak mengambil uangnya kembali, meskipun pelacur itu berusaha menahannya.
Setelah pemuda itu pergi, pelacur itu merenung. Seharusnya dialah yang lebih takut kepada Allah mengingat perbuatan-perbuatannya. Maka ia berniat bertaubat dan mencari pemuda itu agar dinikahi. Tetapi ketika sampai, ia dapati pemuda itu meninggal seketika karena rasa takutnya saat melihat kedatangan pelacur itu.
Maka ia bertanya, “Adakah ‘Abid (ahli ‘ibadah) ini mempunyai saudara laki-laki yang belum menikah?”
Orang-orang menunjukkan saudaranya yang juga seorang ahli ‘ibadah, tetapi sangat miskin. Ia kemudian datang meminta untuk dinikahi demi membersihkan diri. Dari pernikahan itu lahir tujuh orang anak yang shaleh. Begitu cerita Zadan dari Ibnu Mas’ud dari Salman Al-Farisi.
Niat banyak mempengaruhi barakah tidaknya pernikahan. Sebagian dari niat menikah, dijamin akan penuh dengan barakah selama-lamanya. Istri barakah bagi suami, suami barakah bagi istri.
Allah ‘Azza wa Jalla insya-Allah juga memberi barakah yang sangat besar kepada seorang wanita yang menyerahkan diri kepada laki-laki yang ia mantap dengan akhlak dan agamanya semata, karena mengharapkan ridha-Nya atau karena ingin menjaga diri dari dosa. Apalagi jika laki-laki itu seorang yang masih sendirian.
Rasulullah Saw. menjanjikan, “Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian di antara kamu, sesungguhnya Allah akan memperbaiki akhlak mereka, meluaskan rezeki mereka, dan menambah keluhuran mereka.”
Sebagian orang menikah, karena takut mati dalam keadaan membujang. Ini yang pernah terjadi pada Mu’adz bin Jabal r.a., salah seorang sahabat utama Rasulullah Saw. Ketika dua orang istrinya meninggal dunia pada waktu menjalar wabah pes, sedangkan ia sendiri mulai kejangkitan, maka ia berkata, “Kawinkanlah aku. Aku khawatir akan meninggal dunia dan menghadap Allah dalam keadaan tak beristri.”
Ibnu Mas’ud pernah mengatakan, “Seandainya tinggal sepuluh hari saja dari usiaku, niscaya aku tetap ingin kawin. Agar aku tak menghadap Allah dalam keadaan masih bujang.”
Ada lagi niat-niat menikah yang insya-Allah dimuliakan dan baginya barakah yang melimpah sampai yaumil-qiyamah. Anda bisa membaca berbagai sumber atau bertanya kepada orang yang mempunyai hikmah. Atau, Anda bisa bertanya kepada hati nurani Anda sendiri.
 
Sumber : Buku best seller “Kupinang Engkau dengan Hamdallah”
Karya : Muhammad Fauzhil Adhim