Oleh: Salman Al Audah
Sudah menjadi hal yang lumrah tatkala ada seseorang yang memiliki hasrat untuk mati dalam kondisi penuh kesabaran, ridha pada Allah, dan berada dalam medan peperangan setelah ia mendengar kalimat “Mati di Jalan Allah”.
Inilah yang dinamakan dengan keinginan untuk mati syahid yang mana ia hanya akan diberikan oleh Allah SWT kepada orang-orang pilihan saja, sebagaimana firman Allah SWT,
“Dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada” (QS. Ali ‘Imran: 140).
Akan tetapi, kita tidak akan menemukan hal yang sama saat ia mendengar kalimat, “Hidup di jalan Allah”. Diantara sikap yang keliru adalah manakala dua hal ini dipahami dengan pemahaman yang saling bertentangan, seakan-akan dua kalimat diatas adalah dua kutub yang berbeda.
Berusaha untuk mendapatkan hidup yang baik adalah sikap yang mulia, dan ia adalah dasar utama dalam sebuah kehidupan. Sedangkan berusaha untuk mendapatkan kematian yang baik ialah dengan menjadikannya sebagai sarana untuk membela kebenaran, keimanan, dan tanah air. Ini adalah salah satu bentuk pengorbanan yang akan menjadikan seluruh rakyat merasa bangga dengan hal itu dan pelakunya akan diposisikan di tempat yang mulia, sebab dengan begitu berarti ia telah membuang sikap egois dan berorientasi hanya untuk kemaslahatan umat dan tanah airnya.
Mati syahid ialah sebuah tindakan yang dilakukan saat berada dalam kondisi darurat saja dengan tujuan untuk melindungi hak, harga diri, dan kehidupan kita. Mati syahid bukanlah tujuan utama, akan tetapi tujuan utamanya ialah untk menjaga kehidupan sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT,
“Dan di dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagi dirimu.” (QS. Al Baqarah: 179).
Bahkan, boleh jadi kematian satu orang saja dapat menyelamatkan nyawa seluruh umat. Sedangkan tujuan dari peperangan atau perjuangan dalam kehidupan ini ialah untuk membangun masyarakat, memperbaiki umat dan mengokohkannya yang mana ia lakukan dengan penuh kesabaran dan ketabahan.
Ketika kita melihat ada penyair Palestina seperti, Abdurrahman Barud, Harun Hasyim Rasyid, Mahmud Darwisy, Samih al-Qasim, dan lain-lain. Atau juga penyair Arab yang menggambarkan tentang keberanian dan kepahlawanan sebagaimana penyair Mesir, diantaranya ialah Ali Mahmud Thoha. Ibrahim Naji, atau penyair dari negara teluk seperti, Ghazi al-Qashbiy dan Abdurrahman al-Asymawi, kita akan melihat mereka semua menunjukkan kekagumannya atas sikap kepahlawanan orang yang telah membela kebenaran. Mereka akan melantunkan syair-syair yang memuji orang-orang yang berkorban di jalan Allah.
Akan tetapi, yang harus kita sadari adalah bahwa proyek Islam tidak hanya terbatas pada mereka yang syahid atau mereka yang memuji para syuhada saja. Kita tidak boleh melupakan pengorbanan para ulama, para pejuang di medan kehidupan demi perbaikan dan kemaslahatan ummat. Mereka yang berjuang di bidang ilmu dan dakwah demi tegaknya kebenaran dengan penuh kesabaran.
Kehidupan ini memiliki nilai yang mulia dan tinggi. Rasulullah saw. wafat di atas tempat tidurnya setelah ia menghabiskan kehidupannya di jalan Allah. Begitu pula dengan Abu Bakar as-Shiddiq ra menyerah dalam kehidupan ini adalah sikap yang terlarang dan itu salah satu bentuk kekalahan yang tidak diridhai oleh Allah SWT.
Oleh sebab itu, Allah SWT menutup pintu surga bagi mereka yang melakukan bunuh diri. Pasalnya, ia telah melangkahi hak Allah SWT atas dirinya sendiri hanya karena mendapatkan kesempitan dan kepedihan dalam hidup.
Dalam sebuah wasiatnya kepada para mujahid dan pemimpin pasukan, Rasulullah saw bersabda,
“Sungguh, Allah memberikan hidayah bagi seseorang berkat perjuanganmu, hal itu lebih baik daripada unta merah.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Beliau juga bersabda, “Jangan kalian bercita-cita untuk berhadapan dengan musuh. Berdoalah kepada Allah agar diberikan kedamaian. Namun, jika kalian bertemu dengannya, maka bersabarlah.”
Kematian adalah sesuatu yang bersifat pasti. Nabi Yusuf ‘alahissalam berkata dalam akhir kisahnya, “Wafatkanlah aku dalam kondisi muslim dan kumpulkanlah aku bersama dengan orang-orang yang shalih.” (QS. Yusuf: 101).
Akan tetapi, doa ini ia panjatkan setelah ia menghabiskan kehidupannya dengan baik, bersabar di dalamnya, berperan aktif di masyarakat, memberikan pengajaran kepada orang lain, ia berkorban hingga akhirnya memberikan pengaruh yang positif terhadap pembangunan masyarakat dan kehidupan politik dan sosial. Ia melakukan itu semua didorong dengan spirit iman yang tinggi.
Maka dari itu, kematian bukanlah hal yang bertolak belakang dengan kehidupan, akan tetapi ia adalah kelanjutan darinya. Barang siapa yang hidup di jalan Allah, maka ia pantas untuk disebut mati di jalan Allah juga, walaupun ia mati di atas tempat tidurnya sebagaimana Khalid bin Walid. Kematian bukanlah wasilah untuk melepaskan diri dari beban kehidupan, sebab jihad yang agung itu terletak di saat kita berjuang di medan dakwah dengan kesabaran dan berjuang untuk melawan tantangan kehidupan bahkan berjuang melawan tantangan yang ada di dalam diri kita sendiri, demi tercapainya keberlangsungan hidup di jalan Allah SWT.
*Penerjemah : Fahmi Bahreisy, Lc