GEREJA berbentuk masjid dengan kubah dan menara berasitektur Turki itu terletak tak jauh dari Austria Trend, hotel bintang lima tempat kami menginap di Kota Budapest, ibu kota Hongaria.
Setiap interval waktu satu jam lonceng yang berada di menara gereja itu selalu berbunyi. Seakan-akan lonceng gereja yang terus-menerus berbunyi itu merupakan penegasan eksistensi dan otoritas tunggal rumah ibadah beraliran kependetaan di negeri yang di era perang dingin pernah bergabung dalam Blok Timur itu.
Gereja berbentuk masjid di Kota Budapest itu dan banyak tempat lainnya di berbagai pelosok negeri Hongaria bukanlah sebuah kebetulan. Bukan sekadar kesamaan arsitektur saja. Karena awalnya bangunan rumah ibadah itu memang mesjid tempat umat Islam bersembah sujud kepada Tuhannya dan kemudian seiring dengan perubahan waktu dan dominasi kekuasaan di Hongaria masjid-masjid yang ada di sini diubah menjadi gereja.
Sejarahnya panjang. Pada tahun 1526 Masehi, Kekhalifahan Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Yang Agung atas permintaan sebagian besar rakyat Hongaria yang terancam oleh Kerajaan Austria menyerang dan menganeksasi Hongaria. Kerajaan Hongaria berhasil ditaklukkan. Sejak saat itu, banyak penduduk Hongaria memeluk Islam dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan sedikit pun.
Mereka memilih Islam karena logika-logika keimanan Islam yang disaampaikan para dai ketika itu lebih logis dari dialektika keimanan yang secara turun-temurun mereka yakini.
Bersamaan dengan pertumbuhan pesat jumlah umat Islam di Hongaria saat itu, di samping memberikan kebebasan beragama kepada penganut kepercayaan lainnya, Kekhalifahan Turki Usmani juga mendirikan banyak masjid untuk keperluan tempat ibadah umat Islam.
Masjid-masjid yang dibangun Kekhalifahan Turki Usmani di Hongaria, sejauh yang saya saksikan, arsitektur bangunannya persis dan mirip benar dengan arsitektur dan konstruksi mesjid yang ada di Turki, terutama di Kota Istanbul. Ini, antara lain, dikarenakan insinyur dan tukang yang terlibat dalam pembangunan mayoritas dari Turki.
Di Hongaria tidak hanya masjid yang dibangun orang Turki, tapi banyak juga bangunan lainnya yang sampai hari ini masih bisa kita saksikan. Misalnya, Turkish Bath (pemandian air panas Turki) di beberapa tempat. Selain Turkish Bath dengan air panas alam, di pasar tradisional Budapest juga masih banyak makanan yang dijual dengan bumbu khas Turki. Jejak Turki dengan Islamnya masih sangat tersa di negeri ini.
Setelah Kekhalifahan Turki Usmani tumbang pada tahun 1922 M, Hungaria dengan ibu kotanya Budapest berkembang jadi kerajaan yang sangat disegani di Eropa Tengah bersama Austria, Swiss, dan Ceko.
Bersamaan dengan berkurang dan menipis hingga hilangnya pengaruh Turki Usmani di Hongaria, eksistensi Islam dan umatnya pun semakin terancam. Dalam catatan sejarah banyak umat Islam dipaksa masuk Kristen dan banyak pula yang dibunuh karena menolak pindah agama. Sesuatu yang kontras dengan era Turki Usmani yang justru memberi kebebasan dan perlindungan kepada penganut agama lainnya.
Masjid-masjid yang dulu dibangun umat Islam satu persatu direbut dan dikuasai kaum Kristen Ortodok di negeri itu dan diubah fungsinya menjadi gereja. Karena itu, wajar saja bila banyak wisatawan muslim yang berkunjung ke Hongaraia, utamanya ke Budapest, bertanya-tanya, “Kok, banyak gereja di sini mirip sekali dengan masjid?”
Sebagai seorang muslim, saat hari pertama menginjakkan kaki di Kota Budapest dan melihat di sejumlah menara “masjid” terpasang salip, sungguh hati saya terasa galau. Ini tentu sebuah kegalauan yang alamiah terkait dengan nestapa jejak peradaban Islam di sebuah tempat.
Rasa “emosional” tersebut juga terpicu oleh aktivitas saya selama ini yang relatif intens membaca dan mempelajari sejumlah referensi terkait sejarah dinamika Khalifah Turki Usmani termasuk ekspansi dan jasa besar imperium ini memperkenalkan Islam ke dataran Eropa. Termasuk ke Hongaria.
Makanya, ketika tiba di Budapest saya melihat sejumlah masjid yang di puncak menaranya tak lagi bertengger bulan sabit, saya merasa bagaikan terjerembab dalam romantisme psikologis.
Andai gereja-gereja di sini masih berfungsi sebagai masjid seperti sebelumnya, maka selama dua malam saya menginap di Kota Budapest pasti lima kali sehari semalam saya akan mendengarkan lantunan azan yang syahdu dengan logat Eropa dari menara-menara indah gereja itu.

Namun apalah daya, selama di Kota Budapest yang saya dengar justru bunyi lonceng gereja yang bertalu-talu setiap satu jam sekali. Dan yang sangat “mengganggu serta menyiksa” nurani saya adalah ketika lonceng gereja itu berdering di kala alam sunyi sepi saat seharusnya lantunan azan subuh bergema.
Seperti halnya di tanah air, saat menjelang subuh bersama istri saya sudah terbangun. Pada subuh pertama kami di Budapest, di kamar hotel istri saya berkata, “Ayah, kok nggak ada suara azan di sini ya?”
Saya termenung, kemudian saya ajak istri shalat Subuh berjamaah di kamar hotel. Saya pun berbisik, “Sungguh, ayah pun merindukan bunyi azan dari langit Budapest ini!”
Sumber : Usamahelmadny.com