Jumlah Rakaat Tarawih
Dalam riwayat Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan tarawih.
Demikian juga riwayat ‘Aisyah -yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi Saw mendirikan tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya, sekalipun dalam riwayat ‘Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh Nabi Saw tentang jumlah rakaat shalat malam, baik di dalam maupun di luar Ramadhan.
Namun riwayat ini tampak pada konteks yang lebih umum yaitu shalat malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada bab shalat malam secara umum.
Misalnya Imam Bukhari meletakkannya pada bab shalat tahajud, Imam Malik dalam Muwatha’ pada bab shalat witir Nabi Saw (lihat Fathul Bari 4/250; Muwatha’ dalam Tanwir Hawalaik: 141).
Hal tersebut memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.
Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut:
a. Hadits Aisyah:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
Artinya: “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan” (lihat al-Fath : ibid).
b. Imam Malik dalam Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang.
Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman dinyatakan bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat (lihat al-Muwatha’ dalam Tanwirul Hawalaik: 138).
c. Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir).
Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan asy-Syafi’i (lihat Fiqhu Sunnah: 1/195).
d. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya (al-Fath: ibid ).
e. Imam asy-Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat. Sedangkan di Makkah 33 rakaat. Dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran (al-Fath : ibid).
Dari riwayat diatas jelas bahwa akar persoalan dalam jumlah rakaat tarawih bukanlah persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan.
Ibnu Hajar berpendapat: “Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i: “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Jika shalatnya pendek dan jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama”.
Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa :
- Orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw.
- Dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar Ra
- Sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh Salafus shalih dari generasi sahabat dan tabi’in.
Bahkan menurut Imam Malik ra hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad ra bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dan seterusnya).
Imam az-Zarqani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang.
Namun menjadi bergeser pada 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan dalam mendirikannya oleh umat Islam.
Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama (Lihat hasyiah Fiqhu Sunnah : 1/195).
Dengan demikian tidak ada alasan yang mendasar untuk saling memperdebatkan satu dengan yang lain dalam jumlah shalat tarawih, apalagi menjadi sebab perpecahan umat. Padahal persatuan umat adalah sesuatu yang wajib.
Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi perhatian dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media yang komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin, sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya di manapun berada.
*bersambung
Sumber :
Buku Panduan Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center