Puasa Enam Hari di Bulan Syawal dan Keutamaannya

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Abu Ayyub Al-Anshari Ra meriwayatkan, Nabi Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمّ أتْبَعَهُ سِتَا مِنْ شَوّالَ كان كصيام الدّهْرَ
Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan, lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Filosofi pahala puasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sama dengan puasa setahun, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat. Di antaranya :
1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat sunnah rawatib.
Ia berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan. Sebab, pada hari kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi Saw di berbagai riwayat.
Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Maka, hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan.
Sebab, apabila Allah Ta’ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya.
Sebagian orang bijak mengatakan: “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.”
Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan, kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya. Jika seseorang melakukan suatu kebaikan, lalu diikuti dengan yang buruk, maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.
4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lalu.
Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari raya ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.
5. Di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini selama ia masih hidup.
Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan, sebab mereka merasa berat, jenuh, dan lama berpuasa Ramadhan.
Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa. Padahal, orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa. Ia tidak merasa bosan dan berat apalagi benci.
Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan, tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar: “Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar, kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun.”
Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutang. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal. Dengan demikian, ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.
Perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala pada bulan Ramadhan adalah disyari’atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat. Di antaranya, ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, sebagai sebab dihapusnya dosa, dilipatgandakannya pahala kebaikan, dan ditinggikannya kedudukan.
Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi Saw, segenap keluarga, dan sahabatnya.
 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Panduan Ibadah saat Mudik bagian 2

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Shalat bagi Musafir
Arti Safar
Safar secara bahasa berarti melakukan perjalanan. Ia lawan dari iqomah (menetap). Sedangkan secara istilah, safar adalah: seseorang  keluar dari daerahnya  dengan maksud ke tempat lain yang ditempuh dalam jarak tertentu.
Jadi, seseorang disebut musafir jika memenuhi tiga syarat, yaitu: niat, keluar dari daerahnya, dan memenuhi jarak tertentu.
Rukhsah (Kemudahan) Shalat Bagi Musafir
Seorang musafir mendapatkan rukhsah berupa keringanan dari Allah SWT dalam pelaksanaan shalat.
Rukhsah tersebut adalah:

  • Mengqashar shalat yang bilangannya empat rakaat menjadi dua
  • Menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan Isya
  • Shalat di atas kendaraan
  • Tayammum dengan debu/tanah pengganti wudhu dalam kondisi tidak mendapatkan air, dan lain-lain.

Shalat Qashar
Mengqashar shalat adalah mengurangi shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat, yaitu  pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya.
Dalil Shalat Qashar
Allah Swt berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا(101)
Artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS an-Nisaa’ 101).
Jarak Qashar
Seorang musafir  dapat mengambil rukhsah shalat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu. Rasulullah Saw bersabda:
عن يحيى بن يزيد الهنائي؛ قال: سألت أنس بن مالك عن قصر الصلاة؟ فقال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خرج، مسيرة ثلاثة أميال أو ثلاثة فراسخ صلى ركعتين
Artinya: Dari Yahya bin Yazid al-Hana’i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar? Anas menjawab: ”Adalah Rasulullah Saw jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR Muslim)
عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يا أهل مكة لا تقصروا الصلاة في أدنى من أربعة برد من مكة إلى عسفان”.
Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw  bersabda: ”Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni, hadits mauquf).
Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat, yaitu

  • 4 burd atau 16 farsakh
  • Satu farsakh = 5541 meter
  • Sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.

Begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat adalah perjalanan sehari semalam. Ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Setelah diukur ternyata jaraknya adalah 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km.
Pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti Imam Malik, Imam asy-SyafiI, dan Imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.
Sedangkan hadits Yahya bin Yazid yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, para ulama mengomentarinya bahwa jarak 3 mil atau tiga farsakh bukan menunjukkan jarak minimal dibolehkannya safar, tetapi pada jarak itu Rasulullah Saw baru melaksanakan shalat qashar. Sedangkan jarak yang akan ditempuh Rasulullah Saw. masih jauh lagi.
Kesimpulan: Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama shalat, menurut jumhur ulama, yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4 burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km.
Syarat Shalat Qashar:

  1.  Niat Safar
  2. Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km)
  3. Keluar dari kota tempat tinggalnya
  4. Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat

Lama Waktu Qashar
Jika seorang musafir hendak masuk suatu kota atau daerah dan bertekad tinggal di sana, maka  dia dapat melakukan qashar dan jama shalat.
Menurut pendapat Imam Malik dan Asy-Syafii adalah 4 hari, selain hari masuk kota dan keluar kota. Sehingga jika sudah melewati 4 hari, ia harus melakukan shalat yang sempurna. Adapun musafir yang tidak akan menetap, maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.
Berkata Ibnul Qoyyim: Rasulullah Saw  tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat.
Disebutkan Ibnu Abbas dalam riwayat Bukhari: Rasulullah Saw melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna.
Shalat Jama’
Jama’ antara dua shalat, pada waktu safar dibolehkan. Shalat yang boleh dijama adalah shalat Dzuhur dengan Ashar, dan shalat Maghrib dengan Isya.
Rasulullah Saw  bersabda:
عن مُعَاذِ بنِ جَبَلٍ: “أَنّ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم كَانَ في غَزْوَةِ تَبُوكٍ إذا زَاغَتِ الشّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشّمْسُ أَخّرَ الظّهْرَ حتى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ، وَفي المَغْرِبِ مِثْلَ ذَلِكَ إِنْ غَابَتِ الشّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَإِن يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشّمْسُ أَخّرَ المَغْرِبَ حتى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُم جَمَعَ بَيْنَهُمَا”
Artinya, dari Muadz bin Jabal: Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, jika matahari telah condong dan belum berangkat, maka menjama’ shalat antara Dzuhur dan Ashar. Dan jika sudah dalam perjalanan sebelum matahari condong, maka mengakhirkan shalat Dzuhur sampai berhenti untuk shalat Ashar. Dan pada waktu shalat Maghrib sama juga, jika matahari telah tenggelam sebelum berangkat maka menjama’ antara Maghrib dan Isya. Tetapi jika sudah berangkat sebelum matahari tenggelam, maka mengakhirkan waktu shalat Maghrib sampai berhenti untuk shalat Isya, kemudian menjamak keduanya.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Shalat jama’ terdiri dari dua macam, yaitu jama’ taqdim dan jama takhir’.
Jama’ taqdim adalah menggabungkan shalat antara shalat Zhuhur dan Ashar yang dilakukan pada waktu Zhuhur,  dan shalat Maghrib dan Isya yang dilakukan pada waktu Maghrib.
Sedangkan jama’ takhir adalah menggabungkan shalat antara shalat Zhuhur dan Ashar yang dilakukan pada waktu Ashar, dan shalat Maghrib dan Isya yang dilakukan pada waktu Isya.
Shalat Jamaah bagi Musafir yang Melakukan Qashar dan Jama Shalat
Seorang musafir yang melakukan qashar dan jama shalat, maka shalat jamaah yang dilakukan sebagai berikut:

  1. Niat untuk melakukan shalat jama dan qashar secara berjamaah.
  2. Disunnahkan membaca iqamah pada setiap shalat (misalnya iqamah untuk shalat Zhuhur dan iqamah untuk shalat Ashar).
  3. Berimam pada orang yang sama-sama melakukan qashar dan jama’.
  4. Shalat jama’ dilakukan secara langsung, tanpa diselingi dengan shalat sunnah atau doa atau lainnya.

Menghadap Kiblat
Menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat, baik dalam keadaan muqim maupun musafir sebagaimana firman Allah:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Artinya: ”Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS Al Baqarah 144).
Maka jika seorang musafir berada dalam kendaraan; baik itu mobil, kereta api, kapal laut, atau pesawat udara dan mampu menghadap kiblat, maka ia harus menghadap kiblat.
Sedangkan bagi musafir yang naik kendaraan, sedang ia tidak tahu arah kiblat atau tidak mampu menghadap kiblat, maka ia harus shalat menghadap arah mana saja yang ia yakini dan shalat sesuai kondisi di kendaraan. Allah Swt berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(115)
Artinya: ”Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah 115).
Tata Cara Shalat Di Atas Kendaraan

  1. Jika dimungkinkan maka shalat seperti biasa, yaitu shalat berjamaah, menghadap kiblat, berdiri, ruku dan sujud seperti biasa.
  2. Jika tidak dapat berdiri maka shalat sambil duduk dengan gerakan shalat dalam kondisi duduk. Ruku dan sujud dengan membungkukkan punggung, dan saat sujud punggung lebih menurun dari ruku.
  3. Apabila tidak mendapatkan air, maka dapat bertayammum. Cara tayammum yaitu menepuk tanah atau debu pada dinding kendaraan dengan dua telapak tangan, lalu diusapkan ke seluruh wajah. Kemudian tangan yang satu mengusap yang lain sampai pergelangan tangan.

 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Prinsip Islam Moderat : Islam dan Ekonomi

Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Manusia baik individu maupun kolektif mempunyai banyak kebutuhan. Ada kebutuhan primer dimana ia tidak akan hidup tanpa itu, ada kebutuhan sekunder dimana ia bisa hidup tanpanya meskipun dengan sedikit kesulitan, dan ada yang bersifat pelengkap untuk membuat hidup lebih indah dan sejahtera.
Agar manusia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, Allah telah menyediakan beragam sumber daya alam yang melimpah dalam kehidupan ini. Allah telah menundukkan semua itu untuk manusia. Allah berikan kemampuan kepada manusia untuk mengeksplorasinya.
Sebaik-baik harta adalah harta yang terdapat ditangan orang-orang saleh.” (H.R. Ahmad dan Ibn Hibban)
Dunia Islam sebenarnya mempunyai kekayaan alam yang melimpah, namun mereka sekarang hidup dalam kesulitan secara ekonomi. Hal itu dikarenakan mereka tidak pandai memanfaatkan sumber alam tersebut dalam memenuhi kebutuhannya. Inilah keterbelakangan ekonomi sebagai buah dari keterbelakangan politik yang melanda kebanyakan negara-negara Islam.
Pertama : Pandangan Islam terhadap Masalah Ekonomi
Pandangan Islam terhadap aktivitas ekonomi baik untuk individu maupun jamaah adalah peran umum Islam yang tercermin dalam akidah, nilai-nilai akhlak, dan hukum-hukum  perundangan yang mengatur kehidupan manusia.
Diantara permasalahan penting yang mesti dijelaskan dalam hal ini adalah bahwa hidup zuhud di dunja dan mengutamakan kehidupan akhirat bukanlah penghalang untuk bekerja, berproduksi, menikmati sejumlah hal yang baik dengan tidak berlebih-lebihan. Dalam sabda rasulullah:
Zuhud didunia bukan dengan cara mengharamkan sesuatu yang halal dan bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud didunia adalah engkau tidak lebih yakin dengan apa yang terdapat ditanganmu ketimbang apa yang ada disisi Allah” (H.R. Ibn Majah dan Tirmidzi dari Abu Dzar ra)
Kedua : Tahapan-Tahapan Dalam Kegiatan Ekonomi
Tahap Pertama : Produksi
1. Tanah
Siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia tanami atau biarkan saudaranya yang menanami.” Q.S. Hud : 61
2. Bekerja
Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sungguh nabi Allah Dawud makan dari hasil usaha sendiri.” H.R. Bukhari dan Ibn Majah dari Miqdad ra
3. Harta
Ketika harta telah dibayarkan zakatnya, maka ia tidak termasuk ditimbun. Sebab Islam melarang menimbun harta dan menyuruh mengembangkannya dengan cara yang diperbolehkan serta di infaqkan.
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menginfaqkannya dijalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka dengan siksa yang pedih.” Q.S. at Taubah : 34
Tahapan Kedua : Tukar Menukar
Pada dasarnya konsep ekonomi dalam Islam adalah konsep pasar bebas. Adanya campur tangan pemerintah adalah lebih karena untuk menjaga kebebasan dalam bersaing secara positif. Oleh karena itu, Islam mengharamkan monopoli dan riba sekaligus mewajibkan adanya saling ridha diantara kedua belah pihak.
“…Kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas suka sama suka diantara kalian.” Q.S. an Nisa : 29
Islam melarang jual beli dengan cara memaksa, menindas, dan menipu. Rasulullah juga melarang untuk mempermainkan harga saat terjadi inflasi , dikarenakan jarangnya barang dagangan.
Tahapan Ketiga : Distribusi
Maksud disini adalah faktor-faktor yang mendatangkan hasil:
Pertama : Tanah
Tanah jika ditanami oleh pemiliknya semua yang dihasilkan menjadi miliknya sebagaimana sabda Rasulullah
Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah tersebut menjadi miliknya.”
Akan tetapi jika tanah tadi disewakan atau bekerjasama dengan orang lain, setiap orang didalamnya mendapat bagian sesuai kesepakatan ketika transaksi penyewaan tanah, muzaraah, atau musaqoh.
Kedua : Kerja
Upah seorang pekerja didasarkan pada kerelaan antara pemberi upah dan orang yang diberi upah. Pembatasan upah minimal bermanfaat untuk mencegah eksploitasi tenaga kerja dan menjaga stabilitas ekonomi. Pembatasan ini berpulang kepada waliyul amr (penguasa) muslim dalam mewujudkan keadilan dan mencegah kezaliman diantara manusia.
Ketiga : Modal Usaha
Ia bisa berupa barang atau uang
1) Modal usaha berupa barang
Seperti bangunan, alat-alat, mobil serta fasilitas lain bisa disewakan dengan nilai tertentu, serta bisa pula dimasukkan kedalam perkongsian atau kerjasama sehingga pemiliknya mendapatkan bagian darinya.
2) Modal berupa uang
Tidak boleh disewakan karena upah persewaan ini menjadi riba dan hukumnya haram. Akan tetapi. Ia bida dimasukkan dalam perkongsian usaha seperti mudharabah (kerjasama dimana yang satu menjadi pemilik modal uang dan yang lain sebagai pekerja). Dalam kondisi demikian, keuntungannya dibagi diantara masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan.
Tahapan Keempat: Konsumsi
Islam memberikan batasan-batasan syariah diantara melarang sikap boros, kikir, dan berlebihan sebagaimana firman Allah :
Makan dan minumlah. Tapi jangan berlebihan sebab Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” QS Al Araf: 31
Ketiga Saling Membantu Secara Materi
Ketentuan yang diwajibkan oleh Islam kepada individu manusia diantaranya kewajiban zakat fitrah, zakat mal/harta, termasuk denda (diyat) dan tembusan (kafarat).
Selain itu negara menopang lewat hasil bumi, pajak, fa’i (rampasan perang) yang dalam istilah fiqih dikenal atha’.
Sarana optional lain berupa sedekah sunnah, sedekah jariyah, wakaf, wasiat, hibah, hadiyah, pinjaman, dan lain-lain.
 
Referensi : 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun : Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit : Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Adab-Adab Silaturahim dan Ziarah

Oleh : Sharia Consulting Center
 

  1. Memperhatikan hari dan jam yang baik untuk silaturahim dan ziarah.
  2. Dianjurkan membawa hadiah atau sesuatu yang bermanfaat, baik berupa materi maupun nonmateri.
  3. Jika dimungkinkan, memberi tahu terlebih dahulu.
  4. Ziarah sangat dianjurkan bagi saudara dan temannya yang sakit atau terkena musibah.
  5. Orang yang lebih muda sebaiknya mendatangi yang lebih tua, begitu juga seorang muslim  mendatangi yang lebih alim dan bertaqwa.
  6. Dianjurkan saling memberi nasehat dan wasiat kebaikan, jika dilakukan dalam suatu acara resmi, maka sebaiknya mengundang dai atau mubaligh untuk memberi ceramah agama.
  7. Tidak boleh mengatakan dan melakukan sesuatu yang tidak disukai dan harus menjauhkan diri dari ghibah dan dusta.
  8. Memakai pakaian yang rapi, bersih dan baik. Bagi laki-laki   dianjurkan memakai wangi-wangian.
  9. Menjauhi pemborosan dalam makan, minum, dan lainnya.
  10. Menjauhi kemaksiatan, seperti lalai dalam mengerjakan shalat, bercampur- baur antara lelaki dan perempuan, berjabat tangan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, menyuguhkan lagu-lagu dan musik yang kotor dan tidak islami, tidak menutup aurat dan lain-lain.
  11. Dianjurkan berjabat tangan (lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan), mengucapkan salam pada saat pertemuan dan perpisahan, serta saling mendoakan.
  12. Demikian panduan bagi musafir dan pemudik yang sangat perlu diketahui oleh setiap muslim, sehingga perjalanannya tidak sia-sia. Bahkan dinilai sebagai amal shalih dan ibadah yang berpahala disisi Allah Swt. Amin, ya Rabbal alamin.

 
Sumber : 
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Silaturahim dan Ziarah di Hari Lebaran

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Silaturahim adalah upaya seorang muslim untuk menyambung tali kerabat dengan cara memberikan kebaikan kepada kerabat dan menolak keburukannya dengan segala potensi yang dimilikinya seperti:

  1. Berkunjung ke rumah kerabat
  2. Menolong kesulitannya
  3. Membantu dengan harta dan tenaga
  4. Mendoakan
  5. Menolak keburukan padanya, dan lain-lain.

Hal ini dilakukan dengan syarat bahwa saudaranya seorang muslim yang istiqamah. Adapun jika saudaranya seorang kafir atau fasik, maka silaturahim yang dilakukan dengan cara memberi nasehat agar kembali kepada kebenaran dan mendoakannya agar mendapat hidayah.
Adapun ziarah terdiri dari dua macam:

  1. Ziarah kepada kaum muslimin yang masih hidup
  2. Ziarah kubur orang Islam.

Kedua ziarah tersebut dianjurkan dalam Islam.
Silaturahim dan ziarah merupakan akhlak Islam yang mulia. Rasulullah Saw  senantiasa melakukannya dan memberi contoh yang terbaik pada umatnya. Bahkan, silaturahim dan ziarah memiliki hubungan yang erat dengan keimanan. Rasulullah Saw  bersabda:
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya menyambung tali kerabat. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya berkata baik atau diam” (HR Bukhari dan Muslim)
“مَنْ سَرّهُ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ في رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ في أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ” متفق عليه
Artinya: ”Barangsiapa yang ingin dimudahkan rejekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya menyambung tali kerabat” (Muttafaqun ‘alaih).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW : ”Bahwa ada seseorang menziarahi saudaranya di kampung lain. Maka Allah mengutus malaikat di jalan tersebut dan ketika sampai jalan tersebut berkata: ”Mau kemana?” Orang itu berkata: Saya hendak menziarahi saudaraku di kampung ini. Berkata malaikat: Apakah engkau ada kepentingan?. Ia berkata: Tidak, kecuali saya mencintainya karena Allah Taala. Berkata malaikat: Sesungguhnya saya diutus Allah untukmu, bahwa sesungguhnya Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau cinta padanya.”  (HR Muslim).
“مَنْ عادَ مَرِيضاً، أوْ زَارَ أخاً لَهُ في اللَّهِ تَعالى، نادَاهُ مُنادٍ بأنْ طِبْتَ وَطابَ مَمْشاكَ، وَتَبَوَّأتَ مِنَ الجَنَّةِ مَنـزِلاً”
Artinya: ”Barangsiapa yang menengok orang sakit atau menziarahi saudaranya karena Allah Ta’ala, maka datanglah penyeru yang menyerukan: “Engkau baik, dan langkahmu juga baik dan engkau akan masuk surga sebagai tempat tinggal” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi SAW  bersabda, “Hak muslim atas muslim ada lima: membalas  salam, menengok yang sakit, mengantar jenazah, menyambut undangan, membalas yang bersin.”
Dalam riwayat Muslim, “Hak muslim atas muslim ada enam: jika engkau menjumpainya maka ucapkan salam, jika mengundang maka sambutlah, jika minta nasehat maka nasehatilah, jika bersin dan mengucap hamdalah maka jawablah, jika sakit maka tengoklah, dan jika meninggal maka antarkan jenazahnya.”
 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

X