Antara 2.000 sampai 3.000 Muslim terbunuh di negara bagian Rakhine di Myanmar dalam tiga hari terakhir, Dewan Rohingya Eropa mengatakan pada hari Senin (28/8/2017).
Juru bicara dewan, Anita Schug mengatakan kepada Anadolu Agency antara 2.000 sampai 3.000 orang Muslim telah meninggal di negara bagian Rakhine, dan ribuan lainnya terluka dalam apa yang dia gambarkan sebagai “slow-burning genocide”.
“Ini [situasi di Rakhine] adalah slow-burning genocide yang terus berlanjut,” kata Schug, menuduh militer Myanmar berada di balik pembantaian tersebut.
Dia mengatakan hampir seribu umat Islam terbunuh pada hari Ahad (27/8/2017) di desa Saugpara, Rathedaung.
Lebih dari 100.000 warga sipil telah mengungsi dari Rakhine, sementara 2.000 Muslim lainnya terjebak di perbatasan Myanmar-Bangladesh yang ditutup oleh pemerintah Bangladesh, Schug menambahkan.
Dia juga mengatakan bahwa seratus penduduk desa dari Auk Nan Yar dibawa ke tempat yang tidak diketahui pada hari Rabu, menambahkan bahwa ada kekhawatiran akan keselamatan mereka.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine, Myanmar barat, pecah pada hari Jumat (25/8/2017), mengakibatkan korban sipil massal.
Kemudian, laporan media muncul dengan mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekuatan yang tidak proporsional dan mengungsikan ribuan warga desa Rohingya, menghancurkan rumah dengan mortir dan senapan mesin.
Daerah ini telah mengalami ketegangan antara populasi Budhis dan Muslim sejak kekerasan komunal terjadi pada tahun 2012.
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, di mana Rohingya adalah warga mayoritas di daerah tersebut, menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan, menurut laporan PBB.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan brutal dan penculikan. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 orang tewas dalam operasi tersebut.
Rohingya adalah komunitas tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia dan salah satu minoritas yang paling teraniaya.
Dengan menggunakan dialek yang serupa dengan yang diucapkan di Chittagong di tenggara Bangladesh, Muslim Rohingya dibenci oleh banyak orang di Myanmar yang beragama Buddha yang melihat mereka sebagai imigran ilegal dan menyebut mereka “Bengali” – meskipun banyak warga Rohingya telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Mereka tidak secara resmi diakui sebagai kelompok etnis, sebagian karena undang-undang 1982 yang menetapkan bahwa kaum minoritas harus membuktikan bahwa mereka tinggal di Myanmar sebelum tahun 1823 – sebelum perang Anglo-Burma pertama – untuk mendapatkan kewarganegaraan.
Sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine barat yang miskin namun ditolak kewarganegaraannya dan dilecehkan dengan pembatasan pergerakan dan akses pekerjaan.
Sebanyak 400.000 lainnya tinggal di kamp-kamp di Bangladesh, meskipun Dhaka hanya mengakui sebagian kecil sebagai pengungsi.
Sumber :Daily Sabah