Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Setelah menjelaskan tentang keberadaan dua golongan manusia: golongan yang bersyukur dan golongan yang kufur, Allah melanjutkannmya dengan balasan yang akan Dia berikan nanti untuk masing-masing mereka.
إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا
Kami telah sediakan untuk orang-orang kafir: rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala (QS al-Insan: 4)
Allah telah menyediakan siksa dan hukuman bagi orang kafir. Siksa tersebut tidak hanya disiapkan; tetapi telah disediakan. Karena itu kata kerja yang dipergunakan bukan أعْدَدْنَا (telah menyiapkan); melainkan أعتدنا (telah menyediakan).
Ini memberikan kesan lebih kuat dan lebih dalam. Pasalnya, sesuatu yang disiapkan belum tentu tersedia. Namun, sesuatu yang telah tersedia berarti telah siap dan telah ada.
Di samping itu, menurut pandangan ulama ahlu sunnah wal jamaah, ayat di atas juga menjadi dalil bahwa neraka saat ini telah ada dan telah tercipta. Pandangan ini diperkuat oleh sejumlah hadits Rasul saw. yang mengisyaratkan telah terciptanya neraka dan sorga. Di antaranya hadits tentang perjalanan manusia sesudah mati dan setelah dikubur.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Thabrani, ketika telah mendapat pertanyaan dari malaikat, orang yang berada dalam kubur akan diperlihatkan pintu yang menuju neraka. “Bukakan untuknya pintu menuju neraka!” Maka, dibukalah pintu menuju neraka untuknya.”
Lalu, apa bentuk siksa yang didapat orang kafir? Salah satu yang disebutkan dalam surat ini adalah rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. Rantai dipakai untuk mengikat kaki mereka. Belenggu dipakai untuk mengikat tangan ke leher. Sementara, neraka yang menyala adalah untuk membakar sehingga mereka menjadi kayu bakar jahannam.
Ada sebuah pertanyaan yang muncul; yaitu mengapa Allah menyebutkan rantai dan belenggu sebagai salah satu siksa bagi orang kafir di antara sekian banyak siksa yang diberikan kepada mereka? Apalagi penyebutan neraka yang menyala-nya sudah mencakup dan meliputi semua jenis siksa?
Menurut Dr. Fadhil Shalih al-Samira’I, hal itu terkait dengan kebebasan yang Allah berikan sebelumnya ketika manusia berada di dunia. Bukankah sebelumnya Allah memberikan kebebasan untuk memilih sehingga ada yang bersyukur dan ada yang kufur?!
Nah, karena orang kafir ketika berada di dunia tidak memanfaatkan kebebasan tersebut untuk memilih jalan yang benar, maka di akhirat kebebasan tadi tertutup bagi mereka. Sebagai akibatnya, kaki, tangan dan leher mereka terikat; tak bisa bebas bergerak. Itulah balasan bagi orang yang tak bisa memanfaatkan peluang kebebasan yang Allah berikan ketika di dunia.
Bayangkanlah bagaimana kondisinya ketika ia digiring ke neraka yang menyala-nyala dalam kondisi demikian. Sungguh sebuah gambaran yang menyeramkan. Semoga Allah melindungi kita darinya.
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
Orang-orang yang berbuat kebajikan meminum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (QS al-Insan: 5)
Setelah menggambarkan siksa yang diberikan kepada orang kafir, Allah mengetengahkan gambaran penduduk surga. Sengaja gambaran tentang nikmat yang diberikan kepada orang mukmin yang pandai bersyukur diletakkan sesudah berbicara tentang siksa padahal penyebutan orang yang beryukur pada ayat ketiga diletakkan sebelum orang yang kufur. Hal itu di antaranya untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi penjelasan tentang berbagai kenikmatan yang ada. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, yang dimaksudkan untuk mendekatkan pada kondisi yang sebenarnya sehingga kita terpacu untuk bisa meraihnya. Orang-orang yang berbuat kebajikan. Inilah golongan yang mendapatkan kenikmatan di surga.
Sebenarnya ada dua kata dalam bahasa Arab yang sama-sama mengacu kepada pelaku kebajikan dalam bentuk plural: أبرار dan بررة. Hanya saja di dalam Alquran ada perbedaan penggunaan untuk keduanya. Bentuk pertama dipergunakan untuk manusia, sementara bentuk kedua dipergunakan untuk malaikat; tidak pernah dipergunakan untuk manusia. Lihat misalnya dalam surat Abasa ayat 15 dan 16:
كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16) قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ (17)
Di tangan Para penulis (malaikat), yang mulia dan berbuat bajik.
Mengapa demikian? Tidak lain karena kata abrar mengacu kepada pelaku kebajikan yang jumlahnya sedikit, sedangkan bararah mengacu kepada pelaku kebaikan yang jumlahnya banyak. Hal ini sesuai dengan penjelasan Allah yaitu bahwa malaikat seluruhnya taat dan tunduk kepada-Nya, sementara tidak demikian dengan manusia. Hanya sedikit jumlah manusia yang beriman dan bersyukur di tengah limpahan karunia Allah yang tak terhingga. Fakta dan kondisi saat ini menjadi bukti atasnya.
Berapa banyak orang yang taat? Berapa banyak orang yang jujur? Berapa banyak orang yang melaksanakan salat lima waktu secara istikamah? Berapa banyak yang rutin mengaji? Allah befirman,
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13)
Sedikit sekali di antara hamba-Ku yang pandai bersyukur (QS Saba: 13)
Meminum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. Inilah nikmat yang didapatkan oleh orang yang berbuat bajik dan taat. Penggunaan kata kerja “meminum” dalam bentuk mudhari (present tense) mengisyaratkan bahwa mereka bisa minum kapan saja mereka kehendaki tanpa ada yang menghalangi. Lebih dari itu, bukan sembarang minuman yang mereka reguk. Tetapi, minuman istimewa karena dicampur dengan air kafur; yang aromanya wangi, berwarna putih, dan lezat rasanya.
Menurut Sayyid Quthb, dahulu orang-orang Arab biasa mencampur khamar yang biasa mereka minum dengan kafur atau dengan jahe untuk menambah kenikmatan. Ternyata minuman sejenis itu juga disediakan oleh Allah di surga. Hanya saja, tentu kualitasnya jauh berbeda. Pasalnya, apa yang terdapat di surga jauh lebih lezat, lebih segar, dan jauh lebih nikmat daripada apa yang terdapat di dunia. Dalam hal ini kafur yang berada di surga berupa mata air seperti diterangkan oleh ayat selanjutnya.
عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (6)
(Yaitu) mata air (di surga) yang hamba-hamba Allah minum darinya. Mereka dapat mengalirkannya ke mana saja (QS al-Insan: 6)
Ya, itulah yang dimaksud dengan kafur. Ia merupakan mata air yang mengalir di dalam surga. Lalu, siapa yang berhak mendapatkan dan meminum mata air tersebut secara langsung tanpa dicampur?
Hamba-hamba Allah minum darinya. Ini menunjukkan bahwa ibadullah (hamba Allah) yang dimaksud pada ayat di atas memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada al-abrâr (pelaku kebajikan dan ketaatan). Pasalnya ibadullah meminum air kafur tersebut secara murni tanpa dicampur dengan yang lain, sementara al-abrar meminum kafur hanya sebagai campuran.
Perumpamaannya adalah seperti orang yang meminum susu murni dan orang yang meminum susu dicampur dengan air. Tentu kedudukan antara kedua orang tersebut berbeda. Memang di akhirat nanti manusia terbagi tiga kelompok.
Allah befirman, “Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya. Lalu gunung-gunung dihancurluluhkan seluluh-luluhnya. Maka, jadilah ia debu yang beterbangan. Dan kamu menjadi tiga golongan: yaitu (1) golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan (2) golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Selanjutnya (3) orang-orang yang cekatan dalam kebaikan. Mereka Itulah al-muqarrabûn (yang didekatkan kepada Allah. Mereka berada dalam surga kenikmatan” (QS al-Waqiah: 4-12)
Nah, dalam hal ini al-abrar adalah golongan kanan, orang kafir golongan kiri, sementara ibadullah adalah orang yang cekatan dalam kebaikan yang kedudukannya dekat dengan Allah (al-muqarrabun). Jadi, orang yang cekatan dan menunjukkan ketaatan yang istimewa sebagai hamba Allah mendapatkan kedudukan khusus di sisi-Nya.
Di antara keistimewaan tersebut adalah pemberian mata air kafur sebagai minuman mereka. Tidak hanya sekedar minuman murni, bahkan, mereka dapat mengalirkannya ke mana saja. Artinya, mata air tersebut bisa dipancarkan ke mana saja mereka kehendaki dan di mana saja mereka berada. Entah ketika mereka berada di istana, rumah, kebun, ataupun majlis tempat duduk mereka. Entah dalam kondisi berdiri, duduk, tidur, ataupun di saat mereka berjalan. Subhanallah!