Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Jika demikian fasilitas dan kenikmatan yang Allah berikan kepada penduduk sorga, lalu bagaimana caranya agar kita termasuk di dalamnya? Apa saja sifat yang harus dimiliki?
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (7)
Mereka menunaikan nazar dan takut terhadap suatu hari yang azabnya merata di mana-mana (QS al-Insan: 7)
Di antara sifat yang melekat pada golongan mukmin yang taat yang mendapatkan sorga Allah adalah mereka menunaikan nazar. Nazar yang dimaksud di sini tentu berupa nazar dalam hal ketaatan; bukan dalam hal maksiat. Pasalnya, Rasulullah saw. bersabda,
( من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصه فلا يعصه ) رواه البخاري وأصحاب السنن .
Siapa yang bernazar untuk menaati Allah, hendaknya ia taat. Sementara, siapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada-Nya, janganlah ia lakukan.” (HR al-Bukhari dari Mâlik)
Misalnya kalau orang bernazar untuk bersedekah, pergi haji, salat lima waktu di masjid, berpuasa senin-kamis, mengkhatamkan Alquran dalam sepekan, maka nazar yang semacam ini harus ditepati. Namun, kalau karena sesuatu hal ia tak mampu memenuhinya, ia harus membayar kaffarah (denda) seperti kaffarah orang yang bersumpah. Yaitu, memberi makan sepuluh orang fakir miskin atau memberikan pakaian kepada mereka. Jika tidak mampu maka berpuasa selama tiga hari (lihat QS al-Maidah: 89)
Penunaian nazar secara sempurna sebenarnya merupakan kiasan atas pelaksanaan seluruh kewajiban syariat. Sebab, kalau nazar saja–yang pada dasarnya merupakan sesuatu yang ia wajibkan atas dirinya–dipenuhi dengan baik apalagi kewajiban yang memang telah Allah tetapkan atasnya, seperti salat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat dan seterusnya.
Di samping memenuhi nazar dan kewajiban yang ada, sifat kedua dari penghuni sorga adalah takut terhadap suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Inilah bentuk ketaatan dan ketakwaan yang sempurna dari seorang hamba. Yaitu menjaga kondisi lahir dan batinnya secara bersamaan. Kalau pelaksanaan nazar merupakan cerminan dari kondisi lahir, maka kondisi batin dari orang beriman dicerminkan dari sifat takutnya terhadap siksa Allah. Karena itu, orang beriman meninggalkan segala larangan karena takut kepada siksa di hari kemudian.
Siksa di hari tersebut bukan sekedar siksa biasa. Namun, azabnya merata di mana-mana. Ia mencakup seisi langit dan bumi. Yakni meliputi semua makhluk yang kafir, jahat, dan banyak melakukan maksiat. Adapun orang-orang beriman, mereka dalam kondisi aman dan tenang. Allah befirman,
Mereka tidak dibuat cemas oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata), “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu”. (QS al-Anbiya: 103)
Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati. (QS az-Zukhruf: 68).
Demikianlah kondisi yang dialami oleh kaum beriman. Mereka tenang, tenteram, damai, dan aman. Mereka tidak tersentuh oleh siksa yang menimpa kaum kafir dan pendosa. Kalau siksa hari pada hari tersebut dikatakan merata, hal itu lantaran jumlah orang yang mendapat siksa jauh lebih banyak sehingga tampak menimpa hampir semua orang.
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8)
Mereka memberikan makanan yang ia sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan (QS al-Insan: 8)
Selanjutnya sifat dari orang-orang yang mendapatkan kenikmatan di sorga adalah senang memberikan makanan. Sifat ini menunjukkan satu sikap mulia dari mereka; mengasihi sesama manusia. Inilah sifat yang tidak boleh lepas dari diri orang beriman. Di samping hubungan dengan Allah baik, hubungan dengan sesama manusia juga harus baik.
Mereka memberikan makanan. Ini bukan berarti pemberian tersebut hanya terbatas pada makanan. Makanan hanyalah kiasan dari kebaikan yang bisa dilakukan. Kalaupun makanan disebutkan pada ayat di atas, hal itu lantaran ia merupakan kebutuhan primer manusia. Dengan kata lain, ia bisa digantikan dengan pakaian, uang, dan lain sebagainya sesuai dengan keperluan. Yang penting adalah semangat untuk memberi sesuatu yang berguna bagi orang lain.
Hanya saja, ada hal lain yang perlu digarisbawahi. Selain barang yang diberikan berguna, pemberian baru bernilai mulia di sisi Allah, manakala diberikan dalam kondisi hati pemiliknya masih menyukai dan menyayangi barang tersebut. Dengan kata lain, barang tersebut bukan diberikan hanya lantaran merupakan barang sisa, berlebih, dan sudah tidak terpakai atau usang. Namun, barang yang diberikan hendaknya merupakan barang yang ia sukai.
أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ فَقَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا أَلَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik sedekah adalah yang kau berikan dalam kondisi dirimu masih sehat, kikir (suka), mengharap kaya, dan takut miskin.” (HR Muslim).
Artinya, sedekah terbaik adalah yang diberikan dalam kondisi diri ini masih mencintai dan membutuhkan harta tersebut. Nilai dari sedekah yang diberikan dalam kondisi demikian tentu berbeda dengan sedekah yang diberikan saat seseorang sudah dalam kondisi sakit-sakitan, hampir mati, putus asa, dan sudah tidak mencintai harta.
Jadi, semakin disukai oleh pemiliknya semakin tinggi pula nilai sedekah yang diberikan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 92,
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.
Diriwayatkan bahwa Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah sering memberikan sedekah berupa gula. Lalu ada yang bertanya, “Mengapa engkau sering memberi gula?” Ia menjawab, “Sebab aku menyukainya.” Kemudian beliau mengutip firman Allah di atas (Ali Imran: 92).
Sementara, ketika turun ayat di atas Abu Thalhah pergi menuju hartanya yang paling bernilai, yaitu Bayruhâ`, kebun kurma miliknya. Lalu ia menyedekahkan kebun tersebut di jalan Allah.
Lalu kepada siapa infak dan sedekah itu diberikan?
Mereka memberikan makanan yang ia sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan
1. Orang miskin. Siapa yang disebut miskin?
Menurut Imam Hanafi dan Maliki: “Orang yang tidak memiliki apa-apa.”
Imam Syafii: “Orang yang mampu mendapat penghasilan tetapi tidak mencukupi. Adapula yang menyamakan antara fakir dan miskin.
2. Anak yatim: orang yang ditinggak mati ayahnya sebelum baligh. Ia layak mendapat perhatian dan kasih sayang hingga bisa mandiri. Fadhilah orang yang memerhatikan anak yatim: ia akan bersama Rasul saw di surga (ana wa kafilul yatim ka hatayni fil jannah). Sementara siapa yang tidak memerhatikannya dianggap sebagai orang yang mendustakan agama.
3. Tawanan. Maksudnya tawanan perang, apapun agamanya. Rasul saw menyruh sahabat pada perang Badar untuk mmberikan makan kepada para tawanan tersebut. Inilah etika dan akhlak Islam. Adapula yang menafsirkan tawanan disini sebagai “isteri” karena berada dalam penjagaan suami.”
Mengapa miskin didahulukan, lalu yatim dan tawanan?
1. Dari segi kebutuhan.
Karena kebutuhannya bersifat permanen. (berhak mendapat sedekah dan zakat), sementara yatim tidak selalu membutuhkan karena ada pula yatim yang kaya. Lalu tawanan tidak termasuk yang wajib diberi makan oleh setiap muslim; tetapi oleh penguasa saja.
2. Dari segi jumlahnya.
Orang miskin jauh lebih banyak dari yatim. Sebab yatim berakhir ketika baligh atau sudah bisa mandiri. Apalagi tawanan yang hanya ada di saat perang.
3. Dari segi kemandirian.
Orang miskin lebih mandiri dan lebih bisa memergunakan harta sesuai kebutuhan. Anak yatim tidak. Apalagi tawanan yang tidak bebas merdeka.