0878 8077 4762 [email protected]

Miskin dan Kaya

Bersemangat untuk jadi kaya, kuat dan bermanfaat bagi seluas-luas sesama adalah mulia. Tetapi haruskah kita mencela kemiskinan dan keadaan papa?
Andai pada kemiskinan sama sekali tiada kebaikan, akankah Nabi bersabda, “Aku diperlihatkan surga, kebanyakan penduduknya miskin adanya.”
Adalah Abdurrahman bin Auf, si kaya yang penampilannya tak beda dengan budaknya. Suatu hari menangis ketika hidangkan roti lembut. Tersedu dia berkata, “Mush’ab bin Umair lebih baik dari kami. Dia tak pernah menikmati makanan seperti ini. Kala syahid di Uhud, tiada kafan baginya selain selimut usang. Kalau ditutup ke kepala terbuka kakinya, jika diselubungkan ke kaki tersingkap kepalanya.
Tangisan Abdurrahman adalah sebab terkenang ungkapan Nabi saat melihat Mush’ab di Madinah. Si tampan yang sejak hijrahnya menjadi papa. Kulitnya mengelupas bagai ular berganti sisik, baju bertambal, tubuhnya kurus kurang gizi.
Saat hijrah Nabi menitikkan air mata dan bersabda, ” Bagaimana kalian jika dunia dibukakan, lalu masing-masing kalian berlimpah kekayaan dan kemuliaan?” Beliau memandangi sahabat-sahabatnya. Mereka yang saat itu nyaris semua fakir menjawab adanya, “Jika demikian keadaan kami pastilah baik ya Rasulullah!” Nabi menggeleng dengan pelupuk tergenang, “Tidak! Demi Allah! Demi Allah, kalian hari ini lebih baik daripada kalian pada hari itu!”
Begitulah faktanya, Nabi lebih khawatir dengan kekayaan daripada keadaan kemiskinan sahabat kala itu. Allah mencela orang tatkala diberi karunia mengatakan: “Tuhanku memuliakanku” dan saat disempitkan rezeki mengeluh: “Tuhanku menghinakanku” (Surah Al Fajr ayat 15-16)
Namun benar kata Nabi, “Ni’mal malish shalih, li rajulish shalih! Sebaik-baik harta yang baik, ditangan lelaki baik (shaleh). Maka kekayaan itu kebaikan yang pujian padanya bersyarat. Jika penggenggamnya mulia bahkan memandangnya sebagai beban di yaumil akhir.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Jangan Pernah Mencela Sahabat Nabi

Para pionir Islam seperti sahabat Nabi ada di hati dan cintanya. Tokoh hebat yang bergabung belakangan turut merasakan penghargaan, kesempatan bakti dan nasihat.
Suatu ketika sahabat nabi, Abdurrahman bin Auf menentang kebrutalan Khalid, lalu Khalid mengkasarinya. Nabi kemudian menegur Khalid dengan kalimat dahsyat. “Jangan pernah kau cela sahabatku, hai Khalid. Demi Allah, andai kau infakan emas segunung Uhud, takkan bisa menyamai segenggam kurmanya!”
Apa khalid bukan sahabat? Ya sahabat juga. Tetapi 8 bulan yang penuh kemenangan itu jadi mungil disandingkan 20 tahun luka dan duka sahabat termasuk Abdurrahman bin Auf.
Uhud katanya merusak nurani. Disana Abdurrahman jadikan tubuhnya perisai lindungi Nabi dari usaha membunuh Nabi.
Infaq segenggam kurma Abdurrahman tak tertandingi emas sepenuh gunung. Tetapi memangnya pernah Abdurrahman infaq cuma segenggam?
Sekali ada seruan Nabi, Abdurrahman bisa mengeluarkan 40.000 dinar. Kadang jua 1.000 unta beserta seluruh muatannya.
Bagaimana mungkin Khalid apalagi kita mengejarnya? Sejak saat itu Khalid yang semula ganas dan angkuh jadi lebih terkendali.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro-U Media