by Danu Wijaya danuw | Oct 5, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
Kota Oxford di Inggris memutuskan gelar kehormatan untuk Aung San Suu Kyi dicabut, karena dianggap tak berbuat banyak untuk mengatasi krisis Rohingya di Rakhine.
Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, menerima gelar kehormatan Freedom of Oxford pada 1997 sebagai penghargaan atas ‘perjuangannya yang tak kenal lelah untuk menegakkan demokrasi’.
Namun mosi yang didukung oleh Dewan Kota Oxford menilai bahwa ia tidak layak lagi menyandang gelar kehormatan tersebut.
Pejabat di Kota Oxford, Bob Price, mengatakan bukti-bukti yang disampaikan PBB membuat Aung San Suu Kyi tak lagi berhak menerima gelar Freedom of Oxford, penghargaan yang sebelumnya diberikan atas perjuangannya menegakkan demokrasi.
Gelar ini secara resmi akan dicabut bulan November, namun para anggota dewan kota menegaskan bahwa keputusan pencabutan gelar bisa dibatalkan jika Aung San Suu Kyi melakukan tindakan untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Rakhine.
Oxford memiliki kedekatan dengan Aung San Suu Kyi karena di kota ini ia mengambil jurusan filsafat, politik dan ekonomi di Universitas Oxford pada 1964 hingga 1967.
Ia menikah dengan peneliti masalah Tibet dan Himalaya di Universitas Oxford, Michael Aris, pada 1972 dan tinggal di kota ini selama beberapa waktu bersama dua anaknya, Kim dan Alexander.
Aung San Suu Kyi dikecam karena dianggap gagal memerintahkan militer agar menghentikan kekerasan di Rakhine atau mengatasi krisis kemanusiaan Rohingya, yang mendorong petisi agar Hadiah Nobel Perdamaian untuk dirinya dibatalkan.
Pekan lalu Universitas Oxford menurunkan fotonya dan menggantinya dengan lukisan Jepang.
Lebih dari 500.000 warga minoritas Muslim Rohingya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindari gelombang kekerasan di Rakhine.
Krisis pecah ketika serangan oleh milisi Rohingya terhadap sejumlah pos keamanan pada 25 Agustus dibalas dengan operasi militer.
Aung San Suu Kyi selama bertahun-tahun menjalani tahanan rumah di Rangoon ketika Myanmar dipimpin oleh diktator militer.
Ia menjadi tokoh global dan dikenal sebagai pejuang kebebasan sebelum mengantarkan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, memenangkan pemilu di Myanmar pada 2015.
Sumber : BBC Indonesia
by Danu Wijaya danuw | Sep 14, 2017 | Artikel, Berita, Internasional, Sejarah
Pembantaian etnis Rohingya belum juga berakhir. Setelah dihebohkan dengan ribuan pengungsi yang mengapung di atas kapal pada tahun 2015 lalu, kini gelombang itu kembali terjadi. Pada 25 Agustus militer Myanmar membantai etnis Rohingya di negara bagian Rakhine. Aksi tersebut mengakibatkan 300 ribu lebih warga rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Apa penyebab dari rumitnya krisis di Myanmar ini?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai situasi ini tak lepas dari tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga Myanmar oleh rezim yang tengah berkuasa.
“Bahkan ada kecenderungan pemerintah Myanmar melakukan ethnic cleansing (pembersihan etnis) saat terjadinya konflik antar etnis Rohingya dengan otoritas Myanmar,” ujar Hikmahanto seperti dikutip dari Historia.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Moshe Yegar dalam Between Integration and Secession: The Muslim Communities of the Southern Philippines, Southern Thailand, and Western Burma.
Mereka mengungkapkan, masyarakat Rohingya tidak lagi diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar sejak 1982. Dua dekade setelah terjadinya kudeta militer oleh Jenderal Ne Win, hingga menetapkan pemerintahan junta militer.
Paspor mereka dicabut, hak-hak politik mereka dikebiri. Dalam Debating Democratization in Myanmar yang dirangkum Nick Cheesman dan Nicholas Farrelly, masyarakat muslim Rohingya Myanmar tidak lagi dicantumkan sebagai satu dari 135 kelompok etnis resmi yang disebut national races di Myanmar.
Bapak Bangsa Myanmar Dulu Dekat dengan Muslim Rohingya
Jika dilihat secara historis, Bapak Bangsa Myanmar, U Aung San ayah dari Aung San Suu Kyi, pernah merangkul Muslim Rohingya. Aung San merangkul etnis yang kini tidak diakui itu sebelum Myanmar merdeka pada tahun 1948.
Pada Perang Dunia II, Aung San dengan kelompok antifasisnya bahu-membahu dengan milisi Rohingya yang didukung Inggris dalam memerangi Jepang.
“Bapak Aung San dengan sangat ramah menerima Rohingya sebagai satu dari ras asli Burma sebagaimana Kachin, Kayah, Karen, Chin, Mon dan Rakhine.”
“Dia menjamin kewarganegaraan (warga Rohingya) saat bertemu para petinggi muslim di Akyab, Mei 1946,” sebut U Kyaw Min alias Shamsul Anwarul Haque, dalam artikel Legal Nexus Between Rohingya and the State di jurnal An Assessment of the Question of Rohingya’s Nationality.
Muslim Rohingya Pernah Mengisi Parlemen Myanmar
Saat Myanmar merdeka, Muslim Rohingya bisa hidup tenang. Mereka menikmati semua hak nya sebagai warga negara. Mereka benar-benar bisa hidup setara di bawah payung Residents of Burma Registration Act yang dirilis 1949 dan disusul Burma Registration Rules pada 1951.

Surat pengakuan etnis rohingya myanmar kala itu
Tak hanya itu, pada tahun 1951 seorang etnis Rohingya berhak mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Mereka mewakili daerah-daerah pemilihan (dapil) Buthidaung Utara, Buthidaung Selatan, Maungdaw Utara serta Maungdaw Selatan.
Tercatat beberapa nama anggota parlemen terkemuka asal Rohingya. Sebut saja nama-nama seperti Abdul Gaffar, Abul Bashar, Sultan Ahmed, Daw Awe Nyunt (a) Zurah, Ezar Meah, Sultan Mahmood, Abul Khair, Rashid, hingga MA Subhan.
Kebudayaan dan Hak Ibadah Haji Muslim Rohingya Dijamin Kala Itu
Apresiasi pemerintah terhadap kebudayaan Rohingya diperlihatkan pula dengan adanya acara program bahasa Rohingya d BBS (Burma Broadcasting Service) atau stasiun radio milik pemerintah Myanmar.
Hak-hak beragama pun dijamin oleh pemerintah. Untuk mengikuti ibadah haji misalnya, pemerintah Myanmar menerbitkan paspor bagi masyarakat Rohingya yang sudah memiliki NRC (Kartu Registrasi Nasional) dan FRC (Sertifikat Registrasi Orang Asing), agar mereka bisa pergi naik haji ke Makkah.
Kudeta Militer Myanmar dan Pencabutan Kewarganegaraan Etnis Rohingya
Akan tetapi, kedamaian itu berakhir sejak kudeta dilakukan oleh pihak militer pimpinan Jenderal Ne Win pada 2 Maret 1962.

Pemimpin Kudeta, Jenderal Ne Win
Pemerintahan junta militer lantas melindas pemerintahan sipil AFPFL (Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis) yang kala itu dipimpin Perdana Menteri U Nu.
Usai berhasil menggulingkan U Nu, secara sistematis hak-hak politik masyarakat Rohingya dihapuskan. Baik dalam mengikuti pencalonan, maupun memberikan suaranya dalam pemilu, melalui UU baru tentang Kewarganegaraan Tahun 1982. Benih-benih konflik mulai tertebar hingga menuai krisis hingga sekarang.
“Rohingya telah ada di Rakhine sejak dunia diciptakan. Arakan adalah tanah kami; tanah India selama seribu tahun lalu,” cetus politisi Rohingya Kyaw Min dalam suratkabar The Economist 3 November 2012.
Pemerintah junta militer Myanmar sudah tak lagi menjabat sejak 2016. Saat ini Pemerintahan dipimpin oleh wakil dari partai pimpinan Aung San Suu Kyi. Lewat Pemilu, NLD (Liga Nasional Demokratik) pimpinan Aung San Suu Kyi, dan wakilnya, U Htin Kyaw berhasil jadi presiden.
Meski pemerintahan junta militer sudah berakhir. Muslim Rohingya belum mendapat hak-haknya sebagai warga negara.
Agaknya Suu Kyi tak belajar dari sang ayah. Maka tak heran, Sang Ayah yang pernah merangkul Muslim Rohingya ini dikenal sebagai Bapak Bangsa Myanmar.
Oleh : Eva F Hasan
Sumber : Islampos/Historia/TheEconomist
by Danu Wijaya danuw | May 15, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
Peter Maurer, presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC), mengatakan kepada wartawan di ibukota komersial Myanmar, Yangon, Rabu (10/5/2017) malam bahwa dia telah meminta pemerintahan Aung San Suu Kyi untuk memberikan akses kepada pekerja bantuan untuk orang-orang yang menderita di bawah Kondisi memprihatinkan di bebarapa bagian negara Myanmar.
Pemerintah Myanmar telah memblokir akses ke daerah-daerah di mana mereka melakukan tindakan keras terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya.
“Kami ingin memiliki akses ke semua orang yang membutuhkan untuk melakukan penilaian yang tepat, untuk membantu memudahkan sesuai dengan kebutuhan,” kata Maurer.
Maurer baru-baru ini mengunjungi negara bagian Rakhine di bagian barat laut, di mana dia mengunjungi kamp-kamp yang didirikan hampir lima tahun yang lalu untuk menampung Muslim Rohingya yang mengungsi akibat diusir oleh ekstremis Budha. Namun, dia tidak diizinkan untuk mengunjungi bagian utara negara tersebut, di mana sebuah operasi keamanan membuat sekitar 75.000 orang Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh.
Presiden Palang Merah itu mengatakan bahwa dia “tidak puas” dengan pembatasan yang diberlakukan oleh pejabat Myanmar. Dia mengatakan bahwa dia yakin pemberian lebih banyak akses akan sesuai dengan kepentingan pemerintah dan angkatan bersenjata Myanmar.
“Dipenghujung hari tidak ada alat yang lebih efektif untuk mengurangi ketegangan daripada menawarkan prosedur yang lancar untuk akses ke organisasi kemanusiaan seperti kita,” katanya.
Maurer dijadwalkan untuk pergi ke ibu kota, Naypyidaw, pada hari Jum’at untuk bertemu dengan pejabat dan akan bertemu dengan Aung San Suu Kyi di Beijing dalam sebuah konferensi internasional di sana pekan depan, katanya.
Mantan tahanan politik Ang San Suu Kyi menang telak dalam pemilihan dan menjadi kepala pemerintahan sipil de facto pada bulan April 2016 setelah berpuluh-puluh tahun diperintah militer.
Tentara dan polisi Myanmar melakukan pembunuhan dan memperkosa terhadap Rohingya, yang kewarganegaraannya ditolak di Myanmar dan secara luas dipandang sebagai orang luar oleh mayoritas umat Budha negara itu meski mereka telah berabad-adab tinggal di negara tersebut.
Sejak Oktober 2016, pasukan Myanmar telah melakukan tindakan keras militer di Negara Bagian Rakhine, di mana komunitas Rohingya terutama berbasis, menyusul sebuah serangan di sebuah pos polisi yang dipersalahkan atas militan terkait Rohingya.
Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan oleh PBB bulan lalu, pasukan Myanmar telah melakukan pembunuhan massal dan perkosaan terhadap komunitas Muslim Rohingya.
Sumber : Okezone/voaislam