by Danu Wijaya danuw | Dec 14, 2016 | Artikel, Dakwah
Wanita hebat itu Hajar, ditinggalkan bersama bayi di terik gurun mematikan: “Jika ini perintah-Nya, Dia takkan pernah menyiakan kami.” Kalimat itu sulit dan berat sebab dia bersama bayi merah dan sergapan rasa menggulung: takut, sedih, kecewa, dan cemburu. Dan kalimat iman tak serta merta membuat langit turunkan keajaiban. Wanita itu diuji, maka berpayah dia lari-lari tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah.
Proklamasi iman itu mengabadi, tanpanya kita tak bisa melakukan sa’i saat haji. Tak jumpa air zam-zam, tak bisa jumrah dan berucap “kama shallaita” di tahiyat. Hajar adalah wanita mulia, disisinya pun ada suami dan anak yang mulia. Tetapi bagaimana jika kau bersuamikan lelaki yang jahat lagi keji?
Mari mengaca pada Asiyah, wanita di sisi Fir’aun itu. Ujian iman dimulai dari sosok terdekat yang seharusnya jadi pelabuhan rasa. Dan wanita teguh itu menemukan manisnya pengaduan pada Rabb semesta alam : “Bangunkan untukku rumah disisi-Mu, di surga terjanji itu.”
Selanjutnya inilah wanita suci, ahli ibadah pelayan umat yang tak pernah disentuh lelaki manapun. Maka Allah memilihnya jadi keajaiban zaman. Dan bukankah tiap karunia hakikatnya ujian, pun begitu pada Maryam. Wanita suci itu menanggungkan aib, rasa malu dan beratnya beban darinya lahir seorang anak tanpa suami. Tetapi begitulah iman. Ia tak menjamin untuk selalu berlimpah dan tertawa. Ia hanya hadirkan lembut sapa-Nya ditiap dera yang menimpa. Wanita itu diabadikan dalam surah Al Qur’an, maryam. Najasyi, para uskup Habasyah dan semua pecinta mencucurkan airmata ketika dibacakan surah tersebut.
Lalu hadirlah Khadijah. Wanita yang segala kata membisu didepan keagungannya. Janda mulia itu memilih si lelaki terpuji untuk hidupnya. Dimulailah perannya sebagai wanita yang menegakkan punggung suami dihadapan zaman, menyediakan kelembutan dan kelapangan hati.
Turunnya wahyu pertama serasa memikulkan sepenuh bumi ke pundak nabi Muhammad saw. Wanita itu menyambut gemetar suami dengan selimut lembut tanpa tanya. “Khadijah, wanita itu beriman padaku saat semua ingkar. Dia serahkan hartanya ketika semua bakhil.” kenang Muhammad bertahun kemudian.
Dari wanita ini lahir Fatimah, penghulu surgawati berikutnya. Satu hari, setimbun isi perut unta ditumpahkan ke kepala Nabi yang sujud. Beliau tak bangkit hingga wanita belia itu datang mengusap dan menyeka penuh tangis haru. “Tenang Fatimah, Allah takkan siakan ayahmu.” Wanita itu menuntun ayahnya pulang, disekakannya air hangat, dibakarkannya perca untuk hentikan darah di luka. Lalu disilakannya rehat.
Penuh nyali wanita itu kembali ke Ka’bah, ditudingnya para pemuka Quraisy yang tertawa-tawa hingga mereka terkesiap. Lalu dia bicara. “Ayahku Al Amin, akhlaknya mulia dan tak sekalipun dia pernah rugikan kalian.” Wanita itu terus bicara dan mereka khusyuk mendengarkan. Fatimah; dia putri Nabi setara raja, tapi pelayan pun tak punya. Dia istri pahlawan, tapi tangannya melepuh menggiling gandum. Wanita ini ibu dari dua penghulu pemuda surga, tapi rumah cahaya itu roti berbukanya sering tandas tersedekah hingga lapar menyergap.
Mari takjubi Aisyah. Wanita cerdas ini ahli tafsir, sejarah, faraidh, meriwayatkan 4.000an hadist dan hafal ribuan bait syair. Ajaibnya wanita ini bergelar Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq (yang amat jujur putri pembenar kebenaran). Menguasai itu semua sebelum 18 tahun. Kehadiran wanita ini menjadikan hidup sang Nabi warna-warni, cantiknya, cerdas lincahnya, cemburu, juga iri dan fitnah yang mengguncang. Madinah jadi indah dengan ilmunya. Bashrah bergelora dengan khutbah-khutbahnya. Menuntut bela pembunuhan ustman kepada Ali.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Danu Wijaya danuw | Nov 27, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Romantis adalah ketika Nabi saw dan Aisyah menonton tarian Habasyah berdua, angkat istri dalam pelukan, pipi menempel pipi.
Romantis adalah ketika Ali yang dimarahi Fatimah, terkunci tak bisa masuk kerumah saat pulang. Lalu tidur diserambi masjid berlumur debu.
Romantis adalah saat suami bangunkan istri, istri bangunkan suami. Saling cipratkan air wudhu lalu mencium dengan senyum. Yuk, shalat tahajud.
Romantis adalah ketika semua bertakbir mendengar surah An Nashr, namun Abu Bakar menangis takut kehilangan sang Nabi usai tugasnya.
Romantis adalah ketika Ibrahim alaihissalam bergembira atas kelahiran anaknya yang dinantikan puluhan tahun. Lalu Tuhan berseru, “Tinggalkan ia dan ibunya dipadang sahara.”
Romantis adalah ketika saat Ibrahim tak mampu jawab istrinya, mengapa mereka ditinggalkan. Lalu sang istri berkata, “Jika ini adalah perintah Allah, maka sungguh Ia takkan menyia-nyiakam kami.”
Romantis adalah saat harta, tahta, dan isi kerajaan Persia dihamparkan dihadapannya, Umar bin Khattab menangis, “Jika ini baik, mengapa tak terjadi dimasa Nabi dan Abu Bakr?”
Romantis adalah ketika Ustman bin Affan dikabarkan masuk surga, disertai bencana dan tumpah darahnya. Lalu dia berkata, “Alhamdulillah, tsumma tawakaltu.”
Romantis adalah saat satu persatu harta Nabi Ayyub ‘alayhissalam binasa, anak-anaknya mati, dan dirinya dilanda sakit yang merontokkan badan. Doa Ayyub, “Sisakan hatiku untuk mengingatMu.”
Romantis adalah saat Musa ‘alayhissalam memberi minum kambing-kambing dua gadis penggembala, lalu salah satunya menyebutmu pada ayahnya sebagai orang yang kuat dan terpercaya.
Romantis adalah saat Nabi Zakaria ‘alayhissalam menunggu karunia keturunan hingga uban, keriput dan uzur serta istrinya mandul. Akan tetapi dia hamil dengan kehendak-Nya.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Danu Wijaya danuw | Oct 30, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Tentang pengambilan tanah Fadak itu benar. Abu Bakr mengalih-milikkan tanah itu kepada negara. Tetapi itu bukanlah tanah Fatimah. Itu adalah bagian milik Rasulullah saw. Saat beliau wafat, Fatimah menuntutnya sebagai hak waris, tapi Abu Bakr menolaknya.
Alasannya tanah itu bagian Nabi saw sebagai ‘Rasul’ sebagaimana ditetapkan Al Qur’an, bukan bagian beliau sebagai pribadi. Maka hak tanah tersebut melekat pada fungsi kepemimpinannya, yakni negara.
Apalagi ada hadis yang dipersaksikan para sahabat. “Kami para Nabi, tidaklah mewariskan (harta),” yang menguatkan keputusan Abu Bakr itu. Fatimah memang agak marah atas keputusan ini.
Ali ra demi menjaga perasaan Fatimah, menahan diri dari membaiat Khalifah Abu Bakr sampai Fatimah meninggal 5 bulan kemudian. Riwayat tentang ‘kemarahan Fatimah’ ini kata Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah, terasa aneh. Tetapi jika demikian adanya lanjut beliau, kita terima sebagai sisi manusiawi yang semua insan harus dimengerti keadaannya.
Catatan lain, pendapat bahwa Ali tak membaiat Abu Bakr karena tak mengakui keutamaan Ash Shiddiq terbantah dengan riwayat hasutan Abu Suyfan ke beliau karamallahu wajhah.
Suatu hari, Abu Sufyan bin Harb mendatangi Ali dan berkata, “Mengapa urusan ummat ini diserahkan pada lelaku dari kabilah terlemah (sebab Abu Bakr dari Bani Taim). Wahai Ali, sesungguhnya kami Bani Ummayah dibelakang kalian (Bani Hasyim). Perintahkanlah!”
Ali tersenyum dan menjawab, “Hai Abu Sufyan, apakah kau masih ingin menjadi musuh Islam setelah menjadi muslim? Sesungguhnya kaum muslimin telah sepakat untuk memilih sahabat Rasulullah yang paling dekat, satu diantara dua yang berada dalam gua, yang begitu berkah jiwa dan hartanya bagi Islam. Kami ridha padanya walau dalam ikatan keluarga, kami lebih dekat dengan Rasulullah.”
Betapa dekatnya Abu Bakr dan Ali terlihat ketika suatu hari dimasa khifalahnya, Abu Bakar menggendong Hasan dan Husain anak Ali bin Abi Thalib. Abu Bakr berkata, “Kalian betul-betul mirip sang Nabi. Dan sama sekali tidak mirip Ali!” Lalu beliau tertawa diiringi Ali yang juga tertawa terpingkal.
“Pernah terjadi,” ujar Ali, “Allah mencela seluruh penduduk bumi kecuali Abu Bakr Ash Shiddiq, dalam firman-Nya di Surah At Taubah ayat 40.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | May 10, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Sosok Fatimah binti Asad Dimata Para Sahabat Nabi SAW
Setelah Ali bin Abu Thalib menikah dengan Fatimah putri Rasulullah saw, Fatimah binti Asad menjalankan tugas sebagai ibu kandung dan ibu mertua dengan baik. Ia sangat menyayangi menantunya. Bahkan, ia membantu Fatimah binti Muhammad dalam menyelesaikan ekerjaan rumah tangga.
Pada suatu kali, Ali bin Abu Thalib ra. menuturkan, “Aku pernah berkata kepada ibuku (Fatimah binti Asad), ‘Biarkan Fatimah yang mengambil air dan berbelanja, ibu yang membuat tepung dan bubur’.”
Saatnya Berpisah
Fatimah binti Asad menjalani hidupnya dengan iman dan tauhid. Ia adalah seorang wanita yang taat lagi rajin beribadah. Hingga akhirnya Allah memanggilnya kembali pada-Nya. Fatimah binti Asad ra. meninggal dunia. Ia dimakamkan di Madinah dan Rasulullah sendiri yang masuk ke dalam liang lahatnya dan menguburkannya. Sungguh ini merupakan satu kemuliaan tersendiri.
Rasulullah begitu kehilangan atas kepergian Fatimah binti Asad yang beliau sebut sebagai Ibu keduanya itu.
Tapi begitu indahnya kepribadian dan akhlak Rasulullah saw, ia ingin menunjukkan sikap balas budi terhadap Fatimah binti Asad yang telah merawatnya sejak kecil.
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 2)]
Ibnu Abbas ra. menuturkan, “Ketika Fatimah ibunya Ali bin Abu Thalib wafat, Nabi melepas gamisnya dan memakaikan kepadanya. Beliau rebahan di dalam kuburannya. Ketika beliau menimbunnya dengan tanah, sebagian sahabatnya bertanya, “Ya Rasul, belum pernah engkau melakukan ini sebelumnya”. Beliau menjawab “Gamisku kupakaikan kepadanya supaya dia memakai pakaian surga. Aku rebahan di dalam kubur di sisinya, agar dia diringankan dari tekanan kubur. Selain Abu Thalib, tiada yang lebih baik perlakuannya terhadapku daripada dia.” (HR.Thabrani) .
Begitulah kisah mulia dari seorang wanita mulia, berakhlak surga dengan segala keindahan imannya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.
Referensi:
35 Sirah Shahabiyah jilid 2, Mahmud Al Mishry.
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | Apr 27, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Sekarang saatnya kita mengenal shahabiyah yang teramat mulia dan banyak memiliki keistimewaan yang Allah berikan padanya. Apa saja keistimewaan itu?
Dialah wanita yang mendidik Rasulullah saw setelah Abdul Muthalib (kakek Rasul) meninggal dunia. Dialah ibu dari pejuang gagah berani, khalifah keempat, Ali bin Abu Thalib ra. Dialah nenek dari dua pemuda pemimpin para pemuda surga, Hasan ra. dan Husain ra. Dialah ibu dari pahlawan gagah berani yang gugur sebagai syahid lalu Rasulullah saw meihatnya terbang dengan dua sayap di surga, satu dari tiga panglima perang Mu’tah, yaitu Ja’far bin Abu Thalib ra. Dia juga mertua dari wanita terbaik di zamannya, Fatimah binti Rasulullah saw.
Siapakah Wanita yang Mulia Ini?
Dialah shahabiyah agung yang bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Hasimiyah. Ia termasuk ke dalam salah satu rombongan pertama yang hijrah untuk memeluk Islam. Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang penuh kasih sayang terhadap anak yatim piatu. Dan inilah awal mula bagaimana seorang wanita mulia Fatimah binti Asad ra. memulai perjalanan berkah dalam kehidupannya.
Selepas kedua orang tua Nabi saw meninggal dunia, Nabi saw dirawat oleh kakeknya yaitu Abdul Muthalib, namun kebersamaan Nabi saw dengan kakeknya hanyalah sebentar, setelah Abdul Muthalib merasa yakin bahwasanya Nabi saw akan bisa dijaga dan dirawat dengan baik oleh anaknya, yaitu Abu Thalib. Akhirnya Abdul Muthalib meninggal dunia, dan semenjak itu Nabi saw tinggal bersama pamannya, Abu Thalib dan istrinya Fatimah binti Asad ra.
Di rumah itu Rasulullah mendapatkan kasih sayang dari wanita yang mulia ini, bahkan Rasulullah menganggap Fatimah binti Asad adalah ibu keduanya. Fatimah binti Asad menyayangi dan merawat Rasulullah melebihi anak kandungnya sendiri.
Berkah Mulai Dirasakan oleh Keluarga Abu Thalib
Abu Thalib dan keluarganya hidup serba kekurangan. Namun, setelah Nabi tinggal bersama mereka, kondisi kehidupan mereka berubah menjadi lebih baik.
(Baca juga: Mulianya Aisyah binti Abu Bakar di Dalam Islam)
Terutama pada saat makan, Nabi ikut makan bersama keluarga Abu Thalib. Makanan yang terlihat hanya sedikit, namun mampu membuat seluruh keluarga merasa kenyang.
Jika mereka makan tanpa adanya Nabi, mereka tidak merasakan kenyang. Berbeda ketika Nabi ikut makan bersama. Oleh sebab itu, Abu Thalib melarang seluruh anggota keluarganya makan sebelum Nabi memulainya.
Jika mereka sedang minum susu, maka Nabi dipersilahkan meminum susu itu terlebih dahulu. Meskipun susu itu hanya satu gelas, cukup untuk mengenyangkan seluruh anggota keluarga.
Itulah berkah yang Allah berikan kepada keluarga Abu Thalib saat Nabi tinggal bersama mereka.
Kasih Sayang Semakin Bertambah
Fatimah binti Asad ra. merasakan betapa besar berkah yang ia rasakan bersama keluarganya karena kehadiran Nabi saw dirumahnya. Ini pun membuat dirinya semakin menyayangi keponakannya itu. Ia merawat Nabi saw. Sejak Nabi kanak-kanak hingga menjadi pemuda, dengan penuh kasih sayang dan kemuliaan. Hingga Nabi menikah dengan Khadijah.
Permata Hatinya di Rumah Rasulullah SAW
Lihatlah bagaimana Fatimah binti Asad mendorong anaknya (Ali bin Abu Thalib) untuk tinggal bersama Rasulullah saw. Ia melihat bahwa sebelum ini Rasulullah sangat perhatian dan menyayangi Ali.
Sejarawan Ibnu Ishaq menulis, “Diantara nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah kepada Ali ra. adalah tercukupinya kebutuhannya, padahal Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Ketika itu,orang-orang Quraisy ditimpa paceklik. Muhammad muda berkata kepada Abbas (satu dari pamannya) yang hidup berkecukupan, “Paman Abbas, paman Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Dan paman tahu, ini masa paceklik. Bagaimana kalau kita meringankan beban paman Abu Thalib. Aku menanggung satu anaknya, paman Abbas menanggung satu anaknya?” Abbas setuju.
(Baca juga: Ummu Kultsum binti Uqbah: Wanita yang Diselamatkan Al Quran (bagian 1)]
Lalu mereka datang ke rumah Abu Thalib dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Dan Abu Thalib pun menyetujuinya seraya berkata “Terima kasih atas kebaikan kalian”. *bersambung