0878 8077 4762 [email protected]

Prinsip Islam Moderat : Syariah, Fiqih, dan Ijtihad

Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Kita berpandangan bahwa syariah Islam adalah wahyu Allah swt yang tercermin dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi yang shahih. Sementara, fiqih Islam adalah aktivitas akal seorang muslim yang berijtihad dalam rangka memahami Al Qur’an dan as Sunnah, serta mengambil kesimpulan hukum amaliyah darinya. Dengan demikian, syariah adalah wahyu Tuhan, sementara fiqih adalah hasil aktivitas manusia.
Hanya saja fiqih tersebut dalam ijtihad, pemikiran, dan pelaksanaan istinbath hukumnya harus mengacu kepada pertimbangan syariah, rasio, dan bahasa yang harus dijadikan pegangan oleh muslim.
Kaum muslimin telah berhasil menemukan sebuah ilmu yang dianggap sebagai salah satu kebanggaan warisan ilmiah Islam. Yaitu ilmu ushul fiqih yang menjadi acuan dalam memberikan sebuah dalil terkait dengan sesuatu yang ada nash-nya ataupun yang tidak ada nash-nya. Bahkan sebelum ilmu ushul fiqih ditulis dengan cara metodologis, para fukaha sudah mengacu kepada kaidah-kaidahnya meski istilah dan namanya belum ada. Cara tersebut dilakukan baik oleh kalangan yang lebih cenderung kepada atsar (naqli) maupun oleh kalangan yang lebih cenderung memergunakan akal.
Yang diinginkan oleh sejumlah pihak dari sikap meninggalkan fiqih Islam atau mencampakkannya dari khazanah peradaban kita sebenarnya adalah agar kita atau mencampakkan seluruh syariat Islam dari kehidupan. Sebab, ia berada dalam rahim fiqih itu sendiri.
Hanya saja kita dituntut untuk memilah antara yang sudah baku/permanen dan yang bisa berubah, yaitu hukum-hukum yang sesuai waktu dan tempatnya, tetapi tidak sesuai lagi pada saat ini, karena perubahan kondisi seperti ungkapan, “Perubahan hukum bisa terjadi akibat perubahan zaman.” Hal inilah yang disebutkan oleh majalah al Ahkam dalam salah satu materinya.
Kami dalam Persatuan Ulama Islam Sedunia berpegang pada fiqih yang beraliran moderat, yang memahami nash demi nash sesuai dengan tujuan umum tanpa mempertentangkan antara keduanya. Selain itu, kami memahami nash sesuai konteks, berbagai faktor, dan sebab yang mempengaruhinya. Lalu memilah antara tujuan yang bersifat tetap dan sarana yang bisa berubah, memilah antara urusan ibadah dan urusan muamalah.
Sebab, prinsip utama ibadah adalah segalanya terlarang, kecuali jika ada syariat yang membolehkan. Sebaliknya prinsip utama muamalah adalah segalanya boleh, kecuali ada nash syariat yang melarangnya.
Sama sekali bukan syariat walau lewat takwil, apabila persoalan apapun yang keluar dari keadilan menuju ketidakadilan, dari rahmat menuju kebalikannya, serta dari kebijaksanaan menuju kepada kesia-siaan.
Kemudian kami berpandangan bahwa pintu ijtihad dalam agama selalu terbuka dan akan senantiasa terbuka. Pasalnya tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu yang telah dibuka oleh Allah dan RasulNya. Bahkan ia termasuk fardhu kifayah atas umat. Bahwa tidak boleh ada satu era yang kosong dari seseorang mujtahid yang bertugas menjelaskan hukum syariat terkait dengan berbagai hal yang baru ditemui oleh manusia.
Pada zaman sekarang ini kita lebih membutuhkan ijtihad faktual, karena zaman yang telah sangat berubah daripada zaman generasi sebelum kita di era ijtihad fiqih.
Para pengikut Abu Hanifah berkata, “Ini adalah perbedaan masa dan waktu, bukan perbedaan hujah dan dalil”.
Padahal jarak antara zaman mereka dan zaman imam mereka demikian dekat, dan kehidupan saat itu relatif tenang, apalagi beberapa abad setelah era ijtihad. Ditambah lagi segala sesuatu dalam kehidupan kita telah berubah dari sebelumnya.
Karena itu, kita harus membuka pintu ijtihad yang bersifat global dan parsial, mutlak maupun terikat, yang muncul dalam berbagai persoalan baru maupun hasil seleksi dari fiqih warisan.
Sejatinya, pintu ijtihad hanya terbuka bagi orang yang ahli dan pada tempatnya. Yang dimaksud ahli adalah setiap orang yang memiliki syarat-syarat kelayakan fundamental seperti yang disepakati oleh para ahli ushul dan fuqaha, diantaranya

  1. Memahami Al Qur’an dan as Sunnah secara mendalam, sehingga mampu mengambil kesimpulan hukum darinya
  2. Menguasai bahasa Arab berikut seluruh ilmunya
  3. Mengetahui ushul fiqih dan tujuan-tujuan syariat
  4. Memahami fiqih dan perbedaan pandangan diantara para ulama, sehingga mampu merumuskan fiqih yang terbentuk pada dirinya lewat istinbath hukum-hukum amaliyah dari dalilnya satu persatu.

Selain itu, ijtihad tersebut juga harus pada tempatnya. Yaitu wilayah hukum yang bersifat zhanni (tidak pasti). Yang dimaksud dengannya adalah persoalan yang dalilnya masih bersifat zhanni baik dari segi keberadaanya, petunjuknya, maupun keduanya. Sebagian besar syariat berasal dari pintu ini.
Sementara untuk segala persoalan yang bersifat qath’i (sudah baku dan pasti) tidak ada ruang bagi ijtihad didalamnya. Jumlahnya juga sedikit. Hanya saja, ia sangat penting. Ia menggambarkan sejumlah hal yang bersifat baku yang bisa menjaga persatuan umat dari segi akidah, pemikiran, emosi, dan perilaku sehingga tidak terurai dan terpecah dari yang tadinya satu unat menjadi banyak. Semua persoalan yang bersifat zhanni dikembalikan kepada yang bersifat qath’i dan dipahami sesuai dengan kerangkanya.
Kami mengajak untuk membuka pintu ijtihad perbandingan antar seluruh mazhab agar bisa sampai kepada fiqih Islam yang integral. Kami juga mengajak untuk mendirikan sejumlah lembaga ilmiah yang menghimpun para wakil dari berbagai mazhab Islam untuk mengkaji dan berijtihad dalam berbagai persoalan yang terkait dengan umat
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Urgensi dan Kedudukan Ilmu Ushul Fiqih

Oleh: Sugeng Aminudin M.P.I
 
Saat ini, kurikulum ushul fiqih yang dikembangkan di perguruan tinggi Islam masih berkutat dengan isu-isu pemikiran beberapa abad silam, sangat sedikit berbicara tentang isu-isu kontemporer. Literatur ushul fiqih kita lebih didominasi contoh kasus-kasus ibadah, jinayah, munakahat. Akibatnya, mata kuliah ushul fiqh yang diajarkan tidak bisa menjawab dan merespon isu-isu pemikiran dan problem serta sejumlah kasus-kasus kontemporer yang terus bermunculan.
Kesenjangan ini pada gilirannya tidak mampu mengantar seorang akademisi kepada pemahaman metodologi istinbath yang benar terhadap problem kontemporer khususnya isu-isu pemikiran yang terus berkembang dan semakin kompleks. Akibatnya banyaknya kita temui produk produk pemikiran para akademisi kita yang aneh, asing dan jauh dari kaidah-kaidah istinbath (penggalian) hukum yang benar.
Kesenjangan antara materi ushul fiqih yang diajarkan dengan isu-isu pemikiran kontemporer tidak boleh dibiarkan berlangsung. Kemandulan pada ushul fiqh dalam merespon isu pemikiran kontemporer akan membuka peluang pemikiran bahwa ushul fiqh tidak fungsional, tidak aplikatif dan tidak mampu berbicara pada kasus kasus tersebut, dan lebih jauh lagi muncul anggapan bahwa ushul fiqh hanya fasih berbicara masalah ritual peribadahan saja tetapi mandul ketika harus merespon isu-isu pemikiran kontemporer.
Urgensi dan Kedudukan Ilmu Ushul Fiqih
Neraca untuk menilai sesuatu itu urgen atau tidak adalah dengan melihat sisi manfaatnya, semakin besar manfaatnya maka sesuatu itu akan semakin penting dan begitu juga sebaliknya. Ushul fiqih menjadi sangat urgen karena merupakan barometer, timbangan atau neraca dalam menimbang dan menilai akal manusia dalam relevansinya terhadap isthinbath hukum-hukum syariah dari dalil-dalil yang rinci, peran neraca ini adalah untuk mendapatkan  keadilan sekaligus alat untuk mengetahui seseuatu itu adil atau tidak[1].
Inilah kemudian mengapa semua ulama sepakat bahwa ushul fiqih menduduki posisi yang sangat penting kedudukannya dalam ilmu-ilmu syariah. Menurut Al-Alamah ibnu Khaldun dalam muqadimahnya mengatakan bahwa, ilmu ushul fiqih merupakan ilmu syariah yang paling agung dan paling banyak faidahnya[2].
Ushul fiqih memuat prinsip-prinsip metodologi ilmu Islam, bisa diibaratkan ushul fiqih adalah sebuah mesin produksi dan produknya adalah fiqih. Maka jika pemikiran dalam fiqih tidak berkembang, bahkan cacat, ini di akibatkan kurangnya penguasaan kita terhadap alat produksi tersebut, sehingga kita kesulitan dan bahkan gagal untuk membuat produk fiqih yang benar. Atau sebaliknya keterbatasan pengetahuan kita terhadap tuntutan inovasi produk, sehingga ushul fiqih menjadi mandul dan tidak up to date, fungsional dan sekaligus aplikatif.
Ushul fiqih sebagai alat istinthoqunnash (alat untuk membuat nash-nash berbicara terhadap setiap permasalahan) seharusnya fungsional, mampu berbicara dan menjawab setiap isu-isu pemikiran kontemporer bukan terbatas pada masalah hukum saja tapi pada semua kompetensi, disiplin ilmu dan semua aspek kehidupan manusia.
Referensi:
[1] I’lam muwaqiin 1/110, ibnu alqoyim ,darul hadits
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (t.t.: Dar al-Bayan, t.th.), h. 452