Ringkas Fiqih Jum'at

Bicara, mengingatkan kawan agar diam, memainkan kerikil (kalau sekarang mungkin BB, i-Phone dan lainnya) saat khutbah bisa merupakan “laghaa” atau perbuatan yang berakibat ibadah jum’at menjadi sia-sia.
Yang diperbolehkan : khatib mengajak bicara salah satu hadirin, seperti Nabi menanyai sahabat yang belum shalat sunnah dua rakaat saat datang telat dishaf jum’at tersebut. Tetapi tidak berlaku sebaliknya kita yang bukan khatib. Disarankan berpindah tempat duduk untuk mengurangi rasa kantuk.
Diantara tanda pemahaman mendalam seorang khatib adalah memperpendek khutbahnya, memanjangkan shalatnya. Khutbah itu tetap harus mengandung pujian kepada Allah, shalawat atas Nabi, ayat Al Qur’an, wasiat takwa, dan doa untuk muslimin.
Khutbah jum’at bukanlah taklim dan tabligh. Khutbah jum’at seharusnya difokuskan pada wasiat takwa, bukan kajian tematik.  Nabi mencontohkan khutbah seperti panglima perang mengomando pasukan, tidak lembek dan tidak lemah, dan tidak membuat ngantuk.
Atas wasiat takwa khatib dalam khutbah jum’at bisa disampaikan pada yang tidak hadir seperti suami ke istri, ayah ke anak, dan si sehat kepada si sakit.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Fiqih Wanita Shalat Tarawih dan I'tikaf

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Wanita Shalat Tarawih di Masjid
Seorang wanita diperbolehkan untuk datang ke masjid, baik untuk shalat tarawih, berdzikir maupun mendengarkan pengajian
Jika kehadirannya tersebut tidak menyebabkan terjadinya fitnah baginya atau bagi orang lain. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
” لا تمنعوا إماء الله مساجد الله” رواه البخاري
Janganlah kalian melarang wanita-wanita untuk mendatangi masjid- masjid Allah” (HR. Bukhari).
Namun demikian, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang diantaranya:

  1. Harus berhijab
  2. Tidak berhias
  3. Tidak memakai parfum
  4. Tidak mengeraskan suara, dan
  5. Tidak menampakkan perhiasan.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
“إذا شهدت إحداكن المسجد فلا تمس طيبا” رواه مسلم والنسائي وأحمد عن زينب
Jika salah seorang diantara kalian (para wanita) ingin mendatangi masjid, maka janganlah menyentuh wangi-wangian” (HR. Muslim).
 
“أيما امرأة تطيبت ثم خرجت إلى المسجد لم تقبل لها صلاة حتى تغتسل” رواه ابن ماجة عن أبي هريرة
Wanita manapun yang memakai wangi-wangian, kemudian pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sampai ia mandi“.  (HR. Ibnu Majah)
 
Wanita dan I’tikaf
Sebagaimana disunnahkan bagi pria, i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita. Sebagaimana istri Rasulullah Saw juga melakukan i’tikaf, tetapi selain syarat-syarat yang disebutkan diatas, maka i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Mendapatkan persetujuan (ridha) suami atau orang tua. Apabila suami telah mengizinkan istrinya untuk i’tikaf, maka ia tidak  dibolehkan  menarik kembali persetujuan itu.
  2. Agar tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita memenuhi tujuan umum syariat. Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syari’at i’tikaf adalah berdiam di masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita untuk beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhal -wallahu a’lam-  ialah  i’tikaf di masjid (tempat shalat) di rumahnya. Manakala wanita mendapatkan  manfaat dari i’tikaf di masjid umum, tidak masalah bila ia melakukannya.

 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Fiqih Wanita Berkaitan dengan Ramadhan (bagian 2)

d. Wanita hamil dan menyusui
Wanita yang sedang hamil atau menyusui tetap harus berpuasa di bulan Ramadhan, sama dengan wanita – wanita yang lain, selagi ia mampu untuk melakukannya.
Jika ia tidak sanggup untuk berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka ia boleh berbuka sebagaimana wanita yang sedang sakit, dan wajib mengqadhanya jika kondisi tersebut sudah stabil kembali. Allah berfirman :
( فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر )
Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Apabila ia mampu untuk berpuasa, tapi khawatir berbahaya bagi kandungan atau anak yang disusuinya, maka ia boleh berbuka dengan berkewajiban untuk mengqadha di hari lain dan membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas saat mengomentari penjelasan yang termuat dalam surat Al Baqarah: 184, yang artinya “Dan wajib bagi orang yang menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah
Beliau berkata : “Ayat ini adalah rukhshah (keringanan) bagi orang yang lanjut usia, lelaki dan perempuan, wanita hamil dan menyusui, jika khawatir terhadap anak-anaknya maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan (fidyah)” (HR. Abu Daud).
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliallahu ‘Anhu, dan tidak ada seorangpun dari sahabat yang menentangnya (lihat Al Mughni: Ibnu Qudamah 4/394).
e. Waktu mengqadha puasa bagi seorang wanita
Wanita yang memiliki hutang puasa (harus mengqadha) karena sakit atau bepergian maka waktu mengqadhanya dimulai sejak satu hari setelah I’dul fitri dan tidak boleh diakhirkan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Barangsiapa mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya Ramadhan berikutnya tanpa udzur syar’i, maka disamping mengqadha ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin, sebagai hukuman atas kelalaiannya. (Lihat: Al mughni 4/400, fatwa Ibnu Baz dan fatwa Ibnu Utsaimin).
Para ulama telah sepakat bahwa qadha puasa Ramadhan itu tidak diharuskan untuk dilakukan secara terus menerus dan berurutan, karena tidak ada dalil yang menjelaskan akan hal itu. Kecuali waktu yang tersisa di bulan Sya’ban itu hanya cukup untuk qadha puasa, maka tidak ada cara lain kecuali terus-menerus dan berurutan. (Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu: 2/680).
f. Mengkonsumsi tablet anti haidh pada bulan Ramadhan
Hendaknya seorang wanita tidak mengkonsumsi tablet anti haidh, dan membiarkan darah kotor itu keluar sebagaimana mestinya, sesuai dengan ketentuan yang telah Allah gariskan.
Karena di balik keluarnya darah tersebut ada hikmah yang sesuai dengan tabiat kewanitaan.
Jika hal ini dihalang-halangi maka jelas akan berdampak negatif pada kesehatan wanita tersebut, dan bisa menimbulkan bahaya bagi rahimnya. Pada umumnya wanita yang melakukan hal ini kelihatan pucat, lemas dan tidak bertenaga. Sedangkan Rasulullah Saw bersabda:
” لا ضرر ولا ضرارا” رواه ابن ماجة في الأحكام
Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya, juga tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah) (lihat: fatawa Ulama Najd, dan 30 Darsan li Shoimat).
Namun apabila ada wanita yang melakukan hal seperti ini, maka hukumnya sebagai berikut:
Apabila darah haidhnya benar-benar telah berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqadha.
Tetapi apabila ia ragu, apakah darah tersebut benar-benar berhenti atau tidak, maka hukumnya seperti wanita haidh, ia tidak boleh melakukan puasa. (lihat: Masail ash Shiyam, hal 63 dan Jami’u Ahkamin Nisa’ 2/393).
g. Mencicipi makanan
Kehidupan seorang wanita tidak bisa dipisahkan dengan dapur, baik ia sebagai ibu rumah tangga, maupun sebagai juru masak di sebuah rumah makan, restoran atau hotel.
Karena kelezatan masakan yang ia olah adalah menjadi tanggung-jawabnya, maka ia akan selalu berusaha mengetahui rasa masakan yang diolahnya.
Hal itu mengharuskan ia untuk mencicipi masakannya. Jika itu dilakukan, bagaimana hukumnya? Batalkah puasanya?
Para ulama memfatwakan tidak dilarang wanita mencicipi masakannya, asal sekadarnya saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya. Hal ini diqiyaskan kepada berkumur-kumur ketika berwudhu (Jami’ Ahkamin Nisa’).
 
Sumber:
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Pilar-Pilar Kesempurnaan Puasa Umat Islam

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Shaum atau shiyam bermakna menahan (al-imsaak), dan menahan itulah aktivitas inti dari puasa. Menahan makan dan minum serta segala macam yang membatalkannya dari mulai terbit fajar sampai tenggelam matahari dengan diiringi niat. Jika aktivitas menahan ini dapat dilakukan dengan baik, maka seorang muslim memiliki kemampuan pengendalian, yaitu pengendalian diri dari segala hal yang diharamkan Allah.
Al-Quran menjelaskan bahwa ibadah puasa adalah ibadah alamiyah (universal) yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Bahkan tradisi puasa juga dilakukan oleh binatang-binatang. Hakikat ini mengantarkan pada kita bahwa puasa adalah suatu aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menuju tingkat kesempurnaannya.
Oleh karena itu orang-orang beriman harus mengetahui segala hal yang terkait dengan puasa, sehingga ibadah itu dapat menghasilkan sesuatu yang paling maksimal dalam kehidupan dirinya, keluarga dan  masyarakat. Baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam berpuasa, orang beriman tentunya harus mengikuti tuntunan Rasul Saw atau sesuai dengan adab-adab Islam sehingga puasanya benar. Dalam hal ini bahwa yang harus diperbanyak dalam bulan Ramadhan adalah ibadah, bukan makan atau memindahkan jadwal makan, apalagi daftar dan menu makan lebih banyak dari hari biasa. Pilar-pilar di bawah ini yang dapat mengantarkan kesempurnaan puasa umat Islam.
1. Memahami Fiqih Shiyam (Puasa)
Setiap ibadah dalam Islam pasti ada fiqihnya, begitu juga shiyam. Maka memahami fiqih dalam setiap ibadah adalah suatu keniscayaan yang tidak boleh ditinggalkan orang-orang beriman.
Dengan fiqih inilah, puasa yang dilakuakan oleh umat Islam benar-benar bernilai ibadah dan bukan tradisi yang dilakukan hanya sekedar ikut-ikutan tanpa mengetahui adab-adabnya dan segala sesuatu yang terkait dengan puasa.
Bukankah banyak umat Islam yang berpuasa cuma mengikuti arus orang banyak dan tradisi yang berjalan secara turun temurun?
Di beberapa daerah di Indonesia, setelah sahur, masyarakat turun ke jalan, sebagiannya tidak shalat Shubuh. Jalan-jalan ke sana kemari tidak ada sasaran yang jelas, kecuali menghabiskan waktu. Bahkan sebagian mereka — mungkin sebagian besar — berjalan-jalan dengan lawan jenisnya, bukan suami-istri. Tradisi yang lain jalan-jalan menunggu waktu berbuka, bahasa Sundanya  ngabuburit. Tradisi lain main-main di masjid saat shalat tarawih, atau menyimpan banyak sekali daftar makanan. Tradisi yang buruk dan membahayakan adalah main petasan dan masih banyak lagi.
Puasa bukanlah sekedar tidak makan dan tidak minum, tapi ada rambu-tambu kehidupan yang harus ditaati, sehingga puasa itu menjadi sarana tarbiyyah (pendidikan) menuju kehidupan yang bertaqwa kepada Allah Swt. Puasa seperti inilah yang bisa menghapus dosa seorang muslim, Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيماناً واحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ ما تَقَدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ،
Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan sepenuh iman dan kesungguhan, maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan.” (HR. Bukhari dan Muslim ).
2. Mengetahui awal dan akhir Ramadhan dengan benar.
Salah satu yang prinsip dan harus diketahui oleh setiap muslim adalah pengetahun tentang awal dan akhir Ramadhan, sehingga ibadah yang dilakukannya sesuai sunnah Rasul saw . dalam beberapa hadits Rasulullah saw . telah menetapkan awal dan akhir Ramadhan, beliau bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيتِهِ وأَفْطِرُوا لِرُؤْيتِهِ فإِن غُمّ عَلَيْكُم فَأكْمِلُوا العِدة
Artinya: ”Puasalah kamu jika melihat bulan, dan berbukalah kamu jika melihat bulan. Jika terhalang (mendung) maka sempurnakan bilangannya” (Muttafaqun ‘alaihi).
Pembahasan penentuan awal dan akhir Ramadhan telah dilakukan secara rinci sebelumnya
3. Tidak berbuka tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam.
Seorang muslim yang di bulan Ramadhan tidak berpuasa atau berbuka tanpa alasan syari, maka dia telah melakukan dosa besar. Karena puasa Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam. Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ رُخْصَةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عنهُ صَوْمُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ”
Barangsiapa tidak puasa pada bulan Ramadhan sekalipun sehari tanpa alasan rukhshah atau sakit, hal itu (merupakan dosa besar) yang tidak bisa ditebus, bahkan seandainya ia berpuasa selama satu tahun (HR.At-Turmudzi).
4. Menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan nilai shiyam
Puasa merupakan pengendalian diri dari segala sesuatu yang haram, syubhat, dan perkataan serta perbuatan yang tidak terpuji. Sehingga orang-orang beriman harus berusaha semaksimal mungkin menjaga puasanya dan tidak dirusak dengan perkataan dan perbuatan yang tidak terkait dengan nilai ibadah, khususnya ibadah puasa. Rasulullah bersabda bahwa:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لله حَاجَةٌ في أنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang selama berpuasa tidak juga meninggalkan kata-kata bohong bahkan mempraktekkannya, maka tidak ada nilainya bagi Allah, apa yang ia sangkakan sebagai puasa, yaitu sekedar meninggalkan makan dan minum” (HR.Bukhari dan Muslim).
5. Bersungguh-sungguh puasa karena Allah SWT dengan keyakinan penuh akan kebaikan-kebaikannya
Rasulullah Saw. bersabda:
من صام يوما في سبيل الله بعد الله وجهه عن النار سبعين خريفا
Barangsiapa berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka selama 70 tahun” (Muttafaqun ‘alaihi).
6. Bersahur
Makan pada waktu sahur adalah berkah. Bagi orang yang hendak berpuasa, disunnahkan untuk makan sahur pada saat sebelum tiba waktu subuh (fajar), sahur merupakan makanan yang berkah (Al-ghada’ al-mubarak). Dalam hal ini Rasulullah bersabda bahwa :
“تسحروا فإن في السحور بركة
Makan sahurlah, karena pada makan sahur ada keberkahan” (HR Muslim)
السحور أكلة بركة فلا تَدَعوه ولو أن أحدكم تجرَّع جرعة ماء، فإن اللّه وملائكته يصلون على المتسحرين” (رواه الإمام أحمد عن أبي سعيد الخدري)
Makanan sahur semuanya bernilai berkah, maka jangan kalian tinggalkan, sekalipun hanya dengan seteguk air. Allah dan para Malaikat mengucapkan salam kepada orang-orang yang makan sahur (HR. Ahmad).
7. Ifthar (berbuka puasa)
Ketika waktu Maghrib telah tiba, yakni saat matahari telah terbenam, maka saat itulah waktu berbuka. Sangat ditekankan kepada orang yang berpuasa untuk segera berbuka puasa.
Rasulullah pernah menyampaikan bahwa salah satu indikasi kebaikan umat, manakala mereka mengikuti sunnah dengan mendahulukan ifthar dan mengakhirkan sahur.
Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya termasuk hamba Allah yang paling dicintai oleh-Nya ialah mereka yang bersegera berbuka puasa.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bahkan beliau mendahulukan ifthar, walaupun hanya dengan ruthab (kurma mengkal), atau tamar (kurma), atau air saja (HR. Abu Daud dan Ahmad).
8. Berdoa
Sesudah menyelesaikan ibadah puasa dengan berifthar, Rasulullah Saw sebagaimana yang beliau lakukan sesudah menyelesaikan suatu ibadah, dan sebagai wujud syukur kepada Allah, beliau membaca doa sebagai berikut:
عن أنس قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : بسم الله اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطر ت. وزاد ابن عباس وقال: فتقبل مني إنك انت السميع العليم.
وعن ابن عمر قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا افطر قال : ذهب الظمأ وابتلـت العروق وثبت الاجر إن شاء الله
Ya Allah, karena Engkau kami berpuasa, dan atas rezeki-Mu kami berbuka”, dan ditambahkan oleh Ibnu Abbas: “Maka terimalah doaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Dan dari Ibnu Umar menceritakan ketika Rasulullah Saw berbuka, beliau mengucapkan: Telah hilang rasa haus dan basahlah tenggorokan serta ditetapkanlah ganjaran, atas kehendak Allah.”
Rasulullah bahkan mensyariatkan agar orang-orang yang berpuasa banyak memanjatkan doa, sebab doa mereka akan dikabulkan oleh Allah.
Dalam hal ini beliau pernah bersabda bahwa, “Ada tiga kelompok manusia yang doanya tidak ditolak oleh Allah. Yang pertama ialah doa orang-orang yang berpuasa, sehingga mereka berbuka.” (HR.Ahmad dan Turmudzi).
(Baca juga: Orang Yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa dan Wajib Membayar Fidyah)
Sumber:
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Fiqih Wanita Berkaitan dengan Ramadhan (bagian 1)

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Wanita muslimah yang sudah baligh dan berakal, pernah mengalami haid dan hamil maka ia wajib berpuasa di bulan Ramadhan, sebagaimana perintah puasa dalam Al Qur’an. Namun bila syarat tidak terpenuhi seperti wanita bukan muslim, belum baligh, tidak berakal, dan dalam keadaan haidh atau nifas maka tidak diwajibkan berpuasa.
1. Wanita haidh atau nifas
Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan melakukan puasa, jika ia melakukannya maka berdosa. Apabila seorang wanita sedang berpuasa keluar darah haidhnya baik di pagi, siang, sore ataupun sudah menjelang terbenamnya matahari, maka ia wajib membatalkannya. Dan wajib meng-qadha (mengganti) setelah ia bersuci. Sedangkan jika wanita tersebut suci sebelum fajar walaupun sekejap, maka ia wajib berpuasa pada hari itu walau mandinya baru dilakukan setelah fajar.
(Simak juga: Video Empat Langkah Menuju Ramadhan)
2. Wanita tua yang tidak mampu berpuasa
Seorang wanita yang lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa dan jika berpuasa akan membahayakan dirinya, maka justru ia tidak boleh berpuasa, melihat firman Allah
“….Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan…” (Q.S. Al Baqarah ayat 195)
Disebabkan orang yang lanjut usia itu tidak bisa diharapkan untuk bisa mengqadha, maka baginya wajib membayar fidyah saja (tidak wajib meng-qadha) dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin berdasarkan firman Allah swt.
(Baca juga: Visi Ramadhan Umat Muslim)
Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin” (Q.S. Al Baqarah : 184)
Kemudian dalam riwayat Bukhari
Dari Atha ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat yang artinya “Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya untuk membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin” Ibnu Abbas berkata : “Ayat ini tidak dinasakh, ia untuk orang yang lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak sanggup berpuasa hendaknya memberi makan setiao hari satu orang miskin”. *bersambung
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

X