0878 8077 4762 [email protected]

Malaikat Penggali Sumur Zam-Zam

Air Zam-zam pasti sudah tidak asing di kalangan umat Islam. Air ini merupakan jenis air terbaik di seluruh dunia. Ia memiliki banyak manfaat bagi kesehatan tubuh manusia.
Tapi tahukan Anda? Darimana asalnya air Zam-zam ini? Kita pasti mengetahui asal muasal munculnya air ini dari kisah nabi Ismail AS yang saat itu menggerak-gerakan kaki ke tanah sambil menangis karena kehausan. Sedangkan ibunya siti Hajar berlari-lari ke bukit Safa dan Marwah yang berusaha mencarikan air untuk putranya Islamil.
Setelah berlari hingga tujuh kali mengintari bukit Safa dan Marwah, akhirnya memancar air yang kemudian disebut Zam-zam tersebut. Namun apakah air ini memancar begitu saja, atau ada yang menggalinya?
Ternyata air zam-zam tidak memancar begitu saja, namun terlebih dahulu digali. Bahkan Siti Hajar melihat sendiri siapa yang menggali mata air yang mampu menenggelamkan bumi tersebut. Lantas siapa sebenarnya yang menggali sumur zam-zam? Berikut ulasannya.
Kisah yang beredar selama ini umumnya masyarakat mengatakan jika air Zam-zam memancar dari kaki mungil Ismail yang menggesek-gesekannya ke tanah. Kemudian muncul lah mata air sama-sama tersebut.
Namun berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW, sumur zam-zam digali oleh seorang Malaikat Allah. Malaikat tersebut menggali Zam-zam dengan tumit (sayapnya) hingga terpancarlah air zam-zam dari tempat itu.
“Ini adalah kejadian yang mendasari tradisi jemaah haji berjalan antara Safa dan Marwah. Ketika Siti Hajar (r.a.) mencapai bukit Marwa (untuk terakhir kali), ia mendengar sebuah suara, kemudian ia diam dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia mendengar suara itu terus-menerus dan berkata,
“Wahai (siapapun engkau)! Engkau telah membuatku mendengarkan suaramu; apakah kamu memiliki sesuatu yang dapat membantuku?”
Dan ajaib! Ia melihat satu malaikat di lokasi Zam-Zam, sedang menggali tanah dengan tumitnya (atau sayapnya), hingga airnya memancar dari tempat itu.
Ia lalu membentuk tangannya seperti mangkuk, dan mulai mengisi tempat air minumnya yang terbuat dari kulit dengan air menggunakan tangannya, dan air itu lalu mengalir keluar setelah dia menciduk sebagian di antaranya.” (Hadist Sahih Bukhari: Volume 044, Kitab 055, Hadits 583)
Air yang keluar ini sangat banyak, sehingga Siti Hajar mencoba membendungnya. Ia kemudian berkata “”Zam, Zam, Zam” yang berarti ‘Stop, stop, stop’.
“Jika ia (Siti Hajar) telah meninggalkan air itu, (mengalir secara alami tanpa campur tangannya), maka air itu akan mengalir di atas permukaan bumi.” (Sahih Bukhari: Volume 044, Buku 055, Hadits 583)
Sementara itu Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah mengatakan: “Air zam zam adalah yang terbaik dan paling mulia dari semua air, yang tertinggi kedudukannya, yang paling berharga, paling mulia dan paling bernilai bagi manusia. Sumur Zam Zam digali oleh malaikat Jibril dan airnya yang Allah gunakan untuk memadamkan rasa haus Ismail a.s.”
Air Zam-zam merupakan bukti kekuasaan Allah dan begitu istimewa. Bagaimana tidak, sumur ini keberadaannya sudah ada sejak kehidupan Nabi Adam AS. Namun hingga saat ini, sumur ini tidak pernah berhenti mengalir.
Zam-zam memang menjadi air yang istimewa di muka bumi. Sejak awal tercipta, sumur ini tidak pernah kering dan terus mengalir meski dikonsumsi jutaan manusia.
 
Sumber : inspiradata

Belajar dari Keluarga Ibrahim 'Alaihissalam

Sungguh bila ada pertanyaan; ”Pelajaran apakah yang bisa kita ambil dari contoh keluarga Ibrahim AS bagi kehidupan berkeluarga kita saat ini?”
Subhanallah, tentu kita akan menemukan begitu  banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Pertama, sosok Nabi Ibrahim sebagai seorang Suami dan Ayah
Sebagai sosok yang mampu mendidik keluarganya yaitu anak dan isterinya, sehingga menjadi orang-orang yang ridha dan taat pada perintah Allah semata.
Hal ini nampak pada Nabi Ibrahim dengan putranya, Isma’il. Kepatuhan Isma’il meskipun masih muda, ia ikhlas dan sabar menerima apa yang telah Allah perintahkan kepada bapaknya.
Selain itu Nabi Ibrahim mengedepankan diskusi dan dialog dengan keluarganya.
“..Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’
Dia (Isma’il) menjawab. ’Wahai Ayahku! lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang  yang sabar.’” (QS. Ash-Shaffat : 102)
Semua ini tentu  tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan yang senantiasa diliputi kasih sayang, kesabaran dan ketaatan hanya kepada Allah semata.
Demikian pula Nabi Ibrahim telah berhasil mendidik isterinya, Hajar sebagai seorang wanita yang yakin pada janji Allah.  Wanita yang patuh dan taat kepada suami semata-mata karena kecintaanya kepada Allah, bukan yang lain.
Maka tatkala telah pasti bahwa perintah untuk meninggalkan dia dan anaknya di gurun pasir yang gersang adalah perintah Allah, dia ridho dan yakin.
“Apakah Allah yang memerintahkan hal ini kepadamu?” Ibrahim menjawab, “Ya” Hajar berkata, “Kalau begitu Allah tidak akan menyia-nyiakan kami” (HR Bukhari)
Kedua, sosok Isteri Sholihah yang ada pada diri Hajar
Hajar, dialah wanita yang diberikan kepada Ibrahim dari pembesar Mesir. Ibrahim pun menikahinya. Hajar adalah seorang istri yang taat dan patuh pada suaminya.
Ketaatan tersebut semata dalam rangka ketaatannya pada perintah Allah. Inilah yang akan meringankan dan melapangkan isteri ketika melaksanakan perintah suami, seberat apapun perintah suaminya tersebut.
Isteri shalihah yakin bahwa dalam memenuhi perintah Allah pasti ada jaminan kemaslahatan dan pahala dari-Nya. Di mana Allah pasti tidak akan menyia-nyiakannya.
Sebagai contoh, ketika mencari air untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang masih kecil (Isma’il). Hajar berlari-lari kecil antara bukit Safa dan bukit Marwah. Dengan izin-Nya, akhirnya keluarlah mata air yang tidak pernah diduga sebelumnya, yaitu air zamzam yang tidak pernah lekang sepanjang zaman
Ketiga, keluarga Ibrahim adalah keluarga yang Komitmen terhadap perintah Allah
Memiliki visi dan misi hidup yang jelas, semata untuk ibadah kepada Allah dengan segala perintah dan aturan yang telah Allah turunkan.
Hal ini nampak jelas dalam perbincangan antara Nabi Ibrahim dengan isterinya maupun dengan puteranya (Ismail), bahwa semuanya senantiasa memastikan “Apakah ini perintah Allah?”. Inilah kekuatan keimanan yang lahir dari aqidahnya (QS.Ash-Shaffat [37]:111).
Sungguh, bangunan keluarga muslim yang kokoh akan terwujud jika ditopang oleh :

  1. Sosok ayah atau suami yang mampu menjadi pemimpin (qowwam) bagi anak dan isterinya;
  2. Hadirnya isteri shalihah yang akan menjadi pendamping dan pendukung perjuangan suami serta pendidik putera-puteri tercinta;
  3. Anak-anak yang shalih yang menyenangkan hati kedua orang tuanya, semata-mata karena ketaatannya pada perintah Rabbnya.

Mencontoh keluarga Ibrahim dalam kehidupan berkeluarga secara menyeluruh adalah sarat dengan pembinaan keimanan dan ketaatan kepada Allah swt.
Mari kita berkurban. Tidak hanya berhenti pada penyembelihan kambing, sapi, atau unta. Namun pengorbanan harta, waktu, jiwa dan raga kita demi tegaknya agama Allah di muka bumi ini. Berjuang dengan segenap daya dan kemampuan menyongsong kemenangan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya.
 
Oleh : Ayati Fa
Penulis adalah presenter dan editor program radio Cermin Wanita Sholihah Muslimah

Teladan Wanita Di Sekitar Para Nabi

Wanita hebat itu Hajar, ditinggalkan bersama bayi di terik gurun mematikan: “Jika ini perintah-Nya, Dia takkan pernah menyiakan kami.” Kalimat itu sulit dan berat sebab dia bersama bayi merah dan sergapan rasa menggulung: takut, sedih, kecewa, dan cemburu. Dan kalimat iman tak serta merta membuat langit turunkan keajaiban. Wanita itu diuji, maka berpayah dia lari-lari tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah.
Proklamasi iman itu mengabadi, tanpanya kita tak bisa melakukan sa’i saat haji. Tak jumpa air zam-zam, tak bisa jumrah dan berucap “kama shallaita” di tahiyat. Hajar adalah wanita mulia, disisinya pun ada suami dan anak yang mulia. Tetapi bagaimana jika kau bersuamikan lelaki yang jahat lagi keji?
Mari mengaca pada Asiyah, wanita di sisi Fir’aun itu. Ujian iman dimulai dari sosok terdekat yang seharusnya jadi pelabuhan rasa. Dan wanita teguh itu menemukan manisnya pengaduan pada Rabb semesta alam : “Bangunkan untukku rumah disisi-Mu, di surga terjanji itu.”
Selanjutnya inilah wanita suci, ahli ibadah pelayan umat yang tak pernah disentuh lelaki manapun. Maka Allah memilihnya jadi keajaiban zaman. Dan bukankah tiap karunia hakikatnya ujian, pun begitu pada Maryam. Wanita suci itu menanggungkan aib, rasa malu dan beratnya beban darinya lahir seorang anak tanpa suami. Tetapi begitulah iman. Ia tak menjamin untuk selalu berlimpah dan tertawa. Ia hanya hadirkan lembut sapa-Nya ditiap dera yang menimpa. Wanita itu diabadikan dalam surah Al Qur’an, maryam. Najasyi, para uskup Habasyah dan semua pecinta mencucurkan airmata ketika dibacakan surah tersebut.
Lalu hadirlah Khadijah. Wanita yang segala kata membisu didepan keagungannya. Janda mulia itu memilih si lelaki terpuji untuk hidupnya. Dimulailah perannya sebagai wanita yang menegakkan punggung suami dihadapan zaman, menyediakan kelembutan dan kelapangan hati.
Turunnya wahyu pertama serasa memikulkan sepenuh bumi ke pundak nabi Muhammad saw. Wanita itu menyambut gemetar suami dengan selimut lembut tanpa tanya. “Khadijah, wanita itu beriman padaku saat semua ingkar. Dia serahkan hartanya ketika semua bakhil.” kenang Muhammad bertahun kemudian.
Dari wanita ini lahir Fatimah, penghulu surgawati berikutnya. Satu hari, setimbun isi perut unta ditumpahkan ke kepala Nabi yang sujud. Beliau tak bangkit hingga wanita belia itu datang mengusap dan menyeka penuh tangis haru. “Tenang Fatimah, Allah takkan siakan ayahmu.” Wanita itu menuntun ayahnya pulang, disekakannya air hangat, dibakarkannya perca untuk hentikan darah di luka. Lalu disilakannya rehat.
Penuh nyali wanita itu kembali ke Ka’bah, ditudingnya para pemuka Quraisy yang tertawa-tawa hingga mereka terkesiap. Lalu dia bicara. “Ayahku Al Amin, akhlaknya mulia dan tak sekalipun dia pernah rugikan kalian.” Wanita itu terus bicara dan mereka khusyuk mendengarkan. Fatimah; dia putri Nabi setara raja, tapi pelayan pun tak punya. Dia istri pahlawan, tapi tangannya melepuh menggiling gandum. Wanita ini ibu dari dua penghulu pemuda surga, tapi rumah cahaya itu roti berbukanya sering tandas tersedekah hingga lapar menyergap.
Mari takjubi Aisyah. Wanita cerdas ini ahli tafsir, sejarah, faraidh, meriwayatkan 4.000an hadist dan hafal ribuan bait syair. Ajaibnya wanita ini bergelar Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq (yang amat jujur putri pembenar kebenaran). Menguasai itu semua sebelum 18 tahun. Kehadiran wanita ini menjadikan hidup sang Nabi warna-warni, cantiknya, cerdas lincahnya, cemburu, juga iri dan fitnah yang mengguncang. Madinah jadi indah dengan ilmunya. Bashrah bergelora dengan khutbah-khutbahnya. Menuntut bela pembunuhan ustman kepada Ali.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Sisi Dakwah Ibrahim 'alayhis-salam

Nabi Ibrahim as satu-satunya manusia disebut “Ummah”. Dimulainya dakwah dengan gagah. Sebagai pemuda, dipenggalnya semua patung berhala.
Tetapi dakwah bukan hanya soal mengalahkan argumentasi. Dakwah muda yanv berunsur ‘kekerasan’ dibalas parah berupa dibakar.
Dakwah jika harus debat, pilih orang yang tepat yaitu raja atau pemimpin. Bukan lagi jelata yang suka amuk tanpa logika. Ibrahim as berharap hujjahnya bisa mengajaknya.
Namun dakwah bukan hanya soal memenangkan argumentasi. Raja Namrudz yang takjub pada kecerdasannya, tak turut, dia diusir.
Kita belajar, dakwah lebih pada soal memenangkan hati. Jika jiwa takluk didepan akhlak, akal akan bergerilya sendiri mencari dalil.
Ibrahim tak kenal henti. Dia datangi penyembah benda langit dan mentari. Berbaur dengan mereka, dengan sikap dakwah yang makin dewasa.
Menurut koreksi Al Qurthubi, bahwa pertemuannya dengan para penyembah bintang, bulan, matahari bukanlah kisah Ibrahim mencari Tuhan seperti yang diceritakan saat ini. Di kitab Al-Jami’, Al Qurthubi menjelaskan metode dakwah Ibrahim yang makin lembut namun menyentakkan (softly but deadly).
Berhasil menginsyafkan penyembah bintang, bulan, dan mentari. Lalu Ibrahim yang telah menikah bergerak ke Mesir. Tantangan baru menanti.
Raja Mesir suka ambil wanita sembarangan. Dengan kondisi tersebut, Sarah istri Ibrahim diakuinya sebagai saudari olehnya, agar tak ikut diambil.
Dalam masyarakat Mesir saat itu, istri lebih rendah posisinya. Istri bisa dijual, diperbudak. Bukti lain betapa wanita di Mesir setara budak, adalah dihadiahkan Hajar kepada Ibrahim.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media