0878 8077 4762 [email protected]

Istighfar

Imam Ahmad bin Hambal rahimakumullah dikenal murid Imam Syafi’i, dikenal juga sebagai Imam Hambali. Dimasa akhir hidupnya beliau bercerita;
Suatu waktu (ketika saya sudah usia tua) saya tidak tahu kenapa ingin sekali menuju satu kota di Irak. Padahal tidak ada janji sama orang dan tidak ada keperluan.
Akhirnya Imam Ahmad pergi sendiri menuju ke kota Bashrah. Beliau bercerita;
Begitu tiba disana waktu Isya’, saya ikut shalat berjamaah isya di masjid, hati saya merasa tenang, kemudian saya ingin istirahat.
Begitu selesai shalat dan jamaah bubar, imam Ahmad ingin tidur di masjid, tiba-tiba Marbot masjid datang menemui imam Ahmad sambil bertanya; “Kamu mau ngapain  disini, syaikh?.”
Penjelasan : Kata “syaikh” bisa dipakai untuk 3 panggilan yaitu bisa untuk orang tua, orang kaya ataupun orang yang berilmu.
Panggilan Syaikh dikisah ini panggilan sebagai orang tua, karena marbot taunya sebagai orang tua.
Marbot tidak tau kalau beliau adalah Imam Ahmad. Dan Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan siapa dirinya.
Di Irak, semua orang kenal siapa imam Ahmad, seorang ulama besar dan ahli hadits, sejuta hadits dihafalnya, sangat shalih dan zuhud. Zaman itu tidak ada foto sehingga orang tidak tau wajahnya, cuma namanya sudah terkenal.
Imam Ahmad menjawab,  “Saya ingin istirahat, saya musafir.”
Kata marbot, “Tidak boleh, tidak boleh tidur di masjid.”
Imam Ahmad bercerita,
“Saya didorong-dorong oleh orang itu disuruh keluar dari masjid, Setelah keluar masjid, dikuncinya pintu masjid. Lalu saya ingin tidur di teras masjid.”
Ketika sudah berbaring di teras masjid Marbotnya datang lagi, marah-marah kepada Imam Ahmad. “Mau ngapain lagi syaikh?” Kata marbot.
“Mau tidur, saya musafir” kata imam Ahmad.
Lalu marbot berkata;
“Di dalam masjid gak boleh, di teras masjid juga gak boleh.” Imam Ahmad diusir. Imam Ahmad bercerita, “saya didorong-dorong sampai jalanan.”
Disamping masjid ada penjual roti (rumah kecil sekaligus untuk membuat dan menjual roti). Penjual roti ini sedang membuat adonan, sambil melihat kejadian imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot tadi.
Ketika imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh; “Mari syaikh, anda boleh nginap di tempat saya, saya punya tempat, meskipun kecil.”
Kata imam Ahmad, “Baik”. Imam Ahmad masuk ke rumahnya, duduk dibelakang penjual roti yang sedang membuat roti (dengan tetap tidak memperkenalkan siapa dirinya, hanya bilang sebagai musafir).
Penjual roti ini punya perilaku khas : kalau imam Ahmad ngajak bicara, dijawabnya.
Kalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil (terus-menerus) melafalkan istighfar : “Astaghfirullah” berkali-kali.
Saat memberi garam, astaghfirullah, memecah telur astaghfirullah, mencampur gandum astaghfirullah. Dia senantiasa mengucapkan istighfar. Sebuah kebiasaan mulia. Imam Ahmad memperhatikan terus.
Lalu imam Ahmad bertanya, “Sudah berapa lama kamu lakukan ini?”
Orang itu menjawab;
“Sudah lama sekali syaikh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan.”
Imam Ahmad bertanya; “Apa hasil dari perbuatanmu ini?”
Orang itu menjawab;
“(lantaran wasilah istighfar) tidak ada hajat/keinginan yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. Semua yang saya minta ya Allah, langsung diwujudkan.”
Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda;
“Siapa yg menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rizki dari jalan yg tidak disangka-sangkanya.”
Lalu orang itu melanjutkan, “Semua dikabulkan Allah kecuali satu, masih satu yang belum Allah beri.”
Imam Ahmad penasaran lantas bertanya; “Apa itu?”
Kata orang itu;
“Saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan imam Ahmad.”
Seketika itu juga imam Ahmad bertakbir, “Allahu Akbar..!  Allah telah mendatangkan saya jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid sampai ke jalanan ternyata karena istighfarmu.”
Penjual roti itu terperanjat, memuji Allah, ternyata yang didepannya adalah Imam Ahmad.
Ia pun langsung memeluk dan mencium tangan Imam Ahmad.
 
Sumber : Kitab Manakib Imam Ahmad
Wallohu a’lam
 
Saudaraku dan Sahabatku tercinta….. Mulai detik ini, marilah senantiasa kita hiasi lisan kita dengan istighfar kapanpun dan di manapun kita berada.
Semoga Allah merahmati kita semua, Aamiin.

Nasihat Imam Ahmad

Imam Ahmad menasihatkan, “Tidaklah seseorang menghina saudara muslimnya atas suatu dosa, melainkan dia juga jatuh pada dosa yang sama sebelum matinya.”
Lanjut Ahmad bin Hanbal, “Lunakkanlah hatimu dengan hanya memasukkan yang halal kedalam perutmu.”
“Jika bumi mengecil jadi seremah roti, lalu seorang muslim menyuapkan itu pada saudaranya, ini bukanlah pemborosan.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Ketika Imam Ahmad Menasihati Diam-Diam

Adalah Imam Ahmad, agung dalam mengamalkan nasihat. Dikisahkan Harun bin Abdillah Al Baghdadi: Disatu larut malam pintuku diketuk orang. Aku bertanya, “Siapa?” Suara diluar lirih menjawab, “Ahmad!” Kuselidik, “Ahmad yang mana?” Nyaris berbisik kudengar, “Ibnu Hanbal!” Subhanallah, itu Guruku!
Kubuka pintu dan beliaupun masuk dengan langkah berjingkat. Kusilahkan duduk, maka beliau menempah hati-hati agar kursi tak berderit.
Kutanya, “Ada urusan sangat pentingkah sehingga engkau duhai Guru, berkenan mengunjungiku dimalam selarut ini?” Beliau tersenyum.
“Maafkan aku duhai Harun,” ujar beliau lembut dan pelan. “Aku teringat bahwa kau biasa masih terjaga meneliti hadis diwaktu semacam ini. Kuberanikan untuk datang karena ada yang mengganjal dihatiku sejak siang tadi.” Aku terperangah, “Apakah hal itu tentang diriku?” Beliau mengangguk.
“Jangan ragu,” ujarku, sampaikanlah wahai Guru, ini aku mendengarmu!”
“Maaf ya Harun,” ujar beliau, “tadi siang kulihat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Kau bacakan hadis untuk mereka catat. Kala itu mereka dibawah terik matahari, sedangkan dirimu teduh ternaungi bayangan pepohonan. Lain kali janganlah begitu duhai Harun, duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana muridmu duduk.”
Aku tercekat, tak sanggup menjawab. Lalu beliau berbisik pamit undur diri. Kemudian melangkah berjingkat, menutup pintu hati-hati.
Masya Allah, inilah Guruku yang mulia, Ahmad bin Hambal. Akhlak indahnya sangat terjaga dalam memberi nasihat dan meluruskan khilafku.
Beliau bisa saja menegurku didepan para murid, toh beliau Guruku yang berhak untuk itu. Tetapi tak dilakukannya demi menjaga wibawaku. Itu dilakukan demi menjaga rahasia nasihatnya.
Maka termuliakanlah Guruku sang pemberi nasihat, yang adab tingginya dalam menasihati menjadikan hatiku menerima dengan ridha dan cinta.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Saling Menghormati Antar Sesama Pemilik Ilmu

Perkenalan Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad membuat mereka bersahabat dan saling berguru seterusnya.
Saat murid-murid Asy Syafi’i keberatan mengapa beliau mengunjungi Ahmad yang mereka anggap murid beliau, Asy Syafi’i melantunkan syair. “Semua kemuliaan ada pada Ahmad. Jika dia mengunjungiku itu kemurahan hatinya. Jika aku mengunjunginya, itu sebab keutamaannya.”
Suatu hari Yahya bin Ma’in menegur Ahmad yang dianggap merendahkan ilmu yang mulia dengan menuntun kendaraan Asy Syafi’i. “Katakan kepada Yahya,” jawab Ahmad, “aku berada dalam kemuliaan yang jika dia menginginkan keluruhan serupa, marilah kesini akan kutuntun keledai Asy Syafi’i disebelah kiri dan silakan dia menuntunnya dari sisi yang kanan. Itulah jalan kemuliaan.”
“Selama 40 tahun aku berdoa,” ujar Ahmad kelak, “tak pernah alpa kusebut nama Asy Syafi’i bersama smua pinta.” Ditanyakan kenapa?
“Asy Syafi’i adalah mentari bagi siang dan obat bagi penyakit, maka siapakah yang tak menghajatkan keduanya?”
Ahmadpun bersaksi, “Di tiap 100 tahun Allah bangkitkan seorang mujaddid untuk memelihara agama-Nya. Di abad lalu dialah Umar bin Abdul Aziz, dan di abad ini dialah Asy Syafi’i.”
Adapun Asy Syafi’i selalu berkata kepada Ahmad, “kau lebih tahu tentang suatu hadist, maka bawakan padaku yang shahih dari Nabi saw selalu, duhai sahabat kami yang kuat hafalan lagi terpercaya.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Tiap Pemilik Ilmu Ada yang Lebih Berilmu

Kisahnya terjadi pada suatu musim haji. Saat itu berhimpunlah tiga ulama ahlul: Ishaq bin Rahawayh, Ahmad dan Yahya bin Ma’in. Mereka hendak menemui Imam Abdurrazaq, penulis Al Mushannaf. Tetapi di pintu Masjidil Haram terlihat seorang pemuda berwibawa. Dia duduk dikursi indah dan dikelilingi oleh begitu banyak orang yang bergantian menanyakan berbagai macam persoalan dan fiqih.
Ketiga alim itu bertanya, “Siapakah pemuda ini?” Seseorang menjawab, “Fakihnya Quraisy dari Bani Muthalib, Muhammad bin Idris.” Selama ini ketiganya baru mendengar nama Asy Syafi’i yang mahsyur; baru pertama kali ini mereka melihatnya. Sungguh masih muda dan tawadhu. Yahya bin Ma’in pakar dalam Jahr wat Ta’dil (ilmu kritik kelayakan rawi) segera menyuruh Imam Ahmad menguji Imam Syafi’i. “Tanyakan padanya tentang perkataan Nabi saw: ‘Biarkan burung dalam sangkarnya!‘” ujar Yahya (H.R. Abu Dawud 2835, Ahmad 6/381-422, Al Humaidi 345, Ath Thayalisi 1634, At Tirmidzi 1516, An Nasa’i 7/164, Ibnu Majah 3163)
Ahmad menanyai Yahya, “Apa tafsirnya?” Kata Yahya, “Sepahamku, biarkanlah burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” Imam Ahmad tersenyum, sebab tafsir itu darinya. Ishaq bin Rahawayh menyahut, “Baiklah, aku yang akan menanyai!” Maka dia memanggil Syafi’i, “Wahai pemuda Bani Muthalib!”
“Ya wahai alimnya orang Persia!” sahut Asy Syafi’i. Lalu Ishaq menanyakan tafsir itu. Yang ditanya tersenyum tawadhu. “Aku mendengar bahwa sahabat kalian Ahmad bin Hambal menafsirkannya sebagai : biarkan burung dalam sarangannya, yakni pada malam hari.
” Adapun aku”, lanjut Asy Syafi’i, “mendapatkan itu dari Sufyan bin Uyainah. Ketika itu aku telah menanyakan tafsirnya.” Tetapi Ibnu Uyainah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa maksud ini.” Aku berkata, “Rahimakallah, ya Aba Muhammad.”
Maka,” sambung Asy Syafi’i, “Ibnu Uyainah mengamit tanganku dan mendudukanku dikursinya. Ujarnya, ” Ajari kami apa tafsirnya!”
Maka Asy Syafi’i saat itu dengan penuh ta’zhim membahas tafsirnya. Dia berkata, “Dahulu, orang Jahiliyah jika hendak berpergian menangkap burung, lalu melepaskannya lagi dengan mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, ia anggap pertanda baik. Mereka akan melangsungkan perjalanannya. Tetapi jika si burung terbang ke kiri atau ke belakang, ia dianggap pertanda buruk sehingga mereka mengurungkan niat safarnya.
Ketika Rasulullah melihat hal ini (tathayyur) masih tradisi, maka sabdanya, “Biarkan burung didalam sarangnya. Berangkatlah pada pagi hari dengan menyebut asma Allah.” Demikian Asy Syafi’i bertutur.
Para ulama yang hadir berdecak takjub akan ilmu Asy Syafi’i. Ishaq bin Rahawayh tersenyum pada dua rekannya dan berkata, “Demi Allah, andaikan kita datang jauh-jauh dari Iraq hanya untuk mendengar makna ini saja, cukuplah itu bagi kita!” Ahmad mengangguk. Lalu berkatalah Ahmad dengan menukil Surat Yusuf ayat 76, “Wa fauqa kulli dzii ‘ilmi ‘aliim” (Dan tiap-tiap pemilik ilmu ada yang lebih berilmu -red). Manaqib Asy Syafi’i, Al Baihaqi, 1/38
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media