0878 8077 4762 [email protected]

Memuliakan Ibu

Berkata Nabi Isa as, “Dia perintahkan aku bershalat dan zakat semasih hidupku, dan berbakti kepada ibuku …” (Q.S. Maryam : 31-32)
Ada pemuda yang berbakti pada ibu dimasa Umar ra. Dia menyuapi ibunya, mengipasinya, mengelap peluh, memandikan dan urus segala hajatnya. Pemuda itu gendong ibunya sepanjang jalan. Tiap henti, dia merangkak lengkukan badan. Lindungi ibunya dari mentari dan terpaaan hujan.
Rahim adalah nama Allah, disandang nama itu dalam tubuh ibu. Seperti Imam Syafi’i dimana cinta ibunya menumbuhkannya jadi alim ulama mahsyur. Sebagai balas fikihnya Imam Syafi’i dinamakan Al Umm (Sang Ibunda).
Umar ra pernah berkata, “Cukupkah ini untuk membalas kebaikan ibu diwaktu kecil?” tanyanya. “Tidak, sama sekali tidak!” jawab Umar berkaca-kaca.
“Sebab ibumu dulu lakukan semua itu sambil mendoa bagi kehidupanmu. Sementara engkau kini melakukannya sembari menanti kematiannya.” terangnya.
Sebagaimana Aisyah. Dia ummul mukminin, ibu dari semua orang beriman. Tersebab apakah ia mengandung, melahirkan, menyusui? Tidak. Aisyah tak diberi Allah luap rasa hakikat ibu itu. Tetapi wawasan dan bimbingannya kepada sahabat lain menjadikannya ibunda muslimin kala itu.
Allah menjawab doa hamba-Nya disaat panggilan ibu itu tak segera hadir. Istri Ibrahim dipenantian panjang usia udzur dengan melahirkan si shalih Ishaq as, istri Imran dengan si suci Maryam, istri Zakariya as dengan si alim Yahya as. Mereka rayakan syukur karunia setelah menunggu lama, tubuh senja, uban memutih, doa mengiba, dan rasa yang tersembilu.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Imam Mazhab Sepakat Melarang Mencela Sahabat Rasul

Para ulama Imam Mazhab yang menjadi rujukan umat Islam hingga saat ini, dengan wara’ dan tulus berpandangan sama melarang kebiasaan mencela para sahabat Nabi saw :
Imam Malik berkata, “Orang yang mencela sahabat Nabi saw tidak memiliki bagian dalam Islam”
Imam Hambal berkata, “Orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah ra tidak lagi berada diatas agama Islam.”
Imam Syafi’i berkata, “Menurutku tidak ada kelompok penganut hawa nafsu yang lebih berdusta daripada kalangan rafidhah.”
Imam Hanafi berkata, “Siapa yang meragukan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka (rafidhah).”

Saling Menghormati Antar Sesama Pemilik Ilmu

Perkenalan Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad membuat mereka bersahabat dan saling berguru seterusnya.
Saat murid-murid Asy Syafi’i keberatan mengapa beliau mengunjungi Ahmad yang mereka anggap murid beliau, Asy Syafi’i melantunkan syair. “Semua kemuliaan ada pada Ahmad. Jika dia mengunjungiku itu kemurahan hatinya. Jika aku mengunjunginya, itu sebab keutamaannya.”
Suatu hari Yahya bin Ma’in menegur Ahmad yang dianggap merendahkan ilmu yang mulia dengan menuntun kendaraan Asy Syafi’i. “Katakan kepada Yahya,” jawab Ahmad, “aku berada dalam kemuliaan yang jika dia menginginkan keluruhan serupa, marilah kesini akan kutuntun keledai Asy Syafi’i disebelah kiri dan silakan dia menuntunnya dari sisi yang kanan. Itulah jalan kemuliaan.”
“Selama 40 tahun aku berdoa,” ujar Ahmad kelak, “tak pernah alpa kusebut nama Asy Syafi’i bersama smua pinta.” Ditanyakan kenapa?
“Asy Syafi’i adalah mentari bagi siang dan obat bagi penyakit, maka siapakah yang tak menghajatkan keduanya?”
Ahmadpun bersaksi, “Di tiap 100 tahun Allah bangkitkan seorang mujaddid untuk memelihara agama-Nya. Di abad lalu dialah Umar bin Abdul Aziz, dan di abad ini dialah Asy Syafi’i.”
Adapun Asy Syafi’i selalu berkata kepada Ahmad, “kau lebih tahu tentang suatu hadist, maka bawakan padaku yang shahih dari Nabi saw selalu, duhai sahabat kami yang kuat hafalan lagi terpercaya.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Para Pengemban Ilmu

Menurut Adz Dzahabi, orang berilmu menjaga lisannya karena Allah. Jika takjub pada bicaranya, dia diam. Walau terlanjur dianggap berilmu jangan malu mengatakan “Aku tak tahu!”, dengan begitu Allah yang akan menjadi Gurumu.
Jagalah ilmu dengan amal. Jagalah amal dengan ikhlas. Jagalah ikhlas dengan istiqamah. Jagalah istiqamah dengan ihsan. Kesalahan para MUDA; mengira kecerdasan penentu pengalaman. Kesalahan para TUA; mengira pengalaman penentu kecerdasan.
Ucapan Imam Syafi’i untuk renungan, “Aku sangat ingin agar manusia memahami ilmu ini, dan tak menyandarkannya padaku sedikitpun.”
Bukan ilmu sejati, jika membuatmu merasa lebih tinggi. Bukan pemahaman hakiki, jika membuatmu enggan belajar lagi.
Tingginya jalan cita-cita, menyempitkan waktu sanatimu. Dalamnya ilmu, meluaskan jalan baktimu. Ketika ilmu diperbincangkan lebih banyak daripada yang diasup seharian. Hampa dan ngilu pasti hadir menyesakkan kerongkongan.
Tabiat ilmu berlelah-lelah. Sebab ia jalan tuk naik ke ketinggian. Pendakiannya terjal, udaranya menipis, dan payah peluh menghiasi.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro U Media

Tiap Pemilik Ilmu Ada yang Lebih Berilmu

Kisahnya terjadi pada suatu musim haji. Saat itu berhimpunlah tiga ulama ahlul: Ishaq bin Rahawayh, Ahmad dan Yahya bin Ma’in. Mereka hendak menemui Imam Abdurrazaq, penulis Al Mushannaf. Tetapi di pintu Masjidil Haram terlihat seorang pemuda berwibawa. Dia duduk dikursi indah dan dikelilingi oleh begitu banyak orang yang bergantian menanyakan berbagai macam persoalan dan fiqih.
Ketiga alim itu bertanya, “Siapakah pemuda ini?” Seseorang menjawab, “Fakihnya Quraisy dari Bani Muthalib, Muhammad bin Idris.” Selama ini ketiganya baru mendengar nama Asy Syafi’i yang mahsyur; baru pertama kali ini mereka melihatnya. Sungguh masih muda dan tawadhu. Yahya bin Ma’in pakar dalam Jahr wat Ta’dil (ilmu kritik kelayakan rawi) segera menyuruh Imam Ahmad menguji Imam Syafi’i. “Tanyakan padanya tentang perkataan Nabi saw: ‘Biarkan burung dalam sangkarnya!‘” ujar Yahya (H.R. Abu Dawud 2835, Ahmad 6/381-422, Al Humaidi 345, Ath Thayalisi 1634, At Tirmidzi 1516, An Nasa’i 7/164, Ibnu Majah 3163)
Ahmad menanyai Yahya, “Apa tafsirnya?” Kata Yahya, “Sepahamku, biarkanlah burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” Imam Ahmad tersenyum, sebab tafsir itu darinya. Ishaq bin Rahawayh menyahut, “Baiklah, aku yang akan menanyai!” Maka dia memanggil Syafi’i, “Wahai pemuda Bani Muthalib!”
“Ya wahai alimnya orang Persia!” sahut Asy Syafi’i. Lalu Ishaq menanyakan tafsir itu. Yang ditanya tersenyum tawadhu. “Aku mendengar bahwa sahabat kalian Ahmad bin Hambal menafsirkannya sebagai : biarkan burung dalam sarangannya, yakni pada malam hari.
” Adapun aku”, lanjut Asy Syafi’i, “mendapatkan itu dari Sufyan bin Uyainah. Ketika itu aku telah menanyakan tafsirnya.” Tetapi Ibnu Uyainah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa maksud ini.” Aku berkata, “Rahimakallah, ya Aba Muhammad.”
Maka,” sambung Asy Syafi’i, “Ibnu Uyainah mengamit tanganku dan mendudukanku dikursinya. Ujarnya, ” Ajari kami apa tafsirnya!”
Maka Asy Syafi’i saat itu dengan penuh ta’zhim membahas tafsirnya. Dia berkata, “Dahulu, orang Jahiliyah jika hendak berpergian menangkap burung, lalu melepaskannya lagi dengan mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, ia anggap pertanda baik. Mereka akan melangsungkan perjalanannya. Tetapi jika si burung terbang ke kiri atau ke belakang, ia dianggap pertanda buruk sehingga mereka mengurungkan niat safarnya.
Ketika Rasulullah melihat hal ini (tathayyur) masih tradisi, maka sabdanya, “Biarkan burung didalam sarangnya. Berangkatlah pada pagi hari dengan menyebut asma Allah.” Demikian Asy Syafi’i bertutur.
Para ulama yang hadir berdecak takjub akan ilmu Asy Syafi’i. Ishaq bin Rahawayh tersenyum pada dua rekannya dan berkata, “Demi Allah, andaikan kita datang jauh-jauh dari Iraq hanya untuk mendengar makna ini saja, cukuplah itu bagi kita!” Ahmad mengangguk. Lalu berkatalah Ahmad dengan menukil Surat Yusuf ayat 76, “Wa fauqa kulli dzii ‘ilmi ‘aliim” (Dan tiap-tiap pemilik ilmu ada yang lebih berilmu -red). Manaqib Asy Syafi’i, Al Baihaqi, 1/38
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media