0878 8077 4762 [email protected]

Dulu Jamaah Haji Sering Dikubur di Laut

Kapal masih menjadi transportasi pilihan bagi jamaah haji sebelum 1979. Pada abad ke-15, kapal layar bahkan digunakan untuk sampai ke Hijaz, sebutan bagi Arab Saudi pada masa itu.
Ketika itu, jamaah haji butuh waktu berbulan-bulan di laut. Perjalanan pun terbilang berbahaya karena harus berhadapan dengan badai dan gelombang.  Hingga kemunculan kapal uap pada abad ke-19 yang menjadi buah tangan revolusi industri. Kapal-kapal bermesin mampu mengantar jamaah dalam tempo kurang dari sebulan.
Selama perjalanan di laut, ada jamaah yang meninggal karena kelelahan atau sakit.
KH Abdussamad, seorang kiai dari tanah Jawa yang naik haji pada 1948, berkisah tentang bagaimana jenazah tersebut dilepas di laut. Dilansir dari buku Naik Haji di Masa Silam 1482-1964  karya Henri Chambert Loir, kiai itu menumpang Kapal Prometheus milik perusahaan Oceaan dari Pelabuhan Tanjung Priok. Ada seribu penumpang disana. Setidaknya, sang kiai menyaksikan tiga calon haji meninggal dunia.
“Selama itu ada tiga kali kami melepaskan saudara kita, membuang jenazahnya ke laut. Sesudah mayat itu dimandikan, dikapan  (dikenakan kafan) dan disembayangkan, lalu diletakkan di atas suatu tempat sebagai tangga,”tulis KH Abdussamad dalam memoarnya di buku itu berjudul Naik Haji di Masa Revolusi.
Tata Cara Mengubur Di Laut
Ketika jenazah itu hendak dilepas, kapal bertahan. Tempat mayat kemudian diangkat perlahan ke badan kapal. Keranda itu pun diulur ke laut. Sesampainya di permukaan air, tali jenazah dilepaskan. Tangga lantas kembali diangkat. Jenazah itu melayang-layang di samudera. Disaksikan kawan-kawan seperjalanannya.
“Fatihah dibaca, tangan diangkat mendoakan yang pergi. Moga-moga Allah terima amalnya. Diampunkan dosanya dan dikaruniakan kesabaran bagi ahlinya yang tinggal.  Badan jazmaninya mencahari tempat dimana asalnya. La tadri nafsun fi ajji ardhin tamut (Tak ada manusia yang dapat mengetahui di bumi mana nati ia akan ditanam sesudah mati).”
Setelah dimandikan dan dikafani menurut ketentuan Islam, jenazah kemudian dishalatkan. Awak kapal yang sudah berpengalaman  membungkus jenazah itu  dari luar dengan kain layar putih bersih. Beberapa kepingan baja dan timah hitam seberat antara 30-50 kg diikat dengan rapat pada kepala dan kakinya.
Proses penguburannya dilakukan di buritan kapal. Ketika hendak melepas jenazah, kecepatan kapal  dikurangi atau berhenti dengan posisi yang ditentukan mualim. Jenazah itu ditempatkan ke dalam sekoci kecil. Kepalanya dihadapkan ke haluan kapal. Dengan penuh hikmat, sekoci itu diturunkan. Tali sekoci bagian kepala ditarik ke atas sehingga posisinya menjadi miring dan jenazah tenggelam ke dalam laut.
Kondisi Miris Haji Tempo Dulu
Pelepasan jenazah massal pernah terjadi di Kapal Api Samoa. Catatan dari beberapa sumber yang berangkat haji pada 1893, pernah terjadi musibah besar di kapal itu.
Kapal dengan bobot 4.507 tonnase itu dikontrak Herklots untuk mengangkut 3.600 jamaah haji dari Jeddah ke Batavia. Jumlah penumpangnya melebihi kapasitas karena Sarat dengan muatan.  Penumpang pun terpaksa harus duduk berimpitan.
Jamaah bahkan  buang hajat besar dan kecil di sembarang tempat. Keadaan diperparah akibat badai selama tiga hari tiga malam. Badai dahsyat itu menyebabkan penumpangnya patah tulang.
Seratus orang tercatat meninggal dunia. Tidak ada lagi orang yang memperhatikan barang yang dibawa. Peti barang terlempar ke laut. Setelah badai reda dan kapal tenang, penumpang yang selamat mulai menarik napas lega.
 
Sumber : Republika

Bagaimana Mengubur Janin yang Belum Usia Empat Bulan?

TANYA : Ustad, apakah janin yang berusia 13 minggu (3 bulanan) sudah ditiupkan ruh? Jika keguguran, bagaimana cara menguburnya?
 
Jawab : Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang proses penciptaan manusia dalam rahim ibunya,

إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ

“Sesungguhnya kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (zigot), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama 40 hari pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) selama itu pula. Kemudian diutus seorang malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh kepadanya, dan ditetapkan empat takdir, takdir rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka ataukah bahagianya.” (HR. Ahmad 3624 & Muslim 6893)
Hadis ini yang menjadi acuan para ulama bahwa janin baru berstatus sebagai manusia ketika berusia 120 hari (4 bulan) ke atas, setelah ditiupkan ruh. Karena itu, hukum yang berlaku bagi janin yang mengalami keguguran dirinci sebagai berikut,
[1] Jika janin belum berusia 4 bulan, maka tidak disikapi sebagaimana manusia. Sehingga tidak perlu dimandikan, dikafani, maupun dishalati. Dan dia bisa dikubur ditempat manapun yang penting tidak mengganggu.
Tidak ada upacara maupun prosesi apapun dalam menanganinya. Seperti menguburkan ari-ari atau bagian anggota tubuh manusia lainnya yang telah lepas dari badan.
Dalam Fatwanya, Lajnah Daimah menyatakan,

إذا لم يتم له أربعة أشهر فإنه لا يغسل ولا يصلى عليه ولا يسمَّى ولا يعق عنه ؛ لأنه لم ينفخ فيه الروح

Jika usia janin belum genap 4 bulan, maka tidak dimandikan, tidak dishalati, tidak diberi nama, dan tidak diaqiqahi. Karena janinnya belum ditiupkan ruh. (Fatawa Lajnah Daimah, 8/408)
[2] jika janin keguguran setelah berusia 4 bulan ke atas, maka dia disikapi sebagaimana manusia. Harus dimandikan, dikafani, boleh dishalati, dan dimakamkan dipemakaman kaum muslimin.
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,

ما سقط قبل تمام أربعة أشهر : فهذا ليس له عقيقة ، ولا يسمَّى ولا يصلَّى عليه ، ويدفن في أي مكان من الأرض . وأما بعد أربعة أشهر فهذا قد نفخت فيه الروح ، هذا يسمى ويغسل ويكفن ويُصلى عليه ويدفن مع المسلمين

Janin keguguran sebelum sempurna 4 bulan, tidak ada aqiqah, tidak diberi nama, tidak dishalati, dan dikuburkan di tempat manapun. Sementara yang keguguran setelah 4 bulan, janin ini telah ditiupkan ruh, sehingga jenazahnya diberi nama, dimandikan, dikafani, boleh dishalati, dan dimakamkan bersama kaum muslimin lainnya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 25/229).
Menyimpulkan penjelasan di atas, untuk janin usia 13 minggu, belum genap 4 bulan, sehingga belum ditiupkan ruh. Karena itu, dia bisa dikuburkan di tempat manapun selama tidak mengganggu. Allahu a’lam
 
Sumber : Konsultasi Syariah