0878 8077 4762 [email protected]

Saat Nabi Pergi

Sakit Rasulullah saw semakin hari semakin keras. Ini detik-detik kritis. Aisyah merebahkan tubuh orang mulia ini kepangkuannya. Ini momen yang sangat penting bagi Aisyah. Ia dapat merawat sendiri Rasulullah saw di rumahnya.
Abdurrahman bin Abu Bakar, kakak Aisyah adalah sahabat lain yang diperkenankan merawat Rasulullah saw. Ia masuk ke dalam sambil memegang siwak.
Melihat itu, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “apakah aku boleh mengambil siwak itu untuk engkau?” Hal ini Aisyah tanyakan kepada Rasulullah saw karena Rasulullah saw sangat suka bersiwak.
Rasulullah saw mengiyakan dengan isyarat kepala. Aisyah pun menggosokan siwak itu ke gigi beliau. Rupanya karena terlalu keras, Aisyah segera menggosokan dengan pelan-pelan sekali. Di dekat tangan Rasulullah saw ada bejana berisi air.
Beliau mencelupkan kedua tangannya lalu mengusap wajahnya. Mulutnya begumam, “ Tiada Ilah selain Allah. Sesungguhnya kematian itu ada sekaratnya.”
Usai bersiwak, beliau mengangkat tangan dan mengacungkan jari, mengarahkan pandangan ke langit-langit rumah. Kedua bibirnya bergerak-gerak.
“Bersama orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka dari nabi, shidiqqin, syuhada dan shalihin. Ya Allah ampunilah dosaku dan rahmatilah aku. Pertemukanlah aku dengan kekasih yang Maha Tinggi ya Allah, kekasih yang Maha Tinggi.”
Kalimat ini diulang-ulang hingga tiga kali disusul dengan tangan Rasulullah saw yang melemah. Beliau wafat. Suasana hening. Saat itu waktu Dhuha, udara sudah terasa panas, senin 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah. Rasulullah saw wafat dalam usia 63 tahun lebih empat hari.
Kabar duka itu segera tersebar. Seluruh pelosok Madinah berubah muram. Walau sudah diduga, tetapi kepergian Rasulullah saw nyata membuat kaum Muslimin terpukul.
Anas menggambarkan, “Aku tidak pernah melihat suatu hari yang lebih baik dan lebih terang selain ketika hari saat Rasulullah saw masuk ke tempat kami. Dan tidak kulihat hari yang lebih buruk dan muram selain ketika Rasulullah saw meninggal dunia.”
Berita itu jelas sampai ke semua orang. Termasuk kepada Umar bin Khatab. Mendengar itu, Umar hanya berdiri mematung. Seperti tidak sadar, dia berkata,
“Sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah saw akan meninggal dunia. Rasulullah saw sekali-kali tidak akan meninggal dunia, tetapi pergi kehadapan Rabbnya seperti yang dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari kaumnya selama empat puluh hari , lalu kembali lagi kepada mereka setelah beliau dianggap meninggal dunia. Demi Allah, Rasulullah saw akan kembali. Maka tangan dan akal orang-orang yang beranggapan bahwa beliau meninggal dunia, hendaknya dipotong.”
Abu Bakar pun tidak kalah terpukulnya. Setelah mendengar kabar itu, dari tempat tinggalnya di dataran tinggi Mekkah, Abu Bakar memacu kuda, lalu turun dan masuk mesjid tanpa berbicara dengan siapapun.
Dia segera menemui Aisyah, lalu mendekati jasad Rasulullah saw yang diselubungi kain itu lalu menutupnya kembali. Ia memeluk jasad Rasulullah saw sambil menangis.
Dari mulutnya terdengar, “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada diri engkau. Kalau memang kematian ini sudah ditetapkan atas engkau, berarti memang engkau sudah meninggal dunia.”
Kemudian Abu Bakar keluar rumah dengan masih sambil tersedu. Saat itu Umar sedang berbicara di hadapan orang-orang. Abu Bakar berkata, “Duduklah, wahai Umar!”
Umar tidak mau duduk. Orang-orang beralih kehadapan Abu Bakar dan meninggalkan Umar.
Abu Bakar berkata, “Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal dunia. Tapi barangsiapa diantara kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Hidup dan tidak meninggal.
Allah berfirman, ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlaku sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kalian berbalik kebelakang-murtad? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur’.”
Seusai mendengar ayat ini, semua langsung terdiam. Seakan-akan mereka tidak tahu bahwa Allah telah menurunkan ayat ini. Semuanya kemudian menghayati ayat ini. Tidak seorangpun dari mereka yang mendengarnya melainkan membacanya.
 
Sumber: Peri Hidup Rasul & Para Sahabat, Kisah-kisah yang Menggetarkan Hati/Saad Saefullah/SPU Purwakarta

Adab Ayyub 'alayhis-salam

Allah berfirman, “Dan ingatlah akan hamba Kami, Ayyub, ketika dia menyeru Tuhannya, ‘sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan’.” (Q.S. Shaad : 41)
Menurut tafsir Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni dalam Rawa’i’ul Bayan, Perkataan Ayyub berupa ‘Sesungguhnya aku diganggu syaitan’ adalah ungkapan penuh adab kepada Allah. Menyandarkan segala penderitaan yang dialami kepada syaitan.
Dengan menginsyafi kebaikan dan keburukan yang merupakan ketetapan-Nya, derita dan lara tak patut dihadirkan dalam ucap. Inilah keagungan adab.
Sebagaimana Ibrahim as tahu bahwa jika dia sakit, Allah juga yang menakdirkan. Tetapi dia nyatakan, “Allah yang memberiku makan dan minum. Tatkala aku sakit, Dia menyembuhkanku.” (Q.S. Asy Syu’araa : 79-80). Adabnya menuntun untuk menisbatkan sakit itu pada dirinya sendiri.
Kisah Ayyub yang beroleh berlipat musibah, Allah letakkan di Surah Shaad tepat setelah cerita Nabi Daud dan Sulaiman. Seakan Allah hendak menyampaikan kepada umatnya, “Tiada hamba yang diberi nikmat dunia berlebih kepada Daud dan Sulaiman, maka teladani kesyukuran mereka. Tiada hamba yang diberi bencana dunia berlebih kepada Ayyub, maka teladani kesabaran mereka.”
Ulama Sufyan Ats Tsaury pernah ditanya, “Mana yang lebih utama, orang kaya yang syukur? Ataukan orang miskin yang sabar?” Jawab beliau, “Sama mulianya. Sebab Allah memuji Sulaiman dalam surah Shaad ayat 30 dan Allah memuji Ayyub dalam surah Shaad ayat 44. Kalimat pujian untuk keduanya sama.
Begitu juga kalimat indah nabi Ya’qub, ”Semata aku adukan kesusahan diri dsri kesedihan hatiku kepada Allah.” Q.S. Yusuf ayat 86.
Dan kalimat mulia Nabi Muhammad saw tatkala diusir dari Thaif, dilempari batu, dikejar dengan olok-olok dan kotoran. “Ya Allah, pada-Mu kuadukan lemahnya diriku dan kurangnya siasatku.”
Lagi-lagi adab, beliau tidak mengadukan orang lain. Sebenarnya bisa saja beliau saw berdoa, “Ya Allah, kuadukan pada-Mu kerasnya hati mereka dan jahatnya perlakuan mereka.”
Tetapi Muhammad saw adalah guru dalam adab mulia kepada Allah dan sesama manusia. Tiada yang dia adukan selain dirinya.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Manusia Pilihan

Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Allah memeriksa hati para hamba-Nya, maka didapati-Nya hati Muhammad saw ialah yang paling bening memancarkan cahaya, maka Dia memilihnya agar pada Muhammad saw diamanahkan-Nya risalah yang paripurna untuk semesta.
Lalu Allah melihat hati para hamba lainnya. Dan didapati-Nya hati para sahabat Muhammad-lah yang paling jernih memantulkan cahaya. Maka Allah pun memilih mereka untuk mendampingi sang Nabi menegakkan risalah itu.”