0878 8077 4762 [email protected]

Prinsip Islam Moderat : Syariah, Fiqih, dan Ijtihad

Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Kita berpandangan bahwa syariah Islam adalah wahyu Allah swt yang tercermin dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi yang shahih. Sementara, fiqih Islam adalah aktivitas akal seorang muslim yang berijtihad dalam rangka memahami Al Qur’an dan as Sunnah, serta mengambil kesimpulan hukum amaliyah darinya. Dengan demikian, syariah adalah wahyu Tuhan, sementara fiqih adalah hasil aktivitas manusia.
Hanya saja fiqih tersebut dalam ijtihad, pemikiran, dan pelaksanaan istinbath hukumnya harus mengacu kepada pertimbangan syariah, rasio, dan bahasa yang harus dijadikan pegangan oleh muslim.
Kaum muslimin telah berhasil menemukan sebuah ilmu yang dianggap sebagai salah satu kebanggaan warisan ilmiah Islam. Yaitu ilmu ushul fiqih yang menjadi acuan dalam memberikan sebuah dalil terkait dengan sesuatu yang ada nash-nya ataupun yang tidak ada nash-nya. Bahkan sebelum ilmu ushul fiqih ditulis dengan cara metodologis, para fukaha sudah mengacu kepada kaidah-kaidahnya meski istilah dan namanya belum ada. Cara tersebut dilakukan baik oleh kalangan yang lebih cenderung kepada atsar (naqli) maupun oleh kalangan yang lebih cenderung memergunakan akal.
Yang diinginkan oleh sejumlah pihak dari sikap meninggalkan fiqih Islam atau mencampakkannya dari khazanah peradaban kita sebenarnya adalah agar kita atau mencampakkan seluruh syariat Islam dari kehidupan. Sebab, ia berada dalam rahim fiqih itu sendiri.
Hanya saja kita dituntut untuk memilah antara yang sudah baku/permanen dan yang bisa berubah, yaitu hukum-hukum yang sesuai waktu dan tempatnya, tetapi tidak sesuai lagi pada saat ini, karena perubahan kondisi seperti ungkapan, “Perubahan hukum bisa terjadi akibat perubahan zaman.” Hal inilah yang disebutkan oleh majalah al Ahkam dalam salah satu materinya.
Kami dalam Persatuan Ulama Islam Sedunia berpegang pada fiqih yang beraliran moderat, yang memahami nash demi nash sesuai dengan tujuan umum tanpa mempertentangkan antara keduanya. Selain itu, kami memahami nash sesuai konteks, berbagai faktor, dan sebab yang mempengaruhinya. Lalu memilah antara tujuan yang bersifat tetap dan sarana yang bisa berubah, memilah antara urusan ibadah dan urusan muamalah.
Sebab, prinsip utama ibadah adalah segalanya terlarang, kecuali jika ada syariat yang membolehkan. Sebaliknya prinsip utama muamalah adalah segalanya boleh, kecuali ada nash syariat yang melarangnya.
Sama sekali bukan syariat walau lewat takwil, apabila persoalan apapun yang keluar dari keadilan menuju ketidakadilan, dari rahmat menuju kebalikannya, serta dari kebijaksanaan menuju kepada kesia-siaan.
Kemudian kami berpandangan bahwa pintu ijtihad dalam agama selalu terbuka dan akan senantiasa terbuka. Pasalnya tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu yang telah dibuka oleh Allah dan RasulNya. Bahkan ia termasuk fardhu kifayah atas umat. Bahwa tidak boleh ada satu era yang kosong dari seseorang mujtahid yang bertugas menjelaskan hukum syariat terkait dengan berbagai hal yang baru ditemui oleh manusia.
Pada zaman sekarang ini kita lebih membutuhkan ijtihad faktual, karena zaman yang telah sangat berubah daripada zaman generasi sebelum kita di era ijtihad fiqih.
Para pengikut Abu Hanifah berkata, “Ini adalah perbedaan masa dan waktu, bukan perbedaan hujah dan dalil”.
Padahal jarak antara zaman mereka dan zaman imam mereka demikian dekat, dan kehidupan saat itu relatif tenang, apalagi beberapa abad setelah era ijtihad. Ditambah lagi segala sesuatu dalam kehidupan kita telah berubah dari sebelumnya.
Karena itu, kita harus membuka pintu ijtihad yang bersifat global dan parsial, mutlak maupun terikat, yang muncul dalam berbagai persoalan baru maupun hasil seleksi dari fiqih warisan.
Sejatinya, pintu ijtihad hanya terbuka bagi orang yang ahli dan pada tempatnya. Yang dimaksud ahli adalah setiap orang yang memiliki syarat-syarat kelayakan fundamental seperti yang disepakati oleh para ahli ushul dan fuqaha, diantaranya

  1. Memahami Al Qur’an dan as Sunnah secara mendalam, sehingga mampu mengambil kesimpulan hukum darinya
  2. Menguasai bahasa Arab berikut seluruh ilmunya
  3. Mengetahui ushul fiqih dan tujuan-tujuan syariat
  4. Memahami fiqih dan perbedaan pandangan diantara para ulama, sehingga mampu merumuskan fiqih yang terbentuk pada dirinya lewat istinbath hukum-hukum amaliyah dari dalilnya satu persatu.

Selain itu, ijtihad tersebut juga harus pada tempatnya. Yaitu wilayah hukum yang bersifat zhanni (tidak pasti). Yang dimaksud dengannya adalah persoalan yang dalilnya masih bersifat zhanni baik dari segi keberadaanya, petunjuknya, maupun keduanya. Sebagian besar syariat berasal dari pintu ini.
Sementara untuk segala persoalan yang bersifat qath’i (sudah baku dan pasti) tidak ada ruang bagi ijtihad didalamnya. Jumlahnya juga sedikit. Hanya saja, ia sangat penting. Ia menggambarkan sejumlah hal yang bersifat baku yang bisa menjaga persatuan umat dari segi akidah, pemikiran, emosi, dan perilaku sehingga tidak terurai dan terpecah dari yang tadinya satu unat menjadi banyak. Semua persoalan yang bersifat zhanni dikembalikan kepada yang bersifat qath’i dan dipahami sesuai dengan kerangkanya.
Kami mengajak untuk membuka pintu ijtihad perbandingan antar seluruh mazhab agar bisa sampai kepada fiqih Islam yang integral. Kami juga mengajak untuk mendirikan sejumlah lembaga ilmiah yang menghimpun para wakil dari berbagai mazhab Islam untuk mengkaji dan berijtihad dalam berbagai persoalan yang terkait dengan umat
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Prinsip Islam Moderat : Akhlak yang Mulia

Oleh: Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Kita meyakini bahwa Islam sangat memperhatikan masalah akhlak sampai-sampai Allah SWT memuji Rasul-Nya dengan berkata
Engkau betul-betul berada diatas akhlak yang agung” (Q.S. al Qalam : 4)
Bahkan, Rasul menegaskan misinya kepada kita dengan bersabda,
Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R. Ahmad dari Abu Hurairah)
Lebih dari itu, Islam menjadikan berbagai kewajiban ibadah yang merupakan rukun Islam memiliki sasaran moral dan akhlak. Ia bertujuan merealisasikan akhlak tersebut dalam kehidupan manusia. Apabila sasaran tersebut tidak tercapai, berarti ibadahnya tidak sempurna dan layak tidak diterima oleh Allah.
Bahkan Islam menjadikan akhlak sebagai wujud konkret dari iman yang benar. Al Qur’an menggambarkan kaum beriman sebagai berikut
Orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya; orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna; orang-orang yang menunaikan zakat; orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela sementara siapa mencari yang dibalik itu, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas; serta orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya” (H.R. al Bukhari, al Tirmidzi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Islam mengajarkan berbagai akhlak diatas dalam inti ajaran agamanya yang berupa perintah dan larangan baik yang berasal dari Al Qur’an maupun Sunnah Nabi-Nya. Akhlak-akhlak yang mulia termasuk dalam kewajiban yang Allah perintahkan, sedangkan akhlak yang buruk termasuk kedalam hal yang Allah larang. Sejumlah hadist shahih juga mengaktualisasikan iman dalam keluhuran akhlak
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia menyambungkan tali silaturahim. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, ia tidak boleh menyakiti tetangganya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia mengucapkan yang baik-baik atau diam.” (H.R. al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)
Adil, ihsan, jujur, amanah, menepati janji, mencintai makhluk, sabar saat mendapat ujian dan kesulitan, malu, tawadhu, bangga dengan iman, dermawan, menjaga kehormatan, santun, memberi maaf disaat mampu membalas, menahan emosi, dan berbagai akhlak lain seperti berbakti kepada orang tua, memberi kepada kerabat, berbuat baik kepada tetangga, mengasihi orang miskin, anak yatim, ibnu sabil, dan pembantu, menolong orang yang lemah, membantu orang yang membutuhkan.
Semua akhlak tersebut termasuk yang diperintahkan agama, yang Allah anjurkan kepada kaum beriman, yang dengannya memberikan kabar gembira kepada mereka yang berbuat baik dan bertaqwa. Hal ini sebagaimna disebutkan pada ayat-ayat permulaan dari surat Al Anfal, awal surat al Mukminun, pertengahan surat Al Ra’ad, beberapa ayat terakhir surat al Furqon sebagai potret hamba Allah yang Maha Penyayang, juga pada surat al Dzariyat sebagai potret kaum bertakwa dan berbuat baik, serta dalam surat al Ma’arij dan dalam berbagai surat lainnya.
Adapun kebalikan seperti berbuat aniaya, melampaui batas, berdusta, berkhianat, menipu, menyalahi janji, bertindak kasar, sombong, angkuh, menggunjing, mengadu domba, bersaksi palsu, melakukan kejahatan baik yang tampak maupun yang terselubung, mencandu narkoba, durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahim, menyakiti tetangga, menghardik anak yatim, berbuat kasar kepada orang miskin, tidak saling menasehati dengan kebenaran, kesabaran dan kasih sayang, membiarkan kemungkaran merajalela, mengingkari perbuatan zaiim serta takut menegurnya.
Semua akhlak buruk tersebut dan yang sejenisnya termasuk larangan dan kemungkaran dalam Islam. Bahkan sebagiannya dianggap sebagai dosa besar sebagaimana disebutkan oleh sejumlah nash berikut
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mengajurkan memberi makan orang miskin” (Q.S. al Maun : 1-3).
“Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji atom” (H.R. Muslim, al Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abdullah ibn Mas’ud ra)
Cukuplah seseorang dikatakan jahat ketika ia menghina saudaranya sesama muslim” (H.R. Muslim, Abu Dawud, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah ra)
Seorang wanita masuk kedalam neraka karena kucing yang ia tahan sampai mati” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Akhlak  Islam mencakup semuanya. Tidak ada satupun yang terpisah dari seluruh aspek kehidupan. Hal ini berbeda dengan filsafat peradaban lain yang memisahkan antara ilmu dan akhlak, antara ekonomi dan akhlak, antara politik dan akhlak, serta antara perang dan akhlak. Sementara Islam mengikat semuanya dengan akhlak.
Mukmin adalah orang yang manusia lainnya merasa aman dengannya terkait dengan darah dan harta mereka” (H.R. Tirmidzi, an Nasai, dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah ra).
Islam tidak membenarkan konsep tujuan menghalalkan segala cara. Islam tidak membenarkan penggunaan berbagai sarana yang keluar dari kerangka akhlak untuk mencapai tujuan mulia. Namun tujuan mulia tersebut harus dicapai lewat sarana yang bersih. Mencapai kebenaran dengan cara yang bathil sama sekali tidak bisa dibenarkan. Misalnya membangun masjid dengan uang suap, riba dan penimbunan
Allah Maha Baik hanya menyukai yang baik-baik” (H.R. Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah ra)
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Prinsip Islam Moderat : Ibadah

Oleh: Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad li Ulama al Muslimin)
 
Kita meyakini bahwa Allah telah menciptakan makhluk yang mukallaf (diberi tugas) untuk beribadah secara benar kepada Allah, sebagai Zat yang telah memberikan karunia. Sehingga menjadi hak Tuhan yang Mahatinggi agar manusia beribadah kepada-Nya sebagai tujuan penciptaan mereka.
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada Ku “ (Q.S. Adz Dzariyat : 56)
Ibadah memiliki sejumlah tujuan yaitu

  1. Merealisasikan pengabdian antara hamba dengan Tuhannya
  2. Menguatkan kasih sayang antara hamba dan seluruh manusia sampai makhluk yang terkecil sekalipun
  3. Membersihkan jiwa hamba itu sendiri

Diantara ibadah, ada yang bersifat wajib, ada yang bersifat sunnah, ada yang bersifat lahiriah dan ada pula yang bersifat batiniah.
Dan diantara ibadah wajib yang bersifat lahiri adalah ibadah yang menjadi syiar utama Islam dimana ia termasuk rukun Islam dan bangunannya yang besar. Yaitu shalat, zakat, puasa, dan haji ke baitullah. Siapa yang mengingkari kedudukannya yang wajib atau meremehkan kemuliaannya maka ia keluar dari Islam.
Selanjutnya ada ibadah sunah yang menyertai ibadah di atas. Misalnya shalat sunah, sedekah sunah, puasa sunah, dan haji sunah.
Kemudian terdapat sejumlah ibadah tathawwu’ (sunnah) lainnya seperti membaca Al Qur’an, zikir yang berupa tasbih, tahmid, tahlil, takbir, doa, istighfar dan shalawat atas Nabi saw.
Selain itu ada ibadah yang bersifat batini yang memiliki kedudukan tersendiri dalam agama dan posisi khusus di sisi Allah, misalnya

  • Mengikhlaskan niat untukNya
  • Malu kepadaNya
  • Bersyukur atas nikmatNya
  • Sabar dalam menghadapi ujianNya
  • Ridha dengan ketentuanNya
  • Mengharap rahmatNya
  • Menyadari pengawasanNya

Lalu ada sejumlah ibadah yang bukan berupa ritual, dimana sebagian besarnya untuk menguatkan kasih sayang antara hamba dan seluruh manusia, bahkan kepada makhluk lain dan alam yaitu

  • Berbakti kepada orangtua
  • Berbuat baik kepada tetangga
  • Menolong orang yang tidak punya
  • Amar maruf dan nahi mungkar
  • Memuliakan anak yatim
  • Melawan kezaliman dan kerusakan
  • Serta segala kebaikan yang dipersembahkan muslim bagi manusia meski hanya berupa senyum manis, ucapan yang baik, atau menyingkirkan gangguan dari jalan

Semua itu merupakan makna ibadah. Sebab ibadah adalah istilah untuk semua ucapan, perbuatan yang Allah cintai dan Allah ridhai, entah itu perbuatan anggota badan atau perbuatan hati.
Bahkan kesibukan seseorang dalam bekerja mencari nafkah jika niatnya benar, lalu menjaga batasan-batasan yang Allah tentukan serta memperhatikan hak-hak manusia, maka ia termasuk bentuk ibadah yang paling utama.
Termasuk ibadah yang mensucikan hubungan antara hamba dengan syahwat dirinya yaitu ketika seorang muslim memenuhi syahwatnya dengan cara yang halal, hal itu dianggap sebagai salah satu ibadah. Hal ini sebagaimana dalam sebuah hadist
Persetubuhan yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah jika ada diantara kita yang memenuhi syahwatnya hal itu mendatangkan pahala?” Beliau menjawab, “Ya, bukankah jika ia diletakkan pada yang haram akan mendatangkan dosa? Demikian pula ketika diletakkan pada yang halal, hal itu menjadi pahala untuknya.” (HR. Muslim dari Abi Dzar, HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan demikian ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan dan maliputi seluruh perbuatan manusia baik lahir maupun yang batin. Dengan cara pandang dan niat yang benar, seorang muslim bisa merubah adat dan kebiasaan serta segala hal mubah menjadi ibadah dan taqarrub kepada Tuhan.
Seluruh amal perbuatan tergantung kepada niat. Dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Muttafaq alaih).
Jadi bagi seorang muslim seluruh bumi menjadi mihrab dan masjid. Didalamnya ia beribadah kepada Allah lewat amal dan aktivitas yang ia lakukan.

  • Seorang petani beribadah kepada Allah dengan bercocok tanam secara profesional
  • Seorang pedagang beribadah kepada Allah dengan berbisnis secara profesional
  • Seorang pegawai beribadah kepada Allah dengan melakukan tugas secara profesional
  • Seorang murid beribadah kepada Allah dengan belajar secara sungguh-sungguh

Demikianlah, seluruh manusia beribadah kepada Tuhan dengan mengerjakan apa yang ditugaskan dan diamanahkan kepadanya secara baik. Dengan cara ini kehidupannya menjadi mulia, manusia menjadi bersih, serta umat benar-benar majuselama bersambung kepada Allah. Ketika itulah setan keluar dari sarangnya dalam kondisi kalah.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Prinsip Islam Moderat : Iman Kepada Seluruh Rasul

Oleh: Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad li Ulama al Muslimin)
 
Kita meyakini bahwa berdasarkan hikmah-Nya yang mendalam dan rahmat Nya yang luas, Allah SWT tidak membiarkan manusia begitu saja, dan tidak meninggalkan mereka dengan sia-sia. Akan tetapi, Dia mengutus kepada mereka sejumlah Rasul yang memberikan kabar gembira dan peringatan.
Tidak ada satu umatpun melainkan pada mereka ada orang yang memberikan peringatan” (Q.S. Fathir : 48)
Al Qur’an menetapkan bahwa Allah tidak menghisab dan menghukum manusia kecuali setelah menegakkan hujjah dengan mengirimkan seorang Rasul-Nya yang menyampaikan dakwah dan kewajiban kepada Tuhan.
Kami tidak memberikan siksa sebelum mengutus seorang rasul” (Q.S. Al Isra : 15)
Karena itu sejumlah ulama menegaskan bahwa hujjah dan siksa baru diberikan kepada kaum kafir setelah dakwah Islam sampai kepada mereka. Adapun apabila dakwah tersebut sampai dalam bentuk cacat dan buram maka hujjah tidak bisa ditegakkan atas orang yang lalai dan berseberangan.
Yang pasti seluruh manusia senantiasa membutuhkan risalah para Nabi yang telah Allah muliakan diantara seluruh makhluk-Nya. Mereka adalah orang-orang yang paling suci karakternya, paling mulia akhlaknya, serta paling cerdas dan bijak.
Allah lebih mengetahui dimana Dia meletakkan risalah-Nya” (Q.S. Al An’am : 124).
Akal semata tidak cukup untuk menampilkan seluruh hakikat kebenaran. Terutama yang terkait dengan sesuatu yang Allah sukai dan ridhai dari hamba-Nya. Karena itu, akal membutuhkan pembantu yang bisa meluruskannya ketika keliru dan mengingatkannya ketika menyimpang. Pembantu tersebut adalah wahyu baginya ibarat cahaya diatas cahaya.
Tugas para Rasul adalah mengantar manusia menuju jalan Allah yang lurus yang menampung seluruh makhluk yang Allah cintai. Mereka juga bertugas menerangkan kepada manusia yang adil terkait dengan berbagai persoalan besar yang akan manusia kerapkali berbeda pandangannya didalamnya. Allah berfirman
Kami telah mengutus para Rasul Kami dengan membawa petunjuk. Kami turunkan bersama mereka kitab suci dan timbangan agar manusia tegak di atas keadilan” (Q.S. al Hadid : 25).
Sejarah dan pengalaman umat manusia menegaskan bahwa manusia membutuhkan referensi hukum yang lebih tinggi yang mengantarkan mereka menuju kebaikan dan kemashlahatan, tanpa membiarkan mereka kepada akal semata. Seringkali mereka mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Namun kemudian nafsu, syahwat, kepentingan pribadi dan bersifat sementara mengalahkan mereka sehingga akhirnya mereka menetapkan undang-undang dan aturan yang berbahaya.
Hal ini seperti yang kita saksikan di Amerika ketika sejumlah negara bagian berusaha mengharamkan minuman keras karena bahaya sudah diketahui bersama. Namun, mereka dikalahkan oleh hawa nafsu sehingga mengeluarkan undang-undang yang membolehkannya untuk diproduksi, disebarkan, diminum, dan diperdagangkan.
Sesuai dengan hikmah-Nya, Allah menghendaki setiap Rasul diutus kepada kaumnya dan risalahnya bersifat sementara untuk jangka waktu tertentu sampai diutus Nabi yang lain. Sejalan dengan itu, Allah menghapus hukum-hukum yang ada berdasarkan kehendak-Nya sesuai dengan waktu dan tempatnya. Allah berfirman
Untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (Q.S. Al Maidah : 53).
Bisa saja Nabi tersebut mengamalkan syariat sebelumnya sebagaimana yang terjadi pada sebagian besar Nabi Bani Israil.
Ini berlaku sampai Allah SWT mengutus Rasul penutup, Nabi Muhammad, dengan membawa risalah yang bersifat umum, kekal, dan komprehensif. Ia mencakup semua tempat, kekal sepanjang zaman, dan komprehensif meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Sebagaimana firman Allah
Kami tidak mengutusmu, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta” (Q.S. Al Anbiya).
Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kalian. Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi” (Q.S. Al Ahzab : 40).
Kami turunkan kepadmu Al Kitab (Al Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu serta sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yangberserah diri” (Q.S. An Nahl : 89).
Allah SWT mengetahui bahwa umat manusia telah mencapai masa kematangannya dan Rasul terakhir layak dikirim kepada mereka dengan membawa kitab dan syariat yang terakhir. Syariat tersebut memuat berbagai prinsip dasar yang membuatnya layak berlaku untuk setiap waktu dan tempat.
Dia tanamkan pada syariat tersebut berbagai faktor yang membuatnya abadi, luas, dan lentur sehingga selalu sesuai dengan perkembangan yang ada. Didalamnya Dia juga memberikan formula bagi setiap penyakit dari apotek Islam itu sendiri. Disamping itu, khazanahnya demikian kaya sehingga mampu menjawab semua persoalan serta mampu keluar dari setiap dilema dengan cara yang mudah dan sederhana.
Ciri dari aqidah Islam adalah ia memandang keimanan terhadap seluruh kitab suci yang Allah turunkan dan semua Rasul yang Dia utus sebagai salah satu pilarnya. Dengannya keimanan baru menjadi benar.
Katakanlah (wahai orang-orang mukmin), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, berikut apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, juga aoa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Q.S. Al Baqarah: 136).
Islam adalah akidah yang membangun, bukan menghancurkan. Ia menyempurnakan, meluruskan dan membenarkan ajaran sebelumnya.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Prinsip Islam Moderat: Iman Terhadap Hari Akhir

Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Kita beriman bahwa kematian bukan akhir perjalanan dan bahwa manusia diciptakan untuk kekal selamanya. Kematian hanyalah memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain; dari negeri ujian ke negeri balasan. Hari ini adalah kerja tidak ada hisab. Sementara esok adalah hisab tidak ada kerja. Di akhirat seluruh jiwa diberi balasan sesuai dengan amal yang ia lakukan dan abadi menurut amal yang telah dikerjakan.
Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan meski sebesar biji atom, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Serta barangsiapa yang mengerjakan kejahatan meski sebesar biji atom, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (Q.S. Al Zalzalah : 6-8)
Seluruh risalah langit mengajak untuk beriman kepada hari akhir serta pahala dan hukuman, serta surga dan neraka yang ada didalamnya. Terutama risalah Islam yang menjadikan masalah kebangkitan sebagai salah satu tema utama Al Qur’an sekaligus mendebat kaum musyrikin yang mengingkari keberadaannya.
Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali. Menghidupkan kembali adalah lebih mudah bagiNya” (Q.S. Al Rum : 27)
Selanjutnya Allah menjelaskan kepada mereka bahwa hikmah Tuhan Yang Maha Agung, Maha Mengetahui, dan Mahakuasa menghendaki agar makhluk tidak lenyap begitu saja. Sebab ada orang yang terbunuh, yang diperlakukan sewenang-wenang , serta dianiaya, sementara si penganiaya belum mendapatkan haknya.
Al Qur’an memandang bahwa penciptaan manusia akan menjadi sia-sia tanpa tujuan dan hikmah jika ia tidak dibangkitkan lagi setelah mati guna mendapatkan balasan yang setimpal. Inilah sangkaan kaum materialis atau atheis bahwa selain mati tidak ada lagi selain itu.
Al Qur’an membantah kaum musyrikin yang mengingkari hari kebangkitan dimana dengan sombong mereka meminta agar Allah menghidupkan tulang belulang yang telah hancur. Al Qur’an juga membantah mereka yang tidak memahami keadilan dan kebijaksanaan-Nya dengan menyangka bahwa lembar hidup ini akan segera dilipat, sementara orang yang baik tidak mendapat balasan dari kejahatannya dan orang jahat tidak mendapat balasan dari kejahatannya. Seolah-olah tidak ada Tuhan yang mengatur alam ini.
Disamping itu, Al Qur’an membantah orang-orang yang mengira bahwa di akhirat nanti akan berguna syafaat sejumlah orang yang bisa memberikan syafaat dan syafaat orang-orang dengan pengaruhnya bisa menggugurkan prinsip keadilan. Al Qur’an membantah bahwa sejumlah orang yang melakukan kezaliman dan dosa bisa diberi syafaat oleh tuhan-tuhan yang mereka  sembah selain Allah, atau oleh para dukun yang dijadikan sebagai perantara antara mereka dan Tuhan. Begitulah sangkaan kaum musyrikin dan sangkaan sebagian ahlul kitab. Al Qur’an menyanggah semua klaim palsu tersebut dengan tegas dan jelas.
Siapa yang mati dalam kondisi menyekutukan Allah dan mengingkari-Nya, Allah tidak akan mengijinkan seorangpun untuk memberikan syafaat, maka syafaat tersebut tertolak. Pasalnya syafaat hanya berguna bagi kalangan beriman dan bertauhid yang melakukan kesalahan.
Di akhirat nanti, catatan amal akan dihamparkan dan timbangan akan ditegakkan sehingga setiap orang bisa membaca kitab mereka.
Dan diletakkanlah kitab. Lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap isinya. Mereka berkata, “Sungguh celaka kami. Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?” Mereka melihat seluruh amal yang telah mereka kerjakan ada didalamnya. Tuhanmu tidak pernah berbuat aniaya terhadap siapapun” (Q.S. Al Kahfi : 49).
Dari sini manusia mendapati dan melihat amalnya sudah berada dihadapannya. Demikianlah kitab catatan tersebut menuturkan tentang manusia lalu timbangan datang sebagai pemutus perkara secara adil.
Lalu situasi ini berakhir dengan terbaginya manusia menjadi tiga kelompok yaitu kelompok yang didekatkan, kelompok kanan dan kelompok kiri.
Adapun jika dia termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) maka dia memperoleh ketentraman dan rizki, serta surga yang penuh dengan kenikmatan. Jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu, karena kamu dari golongan kanan. Adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat maka dia mendapat hidangan air yang mendidih dan dibakar didalam jahanam. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar” (Q.S. Al Waqiah: 88-95).
Didalam surga terdapat berbagai bentuk kenikmatan materi dan maknawi yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, serta tidak pernah terlintas dalam benak manusia.
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin lelaki dan perempuan bahwa mereka akan mendapat surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal didalamnya dan(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Ridha Allah adalah lebih besar. Itulah keberuntungan yang sangat agung” (Q.S. At Taubah: 72)
Adapun di neraka terdapat berbagai macam siksa moril dan materil sebagaimana yang disebutkan oleh Al Qur’an dan diingatkan kepada kaum beriman.
Wahai orang-orang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia danbatu, serta penjaganya berupa malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak pernah melanggar apa yang Allah perintahkan pada mereka dan mereka mengerjakan apayang diperintahkan” (Q.S. At Tahrim : 6).
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)