by Danu Wijaya danuw | Jan 8, 2016 | Artikel
Oleh : KH. Rahmat Abdullah
Yang dimaksud dengan at tadhiyah (pengorbanan) disini adalah
Pengorbanan jiwa raga, harta, dan waktu serta segala sesuatu dalam rangka mencapai tujuan. Dan tidak ada kata dakwah di dunia ini tanpa adanya rasa pengorbanan. Jangan merasa bahwa pengorbanan akan hilang begitu saja demi meniti jalan fikrah ini. Tapi itu tak lain adalah sebuah ganjaran yang melimpah dan pahala yang besar. Dan barangsiapa yang tak mau berkorban dengan kami, maka ia berdosa. Karena Allah Ta’ala telah menegaskan hal itu dalam banyak ayat Al Qur’an. Dengan memahami ini, maka Anda akan memahami doktrin “Mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi”
(Hasan al Bana)
Ajruki ’ala qadri nashabiki (Ganjaranmu tergantung kadar lelahmu) H.R. Muslim dari Aisyah ra.
Kemauan Berkorban dan Sikap Jujur
Kemauan ini yang berani menantang bahaya dan segala hambatan seperti halnya akar sehat yang menembus tanah keras dan bebatuan. Ketika kaum beriman dihadang berulang kali, yang muncul adalah keberanian dalam merespon tantangan. Dua kali mereka berhasil memukul mundur serangan kafir Quraisy di Badar dan Uhud dalam rentang waktu yang amat singkat. Ternyata masih disusul dengan serangan sekutu yang secara kuantitatif tak seimbang (gabungan Yahudi, Quraisy, Ghathafan, dan Munafiqun).
Iman dan amal shalih digemukkan dengan pengorbanan. Ruh pengorbanan semakin besar bila semakin sedikit tubuh mendapat kenikmatan syahwatnya. Kisah Bal’am adalah sejenis makhluk yang mengikuti syahwat dunia. Berapapun ia diberi, tetaplah ia menjulur bagaikan seekor anjing (Q.S. Al Araf :175). Ia rela mengorbankan kehormatannya sebagai orang berilmu demi dunia yang tak memuaskan dahaga.
Jadi Orang Besar dengan Resiko Besar
Apa jadinya bila Nabi Ibrahim gagal berkorban dengan meninggalkan Istrinya dan anaknya Ismail di lembah tak bertanaman didekat Kabah (Q.S. Ibrahim: 37)? Apa jadinya bila Ismail yang telah remaja menghindari bapaknya agar tak terjadi pengorbanan besar itu (Q.S. Shaad : 102)?
Jelas mereka akan menjadi sosok yang tak pernah punya peran di panggung sejarah, karena sejarah tak pernah mau mengabadikan orang-orang biasa yang perjalanannya datar tanpa tantangan.
Belakangan datang generasi yang tak merasakan lelahnya berkorban di zaman awal Islam, saat muhajirin dan anshar bahu membahu. Mereka tak merasakan pergi meninggalkan tanah air atau disita harta dan dibunuhi keluarga mereka. Mereka tak merasakan diblokade tiga tahun di Syi’b, dan memakan daun perdu yang membuat luka kerongkongan.
Suatu hari datanglah Mush’ab bin Umair ke majelis Rasulullah SAW dengan pakaian tambal sambil mengenang masa-masanya dimanjakan orang tuanya dalam jahiliyah. Beliau diingatkan para sahabat agar menunggu masa jaya Islam.
Para sahabat bertanya : “Bukankah saat nanti kami lebih baik, ketika masa kemenangan dan ketenangan, karena sepenuh waktu beribadah dan tercukupi kebutuhan pokok?”
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, kamu hari ini lebih baik daripada hari itu.”
Pengorbanan dan Tabiat Dakwah
Ia adalah langkah kembali yang benar dan jalan menghindari eksploitasi pengorbanan manusia bagi kepentingan Fir’aunisme, Hamanisme, Qarunisme, dan Bal’amnisme. Dan target ini sesungguhnya target dakwah itu sendiri yaitu pembebasan.
Pengorbanan dan Tabiat Dakwah menjadi perlindungan bagi hamba-hamba tak berdaya, membawa uang yang mereka peroleh dengan keringat dan darah bagi monster riba yang kejam dan mati rasa, bagi pemilik modal yang arogan dan sadis, dimangsa para kamera elit yang tak bermalu, pemimpin dengan fanatisme yang dendam dan dusta.
Pengorbanan rakyat yang terus dibodohi oleh para pemimpin berbaju paderi dan kiai, yang memanfaatkan kultus individu dan keyakinan lugu tentang kewalian dan adi kodrati. Padahal sang pemimpin lebih dekat kepada ateisme daripada monotaisme bahkan daripada politeisme sekalipun.
Pengorbanan menjadi shahih bila dapat mengantarkan atau mempersembahkan supremasi tertinggi di tangan Allah dan termuliakannya darah dan nyawa. Karenanya, tertutup semua jalan bagi berjayanya para penipu, pemeras dan kalangan yang memperdayakan mayoritas mengambang.
Kisah pengorbanan umat sebelumnya lebih berat, saat Rasul menceritakan kepada sahabatnya. “Sesungguhnya pada sebelum kamu, ada yang disisir dengan besi yang menancap ke bawah tulang, daging atau syarafnya. Semua itu tak mengalihkan merela dari agama. Sungguh Allah akan sempurnakan urusan ini, sampai seseorang dapat pergi sendirian dari Shan’a ke Hadhramaut tanpa takut kepada siapapun kecuali Allah” (Al Buthy, Fiqh Sirah 106)
Hanya Untuk-Nya
Dalil apapun tak terbuka bagi pengorbanan individu untuk kepentingan figur bagi dirinya sendiri. Justru yang ada melimpahnya teks larangan kultus, dan celaan bagi orang yang senang berdiri menyambut kedatangannya.
Ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkunjung ke suatu tempat, rakyat datang dengan sikap merunduk-runduk. Kemudian Ali menasihati “Alangkah ruginya kelelahan yang berujung siksaan. Dan alangkah beruntungnya sikap ringan yang berubah aman bagi mereka”.
Seseorang yang menikmati ketentraman ibadah ritualnya dan melupakan tugas jihad lisan untuk menasihati mencegah kemungkaran di masyarakat ibarat burung unta yang merasa aman karena telah berhasil menyembunyikan kepalanya ke dalam gundukan pasir.
Suatu hari Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk menumpahkan adzab kepada penduduk suatu negeri. “Ya Rabbi, disana ada seorang shalih,” lapor malaikat dan sungguh Allah tahu hal itu. “Justru mulailah dari dia, karena tak pernah wajahnya memerah karena-Ku” (ketersinggungan karena kehormatan Allah dihinakan) H.R. Ahmad
Mahar perjuangan yang mahal tidak hanya menjadi tiket menuju kemenangan generasi ta’sis (perintis), tetapi juga bagi generasi sesudahnya. Dan mereka harus membayar dengan pengorbanan yang sama dalam bentuk, format, dan gaya yang berbeda.
Bagi generasi yang tak terdesak oleh jihad tangan (qital) selalu terbuka pengorbanan dengan berbagai jalan : pengorbanan waktu, perasaan, harta, kesenangan diri, dan lain sebagainya.
Mukmin sejati takkan bergembira karena tertinggal dari kesertaan berkorban, betapapun uzur bagi mereka rukhsah (keringanan), namun “Mereka berpaling dengan mata yang basah menangis karena tak menemukan biaya (untuk biaya angkutan perang).” Q.S. At Taubah : 92.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Dakwatuna, KH Rahmat Abdullah
by Danu Wijaya danuw | Jan 3, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh: KH. Rahmat Abdullah
Yang dimaksud al jihad disini adalah
Suatu kewajiban yang masanya membentang (tak akan berhenti) sampai hari kiamat. Urutan jihad paling tinggi adalah mengangkat senjata berperang di jalan Allah. Sedangkan ditengah-tengah itu adalah jihad dengan lisan, pena, tangan, berkata benar dihadapan penguasa tirani. Adapun urutan paling bawah adalah ingkar hati.
Dakwah tak akan hidup dan berkembang kecuali dengan jihad. Karena kedudukan dakwah yang begitu tinggi dan bentangannya luas, sehingga jihad merupakan jalan untuk bisa menghantarkannya. Firman Allah Ta’ala : “Dan berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad” (Q.S. Al Hajj : 78). Dengan demikian anda sebagai aktivis dakwah tahu akan hakikat doktrin “Jihad adalah jalan kami”
(Hasan Al Banna)
Dari sedikit orang yang tahu, Said Hawa adalah salah seorang yang mampu memberi tahu, bahwa pengertian fardhu kifayah harus dipahami secara benar, akurat dan sehat. Mengqiyaskan fardhu kifayah pada jihad dengan fardhu kifayah pada pengurusan jenazah, jelas tak dapat ditoleransi lagi. Bila tak cukup jumlah rakyat Palestina, Ambon, Poso, Kashmir, Aceh, Chechnya dan lainnya memperjuangkan dirinya maka harus ditagih dari kawasan sekitar hingga memadai alias kifayah.
Sedikit orang yang ingat bahwa jihad adalah jalan yang paling tepat dan terhormat, termasuk dalam menghadapi money laundry saat uang sekotor dan sepanas apapun, sehingga bisa berubah menjadi ghanimah. Dan ghanimah hanya terjadi lewat aksi jihad tangan (qital). Maka sesungguhnya rezeki yang paling mulia datang dari amal paling mulia yaitu jihad, sesuai ungkapan Afdhalul arzaq ta’ti min afdhail amal.
Orang yang bertaubat dengan mengorbankan nyawa dan darahnya, syahid dijalan-Nya lebih berhak atas ampunan Allah. Semoga Allah merahmati Abdullah Ibnul Mubarak dan Fudhail bin Iyadh.
Kita lihat kisah hari-hari Ibnul Mubarak dalam setahun terbagi tiga : ta’lim, haji dan jihad. Seperti kebiasaannya, ia berhaji dan membawa rombongan dengan biaya sendiri. Tiba-tiba ia membatalkan perjalanan haji karena ada perintah jihad. Dari jabhah (front), ia bersurat kepada sahabatnya Fudhail bin Iyadh: Jika kau lihat kami wahai abid (ahli ibadah) Haramain, kau tahu dalam ibadah kau cuma bermain, siapa yang membasahi pipinya dengan air mata, leher kami dengan darah kami membasah.
Dengan suka hati, Fudhail menghadiahinya sebuah hadist yang ia riwayatkan sendiri tentang derajat syahid tak tertembus kecuali dengan shalat malam seumur hidupnya tanpa tidur dan berpuasa sunah seumur hidupnya tanpa berbuka.
Sebagian masyarakat di dunia Islam berada dalam tuntutan kondisi jihad lisan. Sementara lainnya sudah dalam kondisi jihad qital. Yang pertama dapat dilihat dalam unjuk rasa, tulisan-tulisan, orasi dan pengumpulan dana solidaritas dunia Islam di Palestina, Afghanistan, Bosnia, Chechnya, Kosovo, Poso, Ambon, Maluku utara dan lainnya. Termasuk sikap pelarangan minuman ringan Amerika sejak 20 tahun lalu di Malaysia. Karena 1% harga setiap kalengnya akan mengalir ke Tel Aviv, yang kemudian menjadi peluru-peluru ganas bahkan terhadap bayi sekalipun.
Hal yang sama nampak pada fatwa-fatwa Dr Qardhawi sesuai doktrin ekonom umat Islam Al Banna. Jauh beberapa abad sebelum ini, syaikh Izzudin bin Abdus Salam telah mengeluarkan fatwa tegas tentang jual beli tanah dan senjata kepada musuh umat Islam.
Sedikit yang sadar uang Rp 1.000 yang tak laku untuk membeli semangkuk bakso, tetap berguna untuk membeli kertas surat atau pulsa yang ditujukan kepada stasiun kemaksiatan, kebohongan, dan kesombongan baik di TV, radio, majalah dan surat kabar.
Bila setiap hari dialog di media cetak dan elektronik direspon kader muda yang bergairah, dan redaksi menerima 1.000 atau 2.000 pucuk surat serta teguran telepon, dakwah ini akan menjadi subur dengan kader-kader tanggap, sigap dan tidak telmi. Kaum muda cepat berubah dari khalayak dungu yang emosional menjadi kader yang efisien dan efektif. Banyak orang tak malu telanjang didepan umum, mengajarkan ajaran busuk, tawuran bodoh yang sia-sia, mati dalam kemaksiatan dan narkoba. Berbeda jauh dengan siapa yang siap mati dengan syahid dijalan-Nya. Tanpa rasa sakit kecuali seperti satu kali sengatan (H.R. Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban) dan sesudah itu hanya gerbang surga yang terbentang.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Dakwatuna, K.H. Rahmat Abdullah
by Danu Wijaya danuw | Dec 31, 2015 | Artikel, Dakwah
Oleh : K.H. Rahmat Abdullah
Yang diinginkan dari al amal adalah:
Buah dari ilmu dan ikhlas seperti yang disebutkan dalam Q.S. At Taubah ayat 105 : “Beramallah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amal kalian itu dan kalian akan dikembalikan kepada Allah…”
Adapun urutan amal adalah:
- Mengkoreksi dan memperbaiki diri
- Membentuk dan membina keluarga muslim
- Memberi petunjuk dan membimbing masyarakat dengan dakwah
- Membebaskan tanah air dari penguasa asing
- Memperbaiki pemerintahan
- Mengembalikan kepemimpinan dunia kepada umat Islam
- Menjadi soko guru dunia dengan menyebarkan dakwah islamiyah ke seluruh penjuru dunia
(Hasan Al Bana)
Banyak orang merasa telah beramal namun tak ada buah apapun yang dapat dipetik dari amalnya, baik itu perubahan sifat, kelembutan hati ataupun kearifan budi dan keterampilan beramal. Bahkan tak sedikit diantara mereka beramal jahat tetapi mengira beramal baik. Karenanya Al Qur’an selalu mengaitkan amal dengan keshalihan, jadilah amal shalih.
Kata shalih tidak sekedar bermakna baik, tetapi adalah suatu pengertian tentang harmoni dan tanasukhnya (keserasian) suatu amal dengan sasaran, tuntunan, tuntutan, dan daya dukung. Amal disebut shalih bila pelakunya selalu mengisi ruang dan waktu yang seharusnya diisi.
Betapa banyak amal menjadi berlipat ganda nilainya oleh niat baiknya dan itu tak akan terjadi bila pelakunya tak punya ilmu tentang hal tersebut. Dan demikian pula sebaliknya. Barangsiapa yang beramal tanpa dilandasi dengan ilmu, maka bahayanya akan lebih banyak daripada manfaatnya, sebagaimana amal tanpa niat berakibat kelelahan, dan ikhlas tanpa realisasi berakibat buih.
Kita tak punya kekuatan apapun untuk melarang orang bekerja dalam lingkup amal islami, bahkan mereka yang menjalaninya dengan cara yang kita nilai merugikan perjuangan. Sehingga pada saatnya kita mendapat penyikapan negatif atas kesalahan yang dilakukan aktifis amal Islami. Problema kaum khawaraj dan berbagai gerakan lainnya menunjukkan fenomena para pengamal mulai dari yang ikhlas minus fiqih, sampai yang oportunis dan pemanfaatan jargon.
Hama-hama Amal
Sebagaimana tumbuhan, amalpun terancam hama. Riya (beramal untuk dilihat), ujub (kagum diri), sum’ah (beramal untuk populer/didengar), mann (membangkit-bangkit pemberian) adalah hama yang akan memusnahkan amal. Seorang aktifis yang berkurban dengan semua yang dimilikinya harus mengimunisasi amalnya agar disaat hari perjumpaan kelak tak kecewa karena amalnya menjadi haba-an mantsura (debu berterbangan).
Pelipat gandaan kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan para sahabat tak dapat dikejar generasi manapun. Bayangkan, hanya dalam dua dekade saja terjadi perubahan besar pada pola sikap, pandangan hidup, dan tradisi bangsa arab. Kerja besar taghyir (perubahan) ini sukses seperti ungkapan Sayyid Quthb dalam Ma’alim fit Thariq berkat komitmen mereka yang
- Menuntut ilmu bukan sekedar mengoleksi ilmu
- Putus dari jahiliyah kemarin dan menghayati hidup baru dalam Islam, tanpa keinginan sedikitpun untuk kembali ke dalam masa jahiliyah
- Bersiap siaga menunggu komando Al Qur’an seperti prajurit siaga menunggu aba-aba komandan
Kerja untuk Perubahan Masyarakat
Hari ini ribuan surat kabar, radio, dan televisi dunia bekerja diberbagai kawasan untuk menyebarkan fasad (kerusakan). Hati orang-orang dibunuh sebelum jasad mereka dikubur. Kemana ribuan kader yang hanya menggerutu tanpa berbuat apapun kecuali gerutu?Apakah masyarakat dapat berubah dengan gunjingan dari mimbar masjid?
Hari ini rumah umat kebakaran. Tidakkah setiap orang patut memberi bantuan memadamkan api walaupun hanya dengan segelas air; dengan pulsa, perangko, dan kertas surat yang dikirimkan kepada pedagang kerusakan. Menegaskan pengingkarannya terhadap ulah mereka yang sangat menyengsarakan masyarakat dengan siaran dan penerbit fasad. Sebelum akhirnya mengirim darah dan nyawa mereka kesana ketika usaha santun tak lagi membawa hasil.
Banyak orang mengandalkan nisbah diri dengan nama besar suatu organisasi atau jamaah, berbangga dengan kepemimpinan tokoh perubahan sejarah, namun sayang mereka tak pernah merasa defisit, padahal sama sekali tidak meneladani keutamaan mereka. “Barangsiapa lambat amalnya tidak akan menjadi cepat karena nasabnya”. (H.R. Muslim)
Apa yang Harus Dikerjakan?
Orang beramal dihari itu seperti 50 kali kerja kamu hari ini sebagaimana dalam riwayat Abi Daud, Tirmidzi, Nasa’i. Sebagian kerja dakwah memang kata, tetapi tak dapat dituding sebagai cuma omong, seperti halnya penyiar dan reporter yang mengisi daftar profesi dengan omong. Namun perlu dibedakan mana dakwah yang mencukupkan diri dan puas dengan memberi informasi seram kepada khalayak. Bisa pula menina bobokan khalayak dengan mimpi-mimpi indah, atau mengingatkan bahaya seraya memberi jalan keluar. Mampukah mereka tampil sebagai problem solver. Dan hari ini banyak juga orang kaya menjadi problem trader.
Referensi:
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH. Rahmat Abdullah