by Danu Wijaya danuw | Apr 7, 2018 | Artikel, Dakwah
Bagi orang Syiah, terbunuhnya salah satu khulafaur rasyidin, Umar bin Khattab r.a adalah sebuah peristiwa kemenangan. Hal ini sebab dari pemahaman kaum syiah yang membenci sahabat Nabi saw. Terbukti dari kemewahan makam sang pembunuh Amirul Mukminin, Abu Lu’lu’ah al-Majusi di kota Kashan, Isfahan, Iran.
Namun keabsahan kompleks makam itu sendiri masih diragukan, karena menurut riwayat shahih, Abu Lu’lu’ah al-Majusi tewas bunuh diri setelah dia menikam Umar. Hanya Allah yang Maha Mengetahui apakah mayat Abu Lu’lu’ah dibawa oleh seseorang dari Madinah ke Kashan, Isfahan.
Makam yang diklaim sebagai makam Abu Lu’lu’ah itu, disebut-sebut oleh kaum Syiah sebagai tempat yang harus dikunjungi. Makam ini dianggap sebagai peringatan kemenangan mereka atas terbunuhnya Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a.
Sebagaimana dikutip djiebril13.blogspot.co.id dari blog Historical Iran, Abu Lu’lu’ah al Majusi, atau yang oleh orang Syiah dijuluki sebagai Pirooz Nahavandi, dianggap sebagai “pahlawan nasional”. Nama “Pirooz” sendiri diambil dari bahasa Persi “Fairuz” yang artinya “penuh kemenangan”.
Kompleks makam Abu Lu’lu’ah al Majusi terletak di sebuah jalan antara Kashan dan Fin, dibangun pada abad ke-11 M. Kompleks makam ini dibangun dengan gaya arsitektur Persia-Kwarezmi.
Makam ini dilengkapi dengan halaman luas untuk bersantai para peziarah, serta kubah berbentuk kerucut yang megah dan berornamen. Tak hanya itu, kubah ini berhiaskan dengan ornamen keramik berwarna biru turquoise. Langit-langit bagian dalam kubah pun dilukis.
Pada abad ke-14 M, kompleks makam ini dipugar kembali dan sebuah nisan diletakkan di atas kuburannya.
Namun bagi umat Islam, terbunuhnya seorang sahabat Rasulullah shallallahu’alahi wassalam merupakan musibah yang sangat besar. Terlebih apabila yang wafat adalah orang yang telah dijamin surga, serta dipuji oleh Rasulullah shallallahu’alahi wassalam.
Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata,” (QS. Al-Ahzab [33]: 57-58).
Dalil Larangan Membenci Sahabat Nabi saw
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jangan kalian mencela sahabatku, seandainya salah seorang di antara kalian menginfaqkan emas sebesar Gunung Uhud, maka tidaklah menyamai satu mud mereka atau setengahnya.” (HR. Bukhari: 3470 dan Muslim: 2540).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
من سب أصحابي ، فعليه لعنة الله و الملائكة و الناس أجمعين
yang artinya: “Siapa yang mencela sahabatku, atasnya laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.”
(HR. Thabarani dalam Mu’jamul Kabir 12/142, dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah: 2340). Wallahu A’lam.
Sumber : inspiradata
by Danu Wijaya danuw | May 8, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Allah selalu memiliki rencana baik bagi makhluk-makhluknya. Namun kadang kala kita sebagai makhluknya kurang peka dan tidak mengerti terhadap rencana baik yang Allah sembunyikan dalam setiap sendi kehidupan kita itu.
Tentang nasib, kaya dan miskin, mungkin masih banyak di antara kita yang mengumpat dengan mengatakan Allah tidak adil. Padahal dalam salah satu 99 asmanya terdapat satu nama yang menegaskan Allah maha adil.
Nah, berikut adalah 6 perkara yang Allah sembunyikan di dalam 6 perkara lain:
Umar ra. Berkata, “sesungguhnya Allah Ta’ala menyembunyikan 6 perkara di dalam 6 perkara yang lain, yaitu:
- Allah menyembunyikan keridhoan-Nya di dalam taat kepada-Nya.
- Allah menyembunyikan kemarahan-Nya di dalam maksiat kepada-Nya.
- Allah menyembunyikan lailatulqadar di dalam bulan Ramadhan.
- Allah menyembunyikan wali di tengah-tengah manusia.
- Allah menyembunyikan kematian di dalam umur.
- Allah menyembunyikan shalat yang paling utama di dalam shalat 5 waktu.
Allah merahasiakan 6 perkara di dalam 6 perkara tersebut maksudnya agar kita:
- Sungguh-sungguh dalam melaksanakan ta’at
- Betul-betul menjauhi maksiat
- Sungguh-sungguh menyambut lailatul qadar
- Menghormati setiap orang
- Selalu menyiapkan diri untuk mati
- Giat mengerjakan shalat.
Sumber: Nashaihul Ibad/ Karya Ibnu Hajar Al-Asqolani/ Penerbit Pustaka Amani
by Danu Wijaya danuw | Apr 23, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Perempuan dan lelaki memiliki cara berpikir yang berbeda. Dimana perempuan lebih terbiasa menggunakan perasaannya daripada pikirannya. Sebab, kepekaan perempuan itu lebih tajam. Hatinya begitu lembut bagaikan sutra. Jadi, ketika ada hal-hal yang mengganggu ketenangan hatinya, ia akan langsung bereaksi. Dan banyak perempuan yang mengekspresikannya dengan marah-marah.
Hal inilah yang biasanya terjadi dalam rumah tangga. Dimana seorang istri, terkadang selalu mengekspresikan gangguan dalam hatinya dengan marah. Dan hal ini, hampir terjadi pada setiap orang. Termasuk amirul mukminin, sahabat Rasulullah saw Umar bin Khaththab. Tapi, tentunya, ia memiliki cara tersendiri dalam menyikapi istrinya yang marah. Lantas, seperti apa cara dia bersikap terhadap istrinya yang marah?
Imam As Samarqandi meriwayatkan sebuah kisah bahwa seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khaththab. Laki-laki tersebut ingin menceritakan kepada Amirul Mukminin tentang istrinya yang selalu cemberut dan bermuka masam. Ketika sampai di depan pintu rumah Umar, lelaki tersebut mendengar istri Umar, Ummu Kultsum sedang mengomel.
Seketika itu pula lelaki tersebut berbalik dan membatalkan niatnya. Namun, Umar mengetahui dan memanggil lelaki itu dari balik jendela. Lelaki itu kemudian menceritakan niatnya.
Mendengar cerita lelaki itu Umar berkata, “Aku dengarkan baik-baik omelan istriku, dan tidak sedikit pun aku menentangnya karena aku memiliki alasan khusus yaitu; pertama, istriku adalah penghalang antara aku dan neraka. Hatiku selalu berteduh kepadanya sehingga aku terhindar dari perbuatan haram. Kedua, ia menjaga hartaku ketika aku pergi. Ketiga, ia selalu mencuci pakaianku. Keempat, ia membesarkan dan mendidik anak-anakku. Kelima, ia selalu membuatkan masakan untukku.”
Mungkin, kebanyakan di antara kita, ketika istri sedang marah, maka suami pun ikut marah. Sehingga, menimbulkan konflik yang semakin parah. Tapi, hal ini tidak dilakukan oleh Umar. Ia bersikap tenang menghadapi istrinya yang marah. Meski begitu, perbuatan ini bukanlah menunjukkan bahwa Umar adalah suami yang takut istri. Melainkan, ia menghormati seorang istri yang memiliki peran penting dalam hidupnya.
Nah, apa yang dilakukan Umar ini, bisa ditiru oleh Anda, suami-suami yang mengaku cinta pada istrinya. Jangan sampai istri mengatakan bahwa rasa cinta Anda itu palsu padanya, dengan tidak mengerti keadaan dirinya.
Tapi, buktikanlah bahwa Anda sangat menyayangi istri Anda, dengan tidak emosi ketika istri mengeluarkan keluh kesahnya. Melainkan, jadilah partner hidupnya, yang mampu menjadi peredam amarah dan penyejuk keluh kesahnya
by Danu Wijaya danuw | Mar 17, 2017 | Artikel, Dakwah
Umar bin Khattab dan keluarganya memiliki pola hidup sederhana. Saking sederhananya, konon pakaian yang dikenakan sang khalifah itu memiliki empat belas tambalan. Salah satunya ditambal dengan kulit kayu.
Suatu waktu sepulang menuntut ilmu, Abdullah bin Umar menangis di hadapan ayahnya—Umar bin Khattab.
“Kenapa engkau menangis, anakku?” Tanya Umar.
“Teman-teman di sekolah mengejek dan mengolok-olokku karena bajuku penuh dengan tambalan. Di antara mereka mengatakan, ‘Hai Kawan-kawan, perhatikan berapa jumlah tambalan putra Amirul Mukminin itu’,” ungkap Ibnu Umar dengan nada sedih.
Selepas mendengar cerita putranya, Amirul Mukminin bergegas menuju baitul mal (kas negara). Sang khalifah bermaksud meminjam beberapa dinar untuk membelikan baju anaknya.
Karena tidak bertemu dengan pejabat bagian kas negara, ia pun menitipkan surat kepada penjaga kas negara. Berikut isi surat tersebut.
“Dengan surat ini, perkenankanlah aku meminjam uang kas negara sebanyak 4 dinar sampai akhir bulan, pada awal bulan nanti, gajiku langsung dibayarkan untuk melunasi utangku.”
Setelah pejabat itu membaca surat pengajuan utang Umar, maka kemudian dikirimlah surat balasan.
”Dengan segala hormat, surat balasan kepada junjungan khalifah Umar Bin Khatab. Wahai Amirul Mukminin mantapkah keyakinanmu untuk hidup sebulan lagi, untuk melunasi utangmu, agar kamu tidak ragu meminjamkan uang kepadamu. Apa yang Khalifah lakukan terhadap uang kas negara, seandainya meninggal sebelum melunasinya?”
Selesai membaca surat balasan dari pejabat kas negara, Umar langsung menangis. Ia lalu berpesan kepada anaknya.
“Hai anakku sungguh aku tidak mampu membelikan baju baru untukmu dan berangkatlah sekolah seperti biasanya, sebab aku tidak bisa meyakinkan akan pertambahan usiaku sekalipun hanya sesaat.”
Mendengar pesan ayahnya, putra khalifh itu seketika menangis tersedu-sedu.
Sumber: Cukilan Kitab Durrtun Nashihin fil Wa’dhi wal Irsyad karya Utsman bin Hasan al-Khubawi
by Danu Wijaya danuw | Jan 7, 2017 | Artikel, Dakwah
Teringat sebuah kisah dimasa kepemimpinan Umar ibn Al Khatthab yang mengilhami tentang perlindungan alam dan tetumbuhan.
Saat itu, Al Walid ibn Uqbah mengajukan proposal untuk membangun peternakan kuda di Madinah. Permintaan di Hijjaz memang tinggi. Umar mempersilakan Al Walid untuk melaksanakan rencananya dengan syarat : Dilarang keras menyentuh sepucuk pun tetumbuhan Madinah.
Al Walid pusing berat. Jika bukan dari tetumbuhan Madinah, dengan apa dia memberi makan kuda-kuda yang ada dipeternakannya itu?
Hampir batal, tiba-tiba Umar justru mendesaknya untuk melanjutkan rencana pembangunan peternakan kuda di ibukota tersebut. “Bagaimana aku memberi makan kuda-kuda itu jika kau tetap melarangku menyentuh sepucuk pun dedaunan Madinah, hai Amirul Mukminin?”
“Beri makan dari tetumbuhan yang ada di Yaman.” jawab Umar. “Tidak mungkin” bantah Al Walid, “itu akan jadi mahal sekali.”
Biaya untuk mendatangkan tetumbuhan dari Yaman yang subur itu memang akan sangat tinggi. Tetapi Umar memiliki solusi agar tak rugi. Kata Umar, “Pekerjakanlah anak-anak yatim dari keluarga syuhada dipeternakanmu. Lalu aku akan mengeluarkan sertifikat kuda.”
Ini adalah surat jaminan berstempel kekhalifahan yang menyatakan kuda Al Walid adalah kuda yang dibiakkan di Madinah. Sertifikat itu menggaransi bahwa kuda-kuda Al Walid bukan kuda sembarangan. Mereka kuda yang dibesarkan dengan air dan udara istimewa. Yakni air, udara dan tanah yang menjadi saksi langkah-langkah kenabian.
Dengan sertifikat itu, harga jual mereka lebih tinggi. Biaya mendatangkan pakannya dari Yaman pasti terganti. Lalu Umar memerintahkan Al Walid mencari bibit-bibit kuda terbaik. Dari Syam, Romawi, Persia, Mesir dan Afrika didatangkanlah kuda-kuda terbaik. Diuji coba mereka dengan persilangan-persilangan.
Akhirnya kuda-kuda istimewa di peternakan Al Walid pun menjadi kuda ibu kota dengan kualitas dan spesifikasi terbaik, berjamin sertifikat. Umar bahkan membantu modal usaha Al Walid, dengan harta anak yatim yang diamanatkan kepadanya. “Agar tak habis termakan zakat.” Dengan kebijakan itu Umar menyelesaikan beberapa persoalan sekaligus :
- Lapangan kerja para yatim
- Penggerak modal pasif
- Penyediaan kuda-kuda berkualitas
- Pengembangan padang rumput Yaman
- Peramaian lalu lintas Yaman-Madinah
- Penjagaan lingkungan alam Madinah, utamanya kehijauan tetumbuhannya
Alangkah besar keberkahan dari kebijakan ini.