0878 8077 4762 [email protected]

 Perayaan Natal di Kota Suci Bethlehem Sepi karena Keputusan Trump

 
Yerusalem – Perayaan Natal di Bethlehem, yang terletak di Selatan Yerusalem tahun ini berbeda dari sebelumnya. Memanasnya ketegangan di kawasan tersebut setelah pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, membuat perayaan di kota suci tersebut tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya.
Dilansir dari NBCnews, Senin 25 Desember 2017, akibat memanasnya keamanan di tepi barat, Walikota Bethlehem Anton Salman pun memutuskan untuk membatasi perayaan Natal di kotanya. Ulah Trump pun dikatakan merusak ritual keagamaan tahun ini.
“Kami memutuskan untuk membatasi perayaan Natal dan ritual keagamaan sebagai ungkapan penolakan, kemarahan dan simpati terhadap korban yang jatuh dalam demostrasi yang terjadi baru-baru ini,” ujarnya.
Aksi demonstrasi terus digelar di kota tersebut. Demonstran yang berpakaian santa claus turut aksi. Jelang tengah hari pada Minggu waktu setempat ratusan orang berkumpul di Manger Square di dekat lokasi utama perayaan Natal di kota itu. Mereka memprotes deklarasi Yerusalem yang disampaikan Trump.
Seorang turis dari London James Thorburn mengaku hadir di kota tersebut untuk menunjukkan solidaritasnya kepada penduduk Bethlehem. Dia pun berharap ketegangan di kawasan tersebut cepat selesai.
“Saya merasa harus datang untuk mendukung orang-orang Palestina,” ungkapnya.
Uskup Agung Yerusalem, Pierbattista Pizzaballa mengatakan puluhan kelompok turis membatalkan rencana kunjungan karena khawatir dampak setelah pengumuman Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
“Tentu ini menciptakan ketegangan di sekitar Yerusalem dan ini mengalihkan perhatian dari Natal,” kata pejabat tinggi gereja Katolik di Yerusalem tentang pengumuman Trump, seperti dilansir dari AFP, Kamis (24/12).
 
Sumber : Viva

Selain Indonesia, Ini Negara Penentang AS soal Resolusi Yerusalem

 
NEW YORK – Mayoritas negara anggota PBB dalam sidang darurat Majelis Umum telah memilih menolak pengakuan sepihak Amerika Serikat (AS) atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Indonesia termasuk di barisan yang menentang AS dengan mendukung resolusi pembatalan status Yerusalem.
Total 128 negara memilih mendukung resolusi yang berisi penolakan keputusan kontroversial Presiden AS Donald Trump soal Yerusalem pada 6 Desember 2017 lalu. Sembilan negara menentang resolusi atau pro-AS dan 35 negara lainnya memilih abstain.
Berikut rincian daftar negara-negara pro dan anti-AS dalam resolusi Yerusalem. Berikut rinciannya;
128 Negara Pendukung Resolusi Yerusalem PBB atau Penentang AS
1. Afghanistan
2. Albania
3. Aljazair
4. Andorra
5. Angola
6. Armenia
7. Austria
8. Azerbaijan
9. Bahrain
10. Bangladesh
11. Barbados
12. Belarus
13. Belgia
14. Belize
15. Bolivia
16. Botswana
17. Brasil
18. Brunei
19. Bulgaria
20. Burkina Faso
21. Burundi
22. Cabo Verde
23. Kamboja
24. Chad
25. Cile
26. China
27. Komoro
28. Kongo
29. Kosta Rika
30. Pantai Gading
31. Kuba
32. Siprus
33. Republik Rakyat Demokratik Korea (Korea Utara)
34. Denmark
35. Djibouti
36. Dominika
37. Ekuador
38. Mesir
39. Eritrea
40. Estonia
41. Ethiopia
42. Finlandia
43. Prancis
44. Gabon
45. Gambia
46. Jerman
47. Ghana
48. Yunani
49. Grenada
50. Guinea
51. Guyana
52. Islandia
53. India
54. Indonesia
55. Iran
56. Irak
57. Irlandia
58. Italia
59. Jepang
60. Yordania
61. Kazakhstan
62. Kuwait
63. Kyrgyzstan
64. Laos
65. Lebanon
66. Liberia
67. Libya
68. Liechtenstein
69. Lituania
70. Luksemburg
71. Madagaskar
72. Malaysia
73. Maladewa
74. Mali
75. Malta
76. Mauritania
77. Mauritius
78. Monako
79. Montenegro
80. Maroko
81. Mozambik
82. Namibia
83. Nepal
84. Belanda
85. Selandia Baru
86. Nikaragua
87. Niger
88. Nigeria
89. Norwegia
90. Oman
91. Pakistan
92. Papua Nugini
93. Peru
94. Portugal
95. Qatar
96. Republik Korea (Korea Selatan)
97. Rusia
98. Saint Vincent dan Grenadines
99. Arab Saudi
100. Senegal
101. Serbia
102. Seychelles
103. Singapura
104. Slowakia
105. Slovenia
106. Somalia
107. Afrika Selatan
108. Spanyol
109. Sri Lanka
110. Sudan
111. Suriname
112. Swedia
113. Swiss
114. Suriah
115. Tajikistan
116. Thailand
117. Eks Yugoslavia Republik Macedonia
118. Tunisia
119. Turki
120. Uni Emirat Arab
121. Inggris
122. Republik Tanzania
123. Uruguay
124. Uzbekistan
125. Venezuela
126. Vietnam
127. Yaman
128. Zimbabwe
9 Negara Penentang Resolusi Yerusalem atau Pro-AS
1. Guatemala
2. Honduras
3. Israel
4. Kepulauan Marshall
5. Mikronesia
6. Nauru
7. Palau
8. Togo
9. Amerika Serikat
35 Negara Abstain Resolusi Yerusalem
1. Antigua-Barbuda
2. Argentina
3. Australia
4. Bahama
5. Benin
6. Bhutan
7. Bosnia-Herzegovina
8. Kamerun
9. Kanada
10. Kolombia
11. Kroasia
12. Republik Ceko
13. Republik Dominika
14. Equatorial Guinea
15. Fiji
16. Haiti
17. Hungaria
18. Jamaika
19. Kiribati
20. Latvia
21. Lesotho
22. Malawi
23. Meksiko
24. Panama
25. Paraguay
26. Filipina
27. Polandia
28. Rumania
29. Rwanda
30. Kepulauan Solomon
31. Sudan Selatan
32. Trinidad-Tobago
33. Tuvalu
34. Uganda
35. Vanuatu
Diketahui negara kepulauan kecil yang ikut mendukung AS, hanya karena terikat kontrak bantuan ekonomi dari Amerika dan Israel.
 
Sumber : Sindonews

Voting di Majelis Umum PBB soal Yerusalem, 128 Negara Menentang AS

Pemungutan suara (voting) di sidang darurat Majelis Umum PBB, Kamis (21/12/2017), mendapati 128 negara menentang langkah Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Seperti dirilis situs PBB, hanya 9 negara mendukung langkah Amerika, yaitu Israel, Guatemala, Honduras, Togo, Mikronesia, Nauru, Palau, dan Kepulauan Marshall.
Adapun negara-negara yang menyatakan abstain antara lain adalah Filipina, Rumania, Rwanda, Australia, Kanada, Republik Ceko, Kroasia, dan Meksiko. Ukraina yang sebelumnya di Dewan Keamanan PBB mendukung rancangan resolusi yang menolak langkah Amerika soal Yerusalem.
Mayoritas negara anggota PBB dalam sidang darurat Majelis Umum ini menuntut semua negara mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai status Yerusalem. Resolusi sebagai hasil pemungutan suara ini pun menyatakan “penyesalan mendalam” atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem.
Resolusi tersebut menegaskan kembali bahwa status final Yerusalem hanya dapat diselesaikan melalui pembicaraan langsung antara Palestina dan Israel sebagaimana disepakati dalam sejumlah resolusi PBB sebelumnya.
Pemungutan suara di Majelis Umum PBB ini digelar setelah Amerika Serikat pada Senin (18/12/2017) menggunakan hak veto untuk menolak rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB yang meminta negara itu membatalkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Hanya Amerika Serikat yang menentang rancangan resolusi di sidang Dewan Keamanan PBB itu, 1 dari 15 anggota.
Meski didukung 14 dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, resolusi itu gagal terbit karena Amerika menggunakan hak vetonya.
Adapun pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (6/12/2017) dan langsung mendapat penolakan dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Ancaman Amerika Tidak Ditakuti
Sidang darurat Majelis Umum PBB ini digelar atas permintaan dari Palestina dan mendapat dukungan dari sejumlah negara, menyusul langkah veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB.
Sehari sebelum sidang digelar, Amerika Serikat mengancam akan melakukan sanksi ekonomi kepada negara-negara anggota PBB yang bersuara berseberangan dengannya.
Resolusi PBB
Resolusi PBB 377 yang terbit pada 1950 menjadi payung hukum penyelenggaraan sidang darurat Majelis Umum PBB dalam hal Dewan Keamanan PBB gagal membuat resolusi terkait perdamaian karena penggunaan hak veto.
Prosedur ini dikenal dengan sebutan “uniting for peace”. Ketentuan lengkap mengenai prosedur ini dapat disimak lewat linkhttps://www.un.org/en/ga/sessions/emergency.shtml.
Sayangnya, resolusi yang dihasilkan dari sidang darurat Majelis Umum PBB seperti ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Resolusi tersebut juga tak bisa memaksa penggunaan hukum internasional seperti bila resolusi dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.
Namun, resolusi Dewan Keamanan PBB yang terbit pada 1980 terkait larangan bagi setiap negara untuk menggelar misi diplomatik di Yerusalem belum pernah dicabut. Resolusi mengenai status akhir Yerusalem harus diputuskan lewat negosiasi langsung Palestina dan Israel—terbit pada 1967—juga masih berlaku.
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley, menyatakan negaranya tetap akan memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem sekalipun ada resolusi Majelis Umum PBB ini.
“Amerika akan menempatkan kedutaan kami di Yerusalem… Tidak ada resolusi di PBB yang akan membuat perbedaan dalam hal itu,” ujar Haley di sidang Majelis Umum PBB tersebut, seperti dikutip AFP.
Namun, kata Haley, Amerika kini punya pandangan yang tak lagi sama soal PBB dan negara-negara yang berseberangan suara dengannya.
Palestina menyambut gembira resolusi Majelis Umum PBB ini. “(Hasil) pemungutan suara ini adalah kemenangan bagi Palestina,” kata Nabil Abu Rainal, juru bicara Presiden Palestina Abbas, seperti dikutip Reuters.
Adapun Duta Besar Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, menyebut hasil pemungutan suara 128 berbanding 9 ini merupakan kemunduran besar bagi Amerika Serikat.
 
Sumber : AFP

DK PBB Pertimbangkan Resolusi Pembatalan Yerusalem Ibu Kota Israel

NEW YORK – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sedang mempertimbangkan sebuah rancangan resolusi yang bertujuan untuk membatalkan status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Status itu dibuat sepihak oleh Amerika Serikat (AS).
Teks rancangan resolusi diajukan Mesir dan telah diedarkan ke 15 anggota DK PBB pada hari Sabtu. Rancangan resolusi itu tidak menyebut AS atau pun Presiden Donald Trump secara khusus.
Seorang diplomat di DK PBB mengatakan bahwa rancangan resolusi tersebut memiliki dukungan yang luas. Namun, kemungkinan akan diveto oleh Washington.
DK PBB kemungkinan akan membuat keputusan soal rancangan resolusi itu pada hari Senin atau Selasa nanti.
Sebuah resolusi bisa diadopsi jika mendapat dukungan setidaknya dari sembilan suara dari total anggota DK PBB dan tidak diveto oleh AS, Prancis, Inggris, Rusia atau pun China.
Keputusan AS yang secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel diumumkan Presiden Donald Trump, Rabu, 6 Desember 2017. Dalam pengumuman tersebut, Trump juga memerintahkan Departemen Luar Negeri AS mempersiapkan pemindahan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah AS itu memicu kemarahan dunia Arab dan Muslim. Sejak pengumuman Trump, rakyat Palestina terus menggelar demonstrasi “Hari Kemarahan”. Total sudah delapan warga Palestina tewas dibunuh pasukan keamanan Israel dalam demo di berbagai lokasi.
“Menegaskan bahwa setiap keputusan dan tindakan yang dimaksudkan untuk diubah, komposisi karakter, status atau demografis Kota Suci Yerusalem tidak memiliki efek hukum, tidak berlaku dan tidak berlaku lagi dan harus dibatalkan sesuai dengan resolusi yang relevan dari Dewan Keamanan,” bunyi rancangan resolusi yang diajukan Mesir.
“(Resolusi) ini menyerukan kepada semua negara untuk menahan diri dari pembentukan misi diplomatik di Kota Suci Yerusalem, sesuai dengan resolusi 478 (1980) Dewan Keamanan,” lanjut bunyi rancangan resolusi tersebut, yang dikutip Minggu (17/12/2017).
Israel menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kota abadi mereka. Namun, rakyat Palestina menginginkan ibu kota negara masa depan mereka adalah Yerusalem Timur yang diduduki Israel usai perang 1967.
 
Sumber : NYTimes/Sindonews
 
 

Negara Islam OKI Nyatakan Yerusalem sebagai Ibu Kota Palestina

Organisasi Konferensi Islam (OKI) hari ini menyatakan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina dan menyerukan komunitas internasional mengikuti langkah mereka.
Para pemimpin negara muslim mengikuti pertemuan luar biasa OKI di Istanbul, Turki, atas undangan Presiden Recep Tayyip Erdogan sebagai reaksi keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Laman Aljazeera melaporkan, Rabu (13/12), dalam pernyataannya OKI menambahkan, ke-57 negara anggota masih memegang komitmen untuk solusi dunia negara.
OKI juga menyerukan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengakhiri pendudukan Israel di Palestina dan menyatakan pemerintahan Presiden Donald Trump bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari keputusannya.
“Kami menilai ini pengakuan yang berbahaya karena bertujuan mengubah status Yerusalem. Pengakuan ini tidak berarti apa-apa dan tidak mendapat pengakuan apa pun,” ujar OKI.
Pengamat politik senior Aljazeera Marwan Bishara mengatakan rakyat Palestina, Arab, dan muslim masih berkomitmen terhadap perdamaian.
“Sekarang negara muslim yang mendukung Palestina akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Palestina,” kata dia.
“Dan negara-negara Islam OKI juga siap memberikan sanksi terhadap negara muslim yang mengikuti keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.”
 
Sumber : Merdeka