Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
Dari segi istilah bid’ah adalah sebuah perbuatan sesat yang wajib untuk dijauhi dan dihindari. Tidak ada perbedaan dan keraguan menganai hal itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami (agama), maka ia akan tertolak.” Begitu juga hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Qur`an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah sesuatu yang dibuat-buat, dan setiap perbuatan bid’ah adalah sesat.”
Akan tetapi, apa maksud dari bid’ah? Apakah maksud dari kata bid’ah dilihat dari segi bahasa yang dikenal oleh masyarakat umum, sehingga semua hal-hal yang baru yang muncul dalam kehidupan manusia dan belum pernah dilakukan dan belum dikenal oleh Rasulullah saw dan para sahabat disebut dengan bid’ah? Jika demikian, maka seluruh kaum muslimin dari bagian barat dunia hingga ke ujung timur berada dalam kesesatan yang tak bisa mereka hindari. Sebab, mereka tenggelam dalam lautan perbuata bid’ah dalam setiap perbuatan dan tindakan yang mereka lakukan. Bangunan rumah mereka termasuk bid’ah, perlengkapan rumah mereka bid’ah, makanan mereka juga bid’ah, busana mereka juga bid’ah, dan semua kegiatan dan acara yang mereka lakukan adalah bagian dari pebuatan bid’ah yang sesat!
Jika demikian, tidak hanya kaum muslimin di masa sekarang ini yang jatuh ke dalam kesesatan tersebut, akan tetapi ia juga menimpa pada generasi para sahabat hingga datangnya hari kiamat. Pasalnya, kehidupan setelah masa Rasulullah saw akan terus mengalami perubahan dan pembaharuan yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Mereka tidak dapat mengendalikan arus perubahan kehidupan dan mempertahankannya hanya dalam satu bentuk dan satu metode saja. Bahkan, kehidupan singkat yang dialami oleh Rasulullah saw bersama dengan para sahabat telah mereka lalui dengan berbagai macam hal-hal yang baru. Hanya saja para sahabat mendapat karunia yang besar dimana mereka hidup bersama Rasulullah saw.
Beliau menerima realita baru dalam kehidupan ini tanpa ada perasaan risih dan tidak nyaman dengan hal itu. Betapa banyak ‘urf (kebiasaan) baru yang beliau temukan namun tetap ia terima. Betapa banyak metode dan cara yang baru yang muncul dalam kehidupan para sahabat, namun tetap ia akui bahkan didukung olehnya. Tentunya, setelah beliau melihat bahwa hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan hukum Islam. Terlebih lagi jika hal itu dapat mempermudah jalan dalam rangka tegaknya agama Islam. Bahkan dari sini para ulama menetapkan sebuah kaidah, “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah.” Para ulama dari kalangan Hanafiyah dan lainnya juga menetapkan bahwa al-‘urf –dengan syarat-syarat tertentu- adalah salah satu sumber penetapan hukum syari’ah yang tidak boleh disepelekan.
Dengan demikian, maksud dari bid’ah tidak ditinjau dari segi bahasa. Saya juga belum pernah mendapatkan salah seorang ulama dan fuqaha yang memaknai bid’ah secara bahasa. Maka itu, makna bid’ah yang benar ialah dilihat dari istilah syar’i. Lantas apa makna bid’ah secara istilah syar’i?
Ada banyak definisi terkait dengan makna bid’ah. Semuanya memiliki makna yang sama walaupun redaksi dan kalimat yang dipergunakan berbeda-beda. Namun, saya akan memilih dua definisi yang ditegaskan oleh Imam as-Syathibi di dalam kitab al-I’tisham. Hal ini dikarenakan dua faktor; yang pertama karena Imam Syathibi dianggap ulama yang berada di garis terdepan yang membahas mengenai masalah ini dengan analisa dan penjelasan yang rinci. Dan yang kedua, karena ia adalah salah satu ulama yang paling memusuhi perkara bid’ah dan sangat berhati-hati akan hal itu.
Definisi yang pertama dari bid’ah ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah dengan maksud berlebih-berlebihan dalam beribadah kepada Allah azza wa jalla.”
Definisi kedua ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah, yang mana hal itu ia lakukan dengan tujuan yang sama dengan tujuan dari pelaksanaan syari’ah.”
Imam Syathibi memaknai bid’ah dengan dua definisi diatas dengan alasan bahwa ada sebagian ulama yang hanya membatasi makna bid’ah pada ibadah saja. Sebagian ulama yang lain memaknai secara umum mencakup semua jenis amal dan dan perbuatan tidak hanya ibadah, walaupun pada akhirnya beliau lebih cenderung memaknai bid’ah terbatas pada ibadah saja, baik itu terkait dengan ibadah hati yaitu akidah atau ibadah berupa amal yang terlihat yang mencakup ibadah-ibadah lainnya. *bersambung
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc