Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
 
Kita tidak akan membahas dan menganalisa dua definisi diatas. Yang menjadi fokus kita ialah kalimat, “Cara dalam beragama yang dibuat-buat…” Dengan demikian, sebuah perbuatan termasuk dalam perbuatan bid’ah manakala orang yang melakukannya menganggap bahwa perbuatan tersebut adalah bagian dari ibadah (agama) yang tak terpisahkan, walaupun sebenarnya ia bukanlah bagian darinya. Inilah inti dari bid’ah dan titik utama dilaranganya perbuatan bid’ah. Adapun dalil yang memperkuat penjelasan diatas ialah sabda Rasulullah saw “Barang siapa yang membuat-buat hal yang baru dalam urusan kami, maka ia akan tertolak.”
Yang dimaksud dengan “urusan kami” ialah dalam perkara agama. Begitu pula sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Thahawi, “Ada enam hal, jika aku laknat mereka maka Allah juga akan melaknat mereka, dan semua para Nabi akan diterima permintaannya; Orang yang menambahkan perkara agama, orang yang mendustakan takdir Allah, orang yang congkak dan diktator yang menghina orang yang Allah muliakan dan membela orang yang dihinakan oleh-Nya, orang yang meninggalkan sunnahku, orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh-Nya.”
Dari hadits diatas, sudah jelas bahwa sebab tertolaknya perbuatan bid’ah ialah bahwa seorang mubtadi’ (orang yang melakukan bid’ah), memasukkan sebuah amal yang diluar bagian dari agama menjadi salah satu bagian darinya. Semua bentuk penambahan dan perubahan dalam syari’ah adalah perbuatan yang dilarang, karena satu-satunya pemilik aturan hanyalah Allah SWT. Contohnya sangat banyak, diantaranya ialah penambahan shalat yang diluar dari ketentuan syariat, baik itu shalat wajib ataupun shalat sunnah, berpuasa pada hari tertentu karena ada keutamaan pada hari itu padahal tidak ada keterangannya dalam Al-Qur`an atau Sunnah, mengkhususkan satu makanan saja untuk dikonsumsi sebagai bentuk sikap zuhud, dll.
Adapun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ada anggapan bahwa hal itu adalah bagian dari agama atau ibadah, dan ia tujukan untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan, baik duniawi atau pun ukhrawi, maka ia bukanlah perbuatan bid’ah walaupun ia adalah hal yang baru. Ia bisa masuk dalam kategori sunnah hasanah atau sunnah sayyi`ah sebagaimana yang tertera dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Barang siapa yang memberikan contoh yang baik dalam agama Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa yang memberi contoh perbuatan buruk, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka.”
Amalan yang termasuk dalam sunnah hasanah sangatlah banyak, diantaranya ialah perayaan maulid Nabi dan momen keislaman lainnya yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin. Tentu saja perayaan tersebut harus bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat menyebabkan kemudharatan dan menghalangi terwujudnya kemaslahatan. Perayaan-perayaan tersebut bukanlah bagian dari bid’ah, sebab orang yang mengamalkannya tidak menganggap bahwa perayaan tersebut bagian dari prinsip agama, sehingga kalaupun tidak dirayakan ia tidak akan mendapatkan dosa karenanya.
Ia hanyalah sebuah kegiatan kemasyarakatan dengan harapan dapat mewujudkan sebuah kebaikan bagi agama. Selain itu, perayaan tersebut juga bukan bagian dari sunnah sayyi`ah, dengan catatan perayaan tersebut tidak bercampur kemaksiatan atau perbuatan yang bertentangan dengan syari’ah. Apabila dalam perayaan tersebut terdapat kemaksiatan, maka jangan menilai bahwa perayaannya yang haram, akan tetapi kemaksiatan itulah yang haram. Betapa banyak dzikir yang diamalkan oleh seseorang yang disertai dengan pelanggaran. Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa dzikir itulah yang tidak syar’i dan haram?
Memang betul, bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh masyarakat dimana di dalamnya ada pembacaan sirah kehidupan Nabi Muhammad saw adalah sebuah perkara yang baru muncul setelah masa kenabian. Bahkan, ia baru muncul pada permulaan abad ke-6 Hijriyah. Akan tetapi, apakah dengan sebatas itu ia dinamakan sebagai perbuatan bid’ah dan termasuk dalam hadits, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami, maka ia akan tertolak? Kalau memang seperti itu, maka buanglah jauh-jauh semua perkara baru setelah era Rasulullah saw sebab itu semua adalah bid’ah. Yang lebih aneh lagi adalah banyak diantara kita yang melakukan muktamar, seminar, forum pertemuan keislaman, dll tanpa ada anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah. Tidak ada perbedaan antara muktamar dengan perayaan momen keislaman.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengingkari perkara yang baru seperti disebut diatas. Perkara tersebut bisa diterima dan bisa ditolak dilihat dari tujuan dan cara yang dilakukannya. Ia bagaikan air yang mana warnanya dapat berubah-ubah sesuai dengan warna dari wadah yang ia tempati.
Dan pada akhirnya, saya ingin katakan seandainya kita salah dalam memahami makna bid’ah, dan makna yang benar dari bid’ah ialah semua perkara yang baru walaupun ia bukan bagian dari prinsip agama, sebagaimana yang difahami oleh saudara kita yang lain, maka permasalahan ini adalah bagian dari ijtihad. Diantara adab dalam melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, bahwa yang wajib untuk diingkari adalah sebuah kemungkaran yang telah disepakati secara bersama-sama, bukan pada sebuah kemungkaran yang masih diperselisihkan dan termasuk dalam masalah ijtihadiyah.
Sebab hal itu hanya akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan diantara kaum muslimin dan akan meruntuhkan persatuan umat Islam. Di sekeliling kita masih banyak kemungkaran yang nyata yang harus kita bersihkan. Tidak sepantasnya kita berpaling darinya dan memerangi permasalahan yang diperselisishkan. Dan diantara kemungkaran yang nyata yang harus kita lawan adalah kemungkaran yang ada dalam diri kaum muslimin berupa permusuhan dan rasa benci diantara mereka. Ini adalah sebuah bencana dan musibah yang besar yang harus kita perangi agar kita bisa bangkit dari keterpurukan.
Barang siapa yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mulailah dari dalam diri kita sendiri agar kita memiliki benteng yang kokoh untuk menghadapi musuh kita bersama. Benteng yang kokoh itu dibangun atas landasan keikhlasan kepada Allah SWT semata. Ikhlas adalah kunci utama yang dapat menghilangkan segala bentuk perasaan egois dan fanatisme kelompok. Jika kita menang terhadap diri kita, maka kita akan bisa memenangkan agama ini hanya untuk Allah semata. *akhir
SumberKitab Al Islaam Malaadz kulli Mujtama’ al Insaniyyah.
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc