by Ahmad Sodikun S.Pd.I. ahmadsodikun | Jan 13, 2016 | Artikel, Ringkasan Taklim
Kajian Kontemporer Majelis Taklim Al Iman
Bersama:
KH. DR. Ali Akhmadi, MA, Al-Hafizh.
Ahad, 3 Januari 2016
Pkl. 18.00-19.30
Di Pusat Dakwah Yayasan Telaga Insan Beriman
Jl. H. Mursid No.99B, Kebagusan, Jakarta Selatan.
Mencermati kehidupan manusia paling mulia Rasulullah SAW:
- Mendapatkan wahyu mulai umur 40 tahun
- Singkatnya waktu dalam melaksanakan tugas dakwah, hanya 23 tahun
Keberkahan umur yang Allah berikan sehingga dalam waktu yang relatif lebih singkat dapat melaksanakan berbagai tugas yang banyak dan berat dibanding nabi-nabi pendahulunya
Kewajiban kepada umat Muhammad SAW relatif lebih sedikit dibanding umat terdahulu, namun kualitasnya menyamai umat terdahulu
Kewajiban shalat 5 waktu ditambah shalat sunah yang mengiringinya hampir sama jumlahnya bahkan lebih dari kewajiban 50 waktu umat terdahulu
Berbicara waktu adalah berbicara tentang:
Al Waktu Huwal Hayah (Waktu adalah Kehidupan)
Kehidupan adalah lembaran (al-waktu shafahatun), seperti halnya buku, kita tuliskan didalamnya cerita tentang kehidupan. Dan kelak buku itu akan dibacakan kembali.
Semua hal yang kita lakukan baik amal sholeh maupun amal buruk akan ditulis. “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir” (QS. Qoff: 16-18)
Anggota badan akan menjadi saksi atas perbuatan yang dilakukan semasa hidup. “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Yasin:65).
Perbuatan yang dahulu dilakukan ketika didunia akan ditunjukkan bekas-bekasnya. “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12).
Yang selalu berbuat baik akan dihisab dengan mudah serta merasa senang dan puas dengan buku catatannya. (QS. Al Insyiqaq: 7)
Sebaliknya yang selalu berbuat jahat dan dzalim terhadap dirinya akan dimasukkan kedalam neraka dan menyesal sesal-sesalnya. (QS. Al Insyiqaq: 9-11)
Al Waktu Huwas Saif (Waktu Adalah Pedang)
Pedang yang tidak digunakan akan tumpul dan berkarat. Begitu juga dengan waktu yang kita miliki jika tidak digunakan untuk kebaikan ia akan menjadi sulit untuk merangkum berbagai kebaikan.
Sahabat Ali ra berkata: alwaktu kassaif fa in lam taqtaha’u qatha’aka [waktu seperti pedang jika kamu tidak menggunakannya untuk memotong (berbuat kebaikan) maka waktu akan memotongmu (menjadi penyesalan)]
Kelak amal-amal baik akan menjadi teman yang setia hingga menghadap Rabbnya.
Amal buruk akan menjadi beban dan penyebab siksa neraka
Al Waktu Huwal Fulus (Waktu adalah Uang)
Orang barat menganggap “time is money” maksudnya waktu adalah penghasilan
Waktu yang sudah kita lewati menghasilkan apa?
Yang menguntungkan? Atau merugi?
Sahabat pernah bertanya “mata sa’ah” (kapan hari kiamat) Rasulullah menjawab “madza a’dadta lahaa” (apa yang telah kamu persiapkan untuknya?).
Orang yang pandai adalah yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk kehidupan setelah mati
Bagi orang beriman tentulah memahami pentingnya waktu, setiap detiknya harus menghasilkan. Dua rakaat sebelum shubuh misalnya keutamaannya menyamai kebaikan sebesar dunia dan seisinya. Belum lagi fadhilah dari dzikir, sadaqah dan lain sebagainya yang masih bisa digandakan sesuai kehendak Allah SWT.
Waktu adalah modal yang paling utama dalam kehidupan ini. Modal yang Allah berikan sama dengan
1 hari = 24 jam
1 pekan = 168 jam
1 bulan = 720 jam
1 tahun = 8640 jam
Begitu juga yang diberikan kepada Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Yang membedakan adalah keberkahan dari waktu tersebut.
***
Majelis Taklim Al Iman
Tiap Ahad. Pkl. 18.00-19.30
Kebagusan, Jakarta Selatan.
Jadwal Pengajian:
● Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
● Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
● Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.
•••
Salurkan donasi terbaik Anda untuk mendukung program dakwah Majelis Ta’lim Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya
by Danu Wijaya danuw | Jan 13, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : KH Rahmat Abdullah
Yang dimaksud dengan at tho’ah disini adalah
“Melaksanakan sekaligus menjalankan perintah tanpa reserve (menunda) baik dalam kelapangan maupun dalam kesempitan, dalam suka maupun duka”
(Hasan Al Bana)
Di negeri yang malang ini, sikap ekstrem terdiri atas ifrath (keras berlebihan) dan tafrith (lunak berlebihan). Ada orang yang meletakkan akal teronggok begitu saja tanpa kerja. Karenanya seringkali kita temui para pemimpin yang ingin mengambil keuntungan besar, harus menyemai benih-benih kebodohan dan menyikapi langkah pencerahan seseorang sebagai hama yang akan menggagalkan panen mereka.
Sementara sudut ekstrem lawannya membayangkan taat dengan dalil “La tha’ata limakhluqin fi ma’shiyatil Khaliq” (Tidak boleh taat kepada makhluk yang bermaksiat kepada Al Khaliq). Dengan sarat beban duka, kepedihan dan trauma otoriter mereka gunakan dalil tersebut mereka gunakan untuk menolak keputusan syuro jamaah karena tak sejalan dengan persepsi atau ambisi pribadi. Atau mengecam dengan keras perintah seorang pemimpin yang sah karena kesalahan atau maksiat pribadinya.
Betapa selamat umat, komunitas, atau bangsa yang mau berlapang hati untuk mengorbankan kemauan, pandangan dan persepsi pribadinya saat mereka bertentangan dengan sang pemimpin. Lebih beruntung mereka yang tunduk dalam keputusan syura, bahkan sekedar menjalankan perintah seorang pemimpin.
Bangga dalam Taat
Kalaulah mereka tahu kelezatan sebuah ketaatan, sebagaimana seorang Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Sepanjang karirnya sebagai da’i dan panglima tak satupun perintah atasan ditentangnya baik kepada Rasulullah, khalifah Abu Bakar ataupun Umar. Tak satu kata protes disimpannya di hati apalagi di ungkapkan kepada Rasulullah. Bahkan ketika Rasul menugaskan Abu Ubaidah membawa pasukan ke medan berat hanya dengan bekal sekantung makanan, yang dihitung-hitung setiap prajurit hanya mendapat sebutir sehari untuk makan pagi, siang dan malam.
Berapa Ibnu Atban memenuhi panggilan jihad ketika dia sedang bersama istrinya. Sampai-sampai Rasulullah mengatakan :”Saya telah membuatmu tergesa-gesa wahai saudaraku”. Taat sebagai sebuah Wala’ (loyalitas) dalam Tarbiyah yang akan memunculkan thaqatu’t taghyir (kekuatan daya ubah) yang luar biasa. Salah satu pengakuan Rasulullah atas ketaatan perempuan Madinah ialah sikap mereka spontan menyambar apa saja untuk menutupi aurat karena turunnya ayat hijab. Begitupula ketika para penduduk Madinah menerima informasi larangan tuntas meminum khamar, mereka langsung menumpahkan khamr-khamr.
Banyak orang yang mengira, ketaatan hanya ada kepada Rasulullah SAW dan belum tentu untuk masa para sahabat, tabiin atau pemimpin muslim biasa. Ternyata sampai zaman Umar, seorang Abu Ubaidah tetap setia seperti gelar yang diberikan Rasulullah. Sabda beliau : “Setiap umat punya orang kepercayaan (amiin) dan orang kepercayaan umat ini Abu Ubaidah”. Ali tetap mengutus putera-puteranya untuk menjaga khalifah Ustman dari serangan kaum bughat. Hakim (qadhi) Cordova tetap meminta syarat kepada Sultan bila ia tetap ingin menjadi khatib jumat.
Sultan menangis oleh pesan-pesan yang mendalam, ikhlas, dan berani. “Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” (Q.S. Asy Syuara : 128-131)
Pemerintahan Abu Bakar yang singkat adalah pembuktian ketaatan Islami, bukan sekedar suatu pergantian kekuasaan menyusul wafatnya sang Rasul SAW. Alangkah sadarnya generasi hari ini untuk seimbang kepada daya kritis yang tidak menafikan ketaatan dan loyalitas yang tetap memelihara kesuburan daya kritis.
Ketaatan dan Daya Sambut (Istijabah)
Hakikat ketaatan ialah kepada Allah, Rasul-Nya dan sesama orang beriman. Bila ketaatan itu terwujud dalam hubungan antara makhluk berupa rakyat dengan pemimpin, maka keikhlasan adalah hal yang paling dominan sehingga ketaatan itu dapat bernas. Sahabat Saad bin Abi Waqash telah memerankan hal tersebut dengan baik. Kecintaannya kepada ibunya tak membuat imannya luluh sekalipun sang ibu telah mogok makan (dan akhirnya berhasil menyadarkan dan membuatnya beriman kepada Allah).
Sudah sepatutnya doa mustajab Rasulullah menjadi haknya. “ Ya Allah, tetapkanlah bidikannya dan kabulkan doanya”, demikian doa beliau. Sampai-sampai menahan diri dari menyumpahi orang karena fitnah yang dilancarkannya. “Ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta, maka panjangkanlah umurnya dan panjangkanlah miskinnya”.
Seorang Umar Tilmisani pengacara muda yang necis dan lembut berusaha menjadi murid yang taat dan menyesuaikan diri dengan gurunya Al Bana dalam berkorban, hidup sederhana dan berani. Tak ada kekuatan pemerintahan yang membuatnya takut berkata benar dan tak ada penghinaan yang membuatnya kehilangan kesantunan.
Suatu hari disebuah acara resmi yang disiarkan di media cetak dan elektronik Presiden Anwar Sadat menyerang jamaahnya dengan tuduhan keji dan tak mendasar; separatis dan berbagai tuduhan batil. Dengan tenang syaikh Tilmisani menjawab: “ Hal yang lumrah bila aku dizalimi oleh siapapun untuk mengadukanmu kepada Allah sebagai tempat bernaung kaum tertindas. Sekarang aku mendapatkan kezaliman darimu, karenanya tak ada kemampuan bagiku selain mengadukanmu kepada Allah.”
Spontan Sadat gemetar, ngeri dan mengiba-ngiba agar Syaikh menarik pengaduannya kepada Allah. Dengan tegas, tenang dan kuat Syaikh menjawab: “Aku tak mengadukanmu kepada (penguasa) yang zalim. Aku mengadukanmu hanya kepada Tuhan yang adil yang mengetahui apa yang kukatakan”. Itulah pengalaman dihari-hari terakhir hayatnya. Sadat menyerang seorang pemimpin dan mursyid jamaah, sebelum kematian yang perih membungkamnya.
Mustahilkah jaman kini dari istijabah yang menyuburkan hidup para kader dan aktifis dari kucuran doa para masyaikh dan pemimpin atas pribadi-pribadi ataupun kelompok? Ataukah para pembangkang dan kaum arogan telah siap menerima limpahan yang akan menenggelamkan mereka karena kerontang ketaatan di hati mereka? Sebagai pewaris nabi, para ulama dan masyaikh tak akan mengutuki pengikutnya.
Referensi:
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Da’watuna, KH Rahmat Abdullah
by Farid Numan Hasan faridnuman | Jan 12, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Saya pernah mendengar katanya pakaian wanita itu tidak boleh yang warna-warni, yang boleh hanya hitam saja. Benarkah demikian? Mohon penjelasannya. Terima kasih
Jawaban:
Sebagian orang menganggap bahwa wanita muslimah hanya boleh memakai pakaian hitam atau gelap saja. Kadang oknum mereka merendahkan para muslimah yang memakai pakaian berwarna selain gelap, betapa pun jilbabnya dan baju kurungnya begitu lebar dan panjang sempurna, dan mereka tetap menjaga diri dan kehormatannya, tetap mereka dipandang miring karena warna warninya itu. Seolah wanita-wanita ini kurang shalihah dan ‘iffah hanya karena masalah warna pakaiannya.
Pandangan tersebut adalah ghuluw (berlebihan) dan tidak benar, serta bertentangan dengan fakta sejarah yang dilalui wanita-wanita terbaik umat ini pada masa awal salaf. Muslimah berpakaian warna hitam dan gelap, memang umum dipakai oleh wanita pada masa dulu, dan masa kini disebagian negara, tentunya ini memiliki keutamaan, tetapi mereka tidak terlarang memakai pakaian berwarna selain hitam dan gelap, seperti hijau, kuning, merah, biru, dan bermotif.
Sebelum kami sampaikan dalil-dalil, akan kami sampaikan sebuah ulasan bagus dari seorang ulama, yakni Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, katanya:
“Sesungguhnya pembuat syariat tidaklah membatasi warna tertentu bagi pakaian laki-laki dan pakaian wanita. Kadar perhiasan yang serasi pada pakaian tunduk pada tradisi kaum muslimin pada setiap negara. Dapat dimaklumi dan disaksikan masa sekarang ini, dan di semua masa, bahwa hiasan atau warna yang berlaku di antara wanita mukmin pada umumnya dapat diterima oleh ulama mereka di suatu tempat, mungkin terasa aneh bagi kaum muslimin di tempat lain, dan mungkin mereka malah mengingkarinya. Sebagaimana warna dan model berbeda dari satu masa ke masa lain di satu daerah. Benarlah kata Imam Ath Thabari yang mengatakan, “… Sesungguhnya menjaga model zaman termasuk muru’ah (harga diri) selama tidak mengandung dosa dan menyelisihi model serupa dalam rangka mencari ketenaran.” (Fathul Bari, 12/424)
Berikut ini akan kami sampaikan beberapa atsar yang tsaabit (kuat) tentang para shahabiyah yang memakai pakaian dengan beragam warna.
Riwayat pertama: Warna merah
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ، وَالْأَسْوَدِ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَيَرَاهُنَّ فِي اللُّحُفِ الْحُمْرِ»، قَالَ: وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَرَى بِالْمُعَصْفَرِ بَأْسًا
Berkata kepada kami Abu Bakar, katanya: berkata kepada kami ‘Abbad bin Al ‘Awwam, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim (An Nakha’i, pen), bahwa dia bersama ‘Alqamah dan Al Aswad menemui istri-istri Nabi ﷺ: mereka berdua melihat istri-istri nabi memakai mantel berwarna merah. Ibrahim An Nakha’i berpendapat tidak apa-apa pula memakai celupan ‘ushfur (warnanya merah, pen). (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 24739)
Mujahid berkata:
أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرَوْنَ بَأْسًا بِالْحُمْرَةِ لِلنِّسَاء
ِMereka (para sahabat nabi) tidak mempermasalahkan wanita memakai pakaian warna merah. (Ibid, No. 24740)
Ibnu Abi Malikah berkata:
رَأَيْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ دِرْعًا، وَمِلْحَفَةً مُصَبَّغَتَيْنِ بِالْعُصْفُر
ِAku melihat Ummu Salamah (Istri nabi) memakai baju pelindung dan mantel yang keduanya dicelup dengan ‘ushfur (warnanya merah). (Ibid, No. 24741)
Al Qasim (cucu Abu Bakar Ash Shiddiq) berkata:
أَنَّ عَائِشَةَ، كَانَتْ تَلْبَسُ الثِّيَابَ الْمُعَصْفَرَةَ، وَهِيَ مُحْرِمَة
ٌBahwasanya, Aisyah dahulu memakai pakaian hasil celupan ‘ushfur dan saat itu dia sedang ihram. (Ibid, No. 24742. Juga oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq, 2/137. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Fathul Bari, 3/405. Juga Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari, 3/111)
Fathimah binti Mundzir berkata:
أَنَّ أَسْمَاءَ كَانَتْ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ، وَهِيَ مُحْرِمَة
ٌBahwa Asma dahulu memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur dan dia sedang ihram. (Ibid, No. 24745)
Sa’id bin Jubair bercerita:
أَنَّهُ رَأَى بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ مُعَصْفَرَةٌ
Dia melihat sebagian istri Nabiﷺ thawaf di Ka’bah sambil memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur. (Ibid, No. 24748)
Perlu diketahui, bahwa pakaian jika dicelup oleh pewarna ‘ushfur (sejenis tanaman) maka biasanya dominannya adalah merah. Berkata Al Hafizh Ibnu hajar:
فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر
Sesungguhnya apa saja yang dicelupkan ke dalam ‘ushfur maka dominasi warnanya adalah menjadi merah. (Fathul Bari, 10/305. Darul Ma’rifah, Beirut). Seperti ini juga dikatakan oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 2/110)
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan kebolehan memakai warna merah bagi wanita muslimah. Bahkan itu dipakai juga oleh istri-istri Nabi ﷺ seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhuma, dan ketahui oleh laki-laki yang bukan mahram mereka, bahkan ‘Aisyah dan Asma Radhiallahu ‘Anhuma memakainya ketika di luar rumah yakni ketika ihram.
Riwayat kedua: Warna hijau
Dari ‘Ikrimah:
أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ القُرَظِيُّ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ، فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا، قَالَتْ عَائِشَةُ: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى المُؤْمِنَاتُ؟ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا.
Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, lalu mantan istrinya itu dinikahi oleh Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi. ‘Aisyah berkata: “Dia memakai kerudung berwarna hijau,” dia mengadu kepada ‘Aisyah dan terlihat warna hijau pada kulitnya. Ketika datang Rasulullah ﷺ saat itu kaum wanita sedang saling membantu di antara mereka. ‘Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti apa yang dialami para kaum mu’minah, sungguh kulitnya lebih hijau (karena luntur, pen) dibanding pakaian yang dipakainya.” (HR. Bukhari No. 5825)
Kisah shahih ini menunjukkan kebolehan memakai warna hijau, dan ini pun juga diketahui oleh Nabi.
Riwayat ketiga: Kombinasi hitam dan merah
Sakinah berkata:
دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا أَحْمَرَ، وَخِمَارًا أَسْوَدَ
Aku dan ayahku menemui ‘Aisyah, aku melihat dia memakai baju pelindung berwarna merah, dan kerudung berwarna hitam. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf no. 24748).
Riwayat keempat: Motif warna warni
عَنْ أُمِّ خَالِدٍ بِنْتِ خَالِدٍ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ» فَسَكَتَ القَوْمُ، قَالَ: «ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ» فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ، فَأَخَذَ الخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا، وَقَالَ: «أَبْلِي وَأَخْلِقِي» وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَر
ُDari Ummu Khalid binti Khalid: didatangkan ke Nabi ﷺ pakaian yang terdapat motif berwarna hitam kecil-kecil. Nabi bersabda: “Menurut kalian siapa yang pantas memakai pakaian ini?” Mereka terdiam. Beliau bersabda: “Panggilkan kepadaku Ummu Khalid.” Lalu didatangkan Ummu Khalid dan dia dibopong. Lalu Nabi ﷺ mengambil pakaian itu dengan tangannya sendiri dan memakaikan ke Ummu Khalid, lalu bersabda: “Pakailah ini sampai rusak.” Dan, pakaian tesebut juga terdapat corak berwarna hijau dan kuning. (HR. Bukhari No. 5823).
Kisah ini begitu jelas bolehnya muslimah memakai pakaian kombinasi dua warna dan juga bermotif warna warni, di sebutkan beragam warna motif, hitam, hijau, dan kuning. Bahkan Nabi ﷺ sendiri yang memakaikannya kepada Ummu Khalid. Jika ini terlarang pastilah Nabi ﷺ akan mencegahnya tapi justru Beliau yang memakaikannya sendiri. Wallahu A’lam.
Terakhir, ada baiknya kita perhatikan ulasan Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah Rahimahullah:
“Sesungguhnya keserasian dalam perhiasan yang menghiasi pakaian, tidaklah menarik perhatian laki-laki, dan tidak disifati dengan tabarruj, karena tabarruj adalah apabila wanita mempertontonkan kecantikan dan keindahan dirinya sehingga dapat membangkitkan syahwat laki-laki. Ada pun jika pakaian memiliki pakaian yang indah tetapi tidak mencolok, dan dalam model yang indah tapi tidak menarik perhatian, maka model dan warna seperti ini dikenal dan dominan di kalangan muslimah. Semua itu tidak membangkitkan syahwat laki-laki, baik dari niat si wanita maupun dari pengaruh yang disebabkan oleh warna dan model pakaian-pakaian yang beraneka ragam. Ini merupakan perkara yang dapat disaksikan di beberapa negara Islam. Satu model dengan banyak warna tampak pada mala’ah Sudan dan pada pakaian wanita di perkampungan Syiria. Sedangkan macam-macam warna dengan beragam model, tampak pada pakaian para mahasiswi yang sopan di kampus-kampus Mesir dan Kuwait. Kebanyakan mereka memakai pakaian dengan bermacam warna dan model, tetapi tetap terjaga oleh kesucian dan pemeliharaan diri, sehingga mereka dihormati dan dihargai. (Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 4, Hal. 352. GIP, Jakarta)
Wallahu A’lam.
Ustadz Farid Nu’man Hasan
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini