by Farid Numan Hasan faridnuman | Apr 26, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Oleh: Farid Nu’man Hasan
5. Mengembalikan urusan dan kesulitannya dengan bertanya kepada ahlinya.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43).
Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?
Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:
وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب
Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108, Ihya’ Ats Turats Al ‘Arabi, 1985M-1405H. Beirut-Libanon)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَة
“Jika urusan dikembalikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah waktu kehancurannya.” (HR. Bukhari No. 59, 6496. Ibnu Hibban No. 104, Ahmad No. 8729, Al Baghawi No. 4232).
Wallahu A’lam.
Baca juga:
Adab Menuntut Ilmu Syar’i (1)
Adab Menuntut Ilmu Syar’i (2)
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Apr 25, 2016 | Artikel, Qur'anic Corner
Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Wahai saudaraku, jadikanlah Al Qur’an sebagai sahabat bagi kita, jadikan hubungan antara kita dengan Al Qur’an bagaikan hubungan persahabatan. Karena bersahabat dengan Al Qur’an itulah yang akan mendatangkan syafa’at dari Rasulullah. Bukankah Rasulullah bersabda:
إقرؤو القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
“Bacalah Al Qur’an karena ia nanti akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafa’at kepada sahabatnya”
Hubungan persahabatan tidak hanya sekedar diukur dengan tilawah, hafalan, ataupun ayat demi ayat yang kita pelajari, tetapi yang dikatakan bersahabat dengan Al Qur’an, ialah adanya keterikatan hati antara kita dengan Al Qur’an.
Tatkala ada satu hari yang terlewatkan tanpa adanya interaksi dengan Al Qur’an, maka hati pun akan terasa gersang, ada kehampaan dan kegelisahan, karena hati yang bersahabat dengan Al Qur’an hanya merasa tenang ketika ia bertemu dengannya.
[Baca juga: Indahnya Bersahabat dengan Al Quran (bagian 1)]
Bersahabat dengan Al Qur’an yaitu, dengan memuliakannya, memperhatikannya, dan peduli padanya, hingga diri kita tidak merasa nyaman ketika ada Al Qur’an yang dipenuhi debu, merasa risih dan tidak menerima tatkala ada Al Qur’an yang diletakkan di posisi yang tidak layak dan pantas
ذلك و من يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب
“Dan barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itulah tanda hati yang bertaqwa.”
Bersahabat dengan Al Qur’an, ialah dengan cara menjadikannya sebagai pedoman hidup kita, petunjuk dalam tiap langkah kehidupan kita, sebagai kompas untuk mengarahkan jalan menuju surga Allah, yang akhirnya kita terapkan dan tercermin dalam akhlak dan perilaku kita sehari-hari.
[Baca juga: Indahnya Bersahabat dengan Al Quran (bagian 2)]
Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah, ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya, bagaimana akhlaknya Rasulullah? Beliau menjawab: “Akhlaknya Rasulullah adalah Al Qur’an”.
Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah “Al Qur’an yang berjalan diatas bumi”
اللهم اجعل القرآن ربيع قلوبنا و نور صدورنا و ضياء قلوبنا و جلاء أحزاننا و ذهاب همومنا و غمومنا.
Wallahua’lam.
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Apr 25, 2016 | Artikel, Tausiyah Iman
Tausiyah Iman – 16 April 2016
Jika orang lain merasa cukup dengan dunianya, maka hendaknya engkau merasa cukup dengan Allah.
Jika mereka bergembira dengan dunianya, maka bergembiralah engkau dengan keberadaan Allah di sisimu.
Jika kebanyakan manusia merasa nyaman dengan orang-orang yang mereka cintai, maka jadikanlah rasa nyamanmu dengan berada di sisi Allah.
Ustadz Fahmi Bahreisy, Lc
(Baca juga: Keringat Bahagia dan Derita)
•••
Join Channel Telegram: http://tiny.cc/Telegram-AlimanCenterCom
Like Fanpage: fb.com/alimancentercom
•••
Rekening donasi dakwah:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
by Danu Wijaya danuw | Apr 24, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini bahwa keluarga adalah pondasi sosial, sementara pernikahan yang sah merupakan pondasi dasar keluarga. Islam menolak segala cara yang menyimpang seperti nikah sejenis dan lainnya. Karenanya Islam mendorong pernikahan dengan memudahkan sarananya dan ekonominya. Islam menolak berbagai tradisi yang tidak sesuai seperti mahalnya mahar, tingginya beban walimah, berbagai hadiah yang melampaui batas, berlebihan dalam berbagai pakaian dan perhiasan serta berfoya-foya serta hal lain yang Allah dan Rasul-Nya murkai. Sebab semua itu memperlambat pernikahan untuk mengutamakan agama dan akhlak dalam memilih suami atau istri.
“Maka pilihlah –calon istri- yang memiliki agama niscaya engkau bahagia” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra)
Keluarga
Islam membangun hubungan keluarga melalui cinta dan kasih sayang antara suami dan istri disertai upaya untuk saling menunaikan hak dan kewajiban dan pergaulan yang baik.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Identitas & Karakteristik Umat Islam)
“Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Al Baqarah : 228)
Perceraian
Pada dasarnya Islam menghendaki pernikahan yang langgeng dan abadi. Tetapi realitasnya kadang kala kehidupan keluarga seperti neraka sehingga tidak ada alasan perlu dilestarikan akibat perbedaan dan perselisihan itu sendiri.
Terkait dengan melepas ikatan pernikahan Islam telah memilih jalan untuk tetap memperhatikan tabiat wanita disertai upaya mempertahankan kebutuhan rumah tangga semaksimal mungkin. Selain itu, Islam memperhatikan tanggung jawab laki-laki serta kemashlahatan anak.
- Ishlah : Islam mengajak suami dan istri untuk tetap bersabar, toleran, dan berlaku baik. Pihak keluarga masing-masing melakukan ishlah dan menyelesaikan perkaranya
- Rujuk : Suami yang diberi hak untuk mentalak satu istrinya, masih diberi peluang kembali tanpa pernikahan baru selama iddah (3 kali haidh) lewat. Sedangkan istrinya tetap berada dirumah suami tanpa hubungan suami istri sampai rujuk selesai. Apabila tidak rujuk, maka berlanjut menjadi talak bain yaitu suami istri harus berpisah total meskipun masih ada kesempatan kembali dengan pernikahan baru
- Khuluk : dalam Islam istri diberi kewenangan untuk menggugat cerai (khuluk) serta memberi syarat kapanpun bisa diceraikan. Serta hak mengadukan kepengadilan kezaliman yang menimpa dirinya.
- Talak Kedua : Apabila sudah rujuk terjadi perselisihan kembali, wajib mengikuti proses seperti talak satu, sampai terjadi talak kedua. Status talak kedua masih raj’i, yaitu suami bisa kembali kepada istrinya dalam iddah atau sesudahnya seperti perceraian pertama.
- Talak Ketiga : Apabila kedua suami istri yang rujuk setelah perceraian kedua lalu terjadi perselisihan kembali. Perceraian ketiga ini merupakan talak ketiga atau talak bain kubra, yang artinya mantan suami tidak boleh rujuk sampai istrinya telah pernah menikah dengan orang lain. Sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al Baqarah ayat 162 :
“……Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain….”
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Wanita)
Poligami
Dahulu bangsa-bangsa didunia melakukan poligami tanpa aturan. Ketika Islam datang, ia memberikan batas-batas dan aturan serta hanya bagi yang membutuhkan, mampu, dan yakin akan bertindak adil.
“Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, (kawinilah) seorang saja” (Q.S. An Nisa : 3)
Saat ini propaganda persamaan gender mengemuka dengan berbagai aturan perundangan yang memandang poligami sebagai kejahatan yang wajib diberi sanksi. Sementara hubungan lawan jenis diluar pernikahan sebaliknya.
Terdapat sejumlah kondisi pribadi yang membuat seseorang memiliki lebih dari satu istri. Misalnya ketika istrinya mandul atau menderita sakit yang tidak mungkin memberikan layanan kepada suaminya. Sebetulnya suami berhak menceraikan, namun ketika ia mempertahankan istrinya dan menikah lagi dengan wanita lain tentu lebih utama sekaligus membuat istri pertama tetap terhormat.
Peperangan membuat kondisi perempuan lebih banyak dari laki-laki. Disinilah poligami menjadi solusi terbaik secara moral dan kemanusiaan. Syariat Allah datang untuk menyelesaikan realita persoalan.
Orang Tua dan Anak
Islam mengatur hubungan antara orang tua dan anak. Di satu sisi, orang tua mereka wajib membimbing anak-anak mereka secara mnyeluruh baik dari sisi materi, psikologi, serta etika. Sementara disisi lain, anak wajib berbuat baik dan berperilaku terpuji kepada orang tua. Diantara bentuk pendidikan adalah kesempatan belajar anak di usia dini. Yaitu pendidikan yang dapat memberi bekalan kemampuan dan life skill.
Salah satu kewajiban masyarakat dan negara adalah memberikan pendidikan kepada kaum ibu dan anak-anak pada usia dini. Khususnya para yatim dan anak-anak terlantar seperti yang diajarkan Al Qur’an dan Sunnah mendorong untuk berbuat baik kepada mereka. Mereka berhak mendapatkan bagian dalam zakat, sedekah, dan harta rampasan perang.
(Baca juga: Prinsip Islam Moderat: Islam dan Manusia)
Keluarga dalam Islam lebih luas cakupannya, bukan hanya komunitas kecil yang terdiri dari suami istri dan anak-anak, sebab meliputi kerabat dan saudara-saudara dekat. Menjaga hubungan dengan mereka adalah wajib, sementara memutusnya merupakan dosa besar.
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak serta karib-kerabat.” (Q.S. An Nisa : 56).
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Apr 24, 2016 | Artikel, Tausiyah Iman
Tausiyah Iman – 15 April 2016
Penat, capek, dan lelah.
Belum lagi keringat yang mengucur di tubuh dan membasahi pakaian.
Itulah yang kita alami saat selesai bekerja dan beraktifitas.
Namun percayalah bahwa di samping sebagai reaksi tubuh akibat aktivitas dan kerja, keringat juga bisa menjadi saksi atas kebaikan atau keburukan seseorang di hari hisab.
Karena itu berbahagialah kalau masih bisa mengeluarkan keringat. Hanya saja, pastikan bahwa keringat itu keluar karena ibadah, taat, dan amal saleh yang dilakukan dengan sepenuh upaya.
(Baca juga: Cara Meraih Sukses)
Jika tidak, keringat tersebut akan keluar sebagai bentuk dan tanda duka.
Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata,
“Setiap tetes keringat yang tidak keluar di jalan Allah entah karena berhaji, jihad, puasa, qiyam, membantu sesama, atau amar makruf nahi mungkar, maka keringat tersebut akan keluar karena rasa malu dan takut di hari kiamat disertai panjangnya derita.”
Karena itu, biarlah keringat ini keluar dalam rangka kebaikan. Hanya saja, jangan sampai ia mengganggu dan membahayakan diri dan orang di sekitar kita…..
Ustadz Fauzi Bahreisy
(Baca juga: Peran Ibu)
•••
Join Channel Telegram: http://tiny.cc/Telegram-AlimanCenterCom
Like Fanpage: fb.com/alimancentercom
•••
Rekening donasi dakwah:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman