by Danu Wijaya danuw | Aug 22, 2017 | Artikel, Berita, Internasional
SYDNEY – Media yang berbasis di Australia, ABCnet.au, menghapus Israel dari peta dunia dalam sebuah grafik berita. Publikasi ini memicu kemarahan aktivis terkemuka Israel yang menganggap media itu pengkhianat.
Avi Yemini, aktivis Israel dan pendiri Training Krav Maga perusahaan terkait Angkatan Pertahanan Israel (IDF) mem-posting sebuah foto di Facebook yang menunjukkan cuplikan berita ABC di mana Palestina menempati peta Israel.
”Malam terakhir ABC News menghapus Israel dari peta mereka,” tulis Yemini. ”Mereka benar-benar melakukan pekerjaan kotor kaum Islamis. Kita harus segera menyingkirkan para pengkhianat ini,” lanjut dia.
Pihak ABC pun mengecam komentar tersebut dengan menegaskan bahwa grafik berita mereka adalah bagian dari segmen tentang Libanon yang menghapus undang-undang ”menikahkan korban dengan pemerkosa”.
”Cerita ini tentang pencabutan undang-undang di Libanon yang memungkinkan pemerkosa lolos dari hukuman jika mereka menikahi korbannya,” kata pihak ABC melalui seorang juru bicara, yang dilansir news.com.au, Senin (21/8/2017).
”Grafik yang menyertainya menunjukkan negara-negara di mana undang-undang ini telah dicabut (dalam warna biru) dan negara-negara di mana para aktivis secara aktif berusaha mencabutnya (dalam warna kuning). Hukum ini tidak ada di Israel, dan tidak pernah ada, jadi (Israel) tidak ditunjukkan dalam grafik.”
Berita lain tahun lalu, perusahaan Cotton On terpaksa menarik globe yang telay beredar dari toko alat tulis, karena kesalahan tulis, di mana tidak ada nama Israel dalam peta dunia. Hal itu memicu kemarahan komunitas Yahudi.
Sumber : news.com.au/SindoNews
by Danu Wijaya danuw | Aug 22, 2017 | Sejarah
Dahulu di zaman penjajahan belanda, belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat ijin dari pihak pemerintah belanda.
Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji.
Bahkan untuk yang satu ini belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.
Contohnya adalah Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan tempat karantina jemaah haji. Pulau-pulau tersebut dijadikan sebagai gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Dengan alasan kamuflase “untuk menjaga kesehatan”, kadang saat ditemukan adanya jemaah haji yang dinilai berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda, diberi suntik mati dengan alasan beragam.
Maka tak jarang banyak yang tidak kembali ke kampung halaman karena di karantina di pulau onrust dan cipir.
Untuk memudahkan pengawasan para jemaah haji, pemerintah Hindia Belanda memberikan cap (gelar) baru kepada mereka, yaitu “Haji”. Atau ditandai di depan namanya dengan huruf “H” yang berarti orang tersebut telah naik haji ke mekah.
Memang dari sejarahnya, mereka yang ditangkap, diasingkan, dan dipenjarakan adalah mereka yang memiliki cap haji. Ironis.. itulah asal usul mengapa di negeri kita untuk mereka yang telah berhaji diberi gelar “haji”.
Gelar haji bagi orang muslim yang pergi ke mekah untuk menunaikan ibadah naik haji ternyata hanya ada di indonesia dan malaysia.
Dinegara-negara lain tidak ada gelar haji untuk kaum muslimin yang telah melaksanakan ibadah haji tersebut. Gelar haji ini pertama kali dibuat oleh bangsa belanda yang waktu itu sedang menjajah indonesia.
Pemberian gelar tersebut oleh bangsa belanda bukan tanpa maksud, hal ini dikarenakan kebanyakan orang Indonesia yang menjadi penentang belanda pada waktu itu yang berani mengajak masyarakat untuk melawan belanda adalah orang-orang yang baru pulang dari mekkah tersebut
Oleh karena itu belanda menandai orang-orang tersebut dengan huruf “H” di depan namanya, untuk memudahkan mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.
Tetapi mengapa di zaman sekarang seringkali gelar haji itu menjadi seperti kebanggaan dan pembanding orang yang sudah mampu pergi haji dengan yang belum
Bahkan ada beberapa orang yang apabila tidak dipanggil pak haji atau bu haji mereka marah. Harusnya orang yang sudah pernah naik haji bisa merubah semua sifat buruk sewaktu ia belum naik haji menjadi kebaikan.
Sumber : History of Hajj/Kemenag
by Danu Wijaya danuw | Aug 22, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Negara Indonesia menjamin kebebasan memeluk dan menjalankan agama bagi penganutnya. Hal itu terbukti dari penggunaan cadar oleh santriwati Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) asal Pondok Pesantren Tarekat Al-Idrisiyah, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Ternyata bercadar tak menjadi halangan bagi mereka untuk mengibarkan bendera merah putih.
Tim paskibra Ponpes tersebut menjadi viral di media sosial lantaran santriwatinya tetap menggunakan cadar saat menggelar upacara HUT-RI pada 17 Agustus silam. Republika.co.id, berkesempatan mengungkap kisah paskibra bercadar usai wawancara pada Sabtu, (19/8).
Salah seorang santriwati anggota paskibra, Lulu Lutfia mengatakan, diikutsertaannya di ekstrakurikuler paskibra dimulai sejak sejak SMP, meski belum terlalu aktif. Ketertarikannya pada paskibra dimulai dari hobi saja. Tetapi, dia mulai menekuni paskibra secara serius saat bertekad menjadi tim paskibra saat momen upacara HUT RI 2014 silam.
Ketika itu, Ponpes Al-Idrisiyah mendapat giliran menyediakan paskibra untuk upacara HUT-RI tingkat Kecamatan di Cisayong. Sebab Ponpes Al-Idrisiyah tak setiap tahun menyediakan paskibra lantaran digilir ke lembaga pendidikan lain tiap tahun.
“Waktu 2014 itu cuma lihat saja, terus jadi kepengen jadi tim paskibra saat upacara kemerdekaan, akhirnya saya mulai tekun latihan seperti baris berbaris,” kata dara kelas 12 SMA itu yang pada tahun ini akhirnya mewujudkan mimpinya menjadi tim pengibar bendera kemerdekaan.
Senada dengan itu, anggota paskibra lainnya, Mira Siti Khomariyah merasa bangga menjadi pengibar bendera kemerdekaan. Dia merasa amat bersyukur bahwa cadar yang dikenakannya tak menjadi halangan. Malahan, pihak Ponpes mendukungnya habis-habisan supaya tampil sebagai paskibra bercadar.
“Bangga bisa jadi paskibra bercadar, apalagi mesti seleksi juga di ponpes supaya bisa jadi tim inti,” ujar satu dari delapan santriwati bercadar yang tampil pada upacara kemerdekaan lalu.
Mengenai alasan menggunakan cadar, Lulu dan Mira sepakat karena untuk menjaga diri dari kejahatan. Keduanya pun berharap bahwa langkah terobosan sebagai paskibra bercadar bisa diikuti oleh perempuan bercadar di tempat lain. Mereka menegaskan bahwa cadar tak menjadi halangan untuk mecintai Indonesia.
“Kami jadi paskibra ini sebagai bentuk cinta tanah air, bahwa menggunakan cadar bukan berarti kami tidak nasionalis, saya cinta Indonesia,” tutur Lulu yang disambut anggukan Mira.
Pelatih paskibra di Ponpes Al-Idrisiyah, Asep Rahmat mengatakan tak ada yang berbeda dengann bentuk latihan paskibra bercadar.
Baik santriwati bercadar dan santriwan memperoleh porsi latihan sama dua kali sepekan di hari Senin dan Jumat selama satu jam. Bentuk latihannya berupa pelatihan baris-berbaris dan mengibarkan bendera.
Khusus pada pengibaran kemerdekaan lalu, tim paskibra hanya berlatih intensif selama sepekan. Perbedaan baru terasa bahwa ternyata posisi santriwati dan santriwan dalam formasi paskibra dipisah.
“Pola pelatihannya sama, tapi hanya berbeda yang pria dan perempuan dipisah ada jaraknya, karena sejatinya mereka bukan muhrim, jadi tidak boleh dekat-dekat,” ucapnya.
Sehingga pada pengibaran 17 Agustus lalu, pemandangan berbeda dapat terlihat karena tim paskibra pria dan perempuan tak bercampur dalam satu barisan. Anggota paskibra yang menjadi pembawa baki dan pengerek pun merupakan perempuan, tanpa ada pria yang membantu. Perbedaan ini sempat mengundang pertentangan dari unsur Muspika setempat.
“Mulanya disuruh digabung saja yang pria dan perempuannya jadi satu barisan, tapi kami tolak, kami mending mundur batalin jadi tim paskibranya. Tapi, akhirnya disetujui juga karena waktu sudah mepet,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Public Relation Ponpes Al-Idrisiyah, Sandra Yusuf menyatakan, tak ada pemaksaan penggunaan cadar di lingkungan Ponpes Al-Idrisiyah. Semua santriwati murni mengenakan cadar atas kesadaran sendiri setelah memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi cadar.
Ia menyebut paskibra bercadar sebagai bukti bahwa cadar tak menghalangi aktivitas perempuan. “Santriwati tidak dipaksa pakai cadar tapi dari kesadaran sendiri, ketika sudah siap silahkan pakai. Cadar juga tidak menghambat aktivitas, termasuk di kegiatan ekskul,” tuturnya
Sumber : Republika
by Danu Wijaya danuw | Aug 21, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
Belasan anak dengan tekun menirukan bacaan Al Quran. Suara dari mulut-mulut mungil mereka terdengar hingga ke luar mushola. Sesekali, mereka terhenti seraya mengeja huruf dibimbing Zulbakri.
“Abi, ini seperti apa bunyinya,” salah satu anak bertanya. Zulbakri pun dengan sabar menjelaskan dan memberi contoh.
Panggilan abi yang ditujukan pada Zulbakri memperlihatkan kedekatan di antara anak-anak dengan anggota TNI ini. Abi berasal dari bahasa Arab untuk memanggil seseorang yang dianggap seperti bapak atau ayah.
Di sela tugas berat menjaga perbatasan negara, para tentara berbaur dengan masyarakat. Ada yang ikut membangun infrastruktur desa, membantu kegiatan di sekolah, sampai melatih karate dan mengajar ngaji anak-anak setempat. Zulbakri adalah salah satu yang dipercaya untuk mengajar ngaji.
“Dari Batalyon sebelumnya, mereka melihat kondisi di perbatasan ini kurang tenaga guru ngaji. Kalaupun ada tempat mengaji itu bayar. Orangtua murid merasa berat. Batalyon itulah yang pertamakali merintis ada belajar ngaji di sini,” runut anggota TNI berpangkat Praka ini.
Seiring pergantian Batalyon, tugas mengajar ngaji diteruskan ke Batalyon yang bertugas selanjutnya. Jumlah anak yang datang ke mushola di Pos Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) di Entikong, Kalimantan Barat ini juga terus bertambah.
“Awalnya hanya ada tiga anak yang datang mengaji. Sekarang muridnya sudah 30 orang lebih. Ada dua kelas, Iqra dan Al Quran. Mengajinya setiap sore, jam 3 sampai ashar untuk Iqro, dilanjutkan Al Quran sampai jam 5,” paparnya.
Seperti anggota TNI lain yang melakukan berbagai kegiatan sosial, Zulbakri tidak meminta bayaran atas apa yang dia kerjakan di luar pengabdiannya kepada negara.
“Tidak berbayar sama sekali. Ada orangtua yang mau bayar, selalu kami tolak. Kalaupun memaksa bayar, akhirnya kami gunakan untuk pemeliharaan mushola seperti beli kain pel, sapu atau alat kebersihan lainnya,” cerita pria asal Padang, Sumatera Barat tersebut.
Sebagai prajurit, Zulbakri memang sudah siap ditugaskan di mana saja dengan segala risikonya. Namun kesempatan bertugas di Entikong benar-benar disyukurinya.
Menurutnya, perbatasan ini lebih aman dibandingkan Pos Satgas Pamtas lain yang pernah didatanginya. Zulbakri sebelumnya pernah bertugas di Ambon.
“Misalnya di Ambon atau Papua dulu itu masih ada kerusuhan dan gerakan-gerakan separatis. Tingkat kecelakaannya tinggi, seperti ada pembacokan dan sebagainya. Di sini Alhamdulillah tidak ada. Kami pun lebih dekat dengan masyarakat,” kisahnya.
Jauh dari keluarga dan berpindah-pindah wilayah tugas menjadi hal biasa bagi anggota TNI.
Sembilan bulan telah berlalu. Tugas menjaga perbatasan Indonesia-Malaysia berakhir dan digantikan dengan Batalyon lain. Zulbakri mengabarkan bahwa Batalyonnya bersiap kembali ke Padang.
Selama bertugas di Entikong, banyak pengalaman dirasakan Zulbakri. Hal paling berkesan baginya tentu murid-murid mengajinya. Penembak senapan semi otomatis ini mengaku berat berpamitan dengan mereka.
“Pada nangis apalagi yang kecil-kecil itu, gak boleh pulang katanya. Kita pun sedih juga ninggalinnya. Tapi ya bagaimana, namanya tugas,” Zulbakri tertawa bercampur haru.
Di sisi lain, dia tak sabar untuk bisa bertemu lagi dengan istri dan anaknya. Apalagi ini akan menjadi pertama kalinya dia melihat dan menimang langsung si kecil.
Soal anak-anak didiknya, Zulbakri tak khawatir meninggalkan mereka. Pasalnya, tugas mengajar ngaji sudah didelegasikan kepada Satgas penggantinya dari Batalyon Infanteri 642/Kapuas Kalimantan Barat.
“Saya pesan ke anak-anak, rajin-rajin belajar, tetap semangat sampai tercapai cita-cita yang diimpikan,” kenangnya.
Dia akan selalu mengingat momen ketika anak-anak itu mengerubutinya saat jam istirahat, saling berebut ingin duduk dekat sosok yang mereka panggil abi, dan mendengarkan cerita-cerita mereka yang penuh semangat.
“Yang kecil-kecil itu suka ngumpul di dekat saya. Ada saja yang diceritakan. Sampai saya suka bingung cerita mana yang mau didengar. Itu yang bakal bikin kangen,” tutupnya seraya tersenyum.
Sumber : Detik
by Danu Wijaya danuw | Aug 21, 2017 | Artikel, Dakwah
DALAM satu waktu, terkadang kita mengalami beragam masalah yang memiliki tingkat kepentingan yang sama. Kita bingung untuk memilih dan memilah yang mana, sebab di antara pilihan tersebut dirasa sama urgensinya.
Lalu kita berupaya menemukan jalan keluar dengan bermunajat kepada Allah, hendak melakukan shalat istikharah. Namun bingung bagaimana cara menunaikannya. Berikut penjelasannya.
Pengertian
Shalat istikharah adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah, untuk menentukan keputusan yang benar ketika dihadapkan kepada beberapa pilihan keputusan.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat jahiliyah melakukan istikharah (menentukan pilihan) dengan azlam (undian). Setelah Islam datang, Allah melarang cara semacam ini dan diganti dengan shalat istikharah.
Dalil disyariatkannya shalat istikharah.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari para sahabatnya untuk shalat istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surat dari Alquran. Beliau bersabda, “Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu, kemudian hendaklah ia berdoa (doa istikharah).
Doa Istikharah.
Teks doa istikharah dari hadist
“Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub.
Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diinii wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi.
Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih.”
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib.
Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku.
Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha dengannya. Kemudian dia menyebut keinginanya” (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Ibn Hibban, Al-Baihaqi dan yang lainnya).
Ketika shalat istikharah baca apa?
Tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya bacaan surat atau ayat khusus ketika shalat istikharah.
Jadi, orang yang melakukan shalat istikharah bisa membaca surat atau ayat apapun, yang dia hafal.
Syaikh Al-Allamah Zainuddin Al-Iraqi mengatakan, “Aku tidak menemukan satu pun dalil dari berbagai hadis istikharah yang menganjurkan bacaan surat tertentu ketika istikharah.”
Sehingga tidak ada bacaan surat khusus ketika shalat. Artinya cukup membaca Al-Fatihah (ini wajib) dan surat atau ayat yang dihafal.
Yang harus dilakukan selepas shalat istikharah?
Para ulama menjelaskan bahwa setelah istikharah hendaknya seseorang melakukan apa yang sesuai keinginan hatinya. Imam An-Nawawi mengatakan,
إذا استخار مضى لما شرح له صدره
“Jika seseorang melakukan istikharah, maka lanjutkanlah apa yang menjadi keinginan hatinya.”
Apapun hasil akhir setelah istikharah, itulah yang terbaik bagi kita. Meskipun bisa jadi tidak sesuai dengan harapan sebelumnya.
Karena itu, kita harus berusaha ridha dan lapang dada dengan pilihan Allah untuk kita.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan dalam doa di atas, dengan menyatakan, ثُمَّ أَرْضِنِى (kemudian jadikanlah aku ridha dengannya), maksudnya adalah ridha dengan pilihan-Mu ya Allah, meskipun tidak sesuai keinginanku.
Wallahu a’lam.
Disadur : Konsultasi Syariah