Assalamualaikum. Di wilayah kami terjadi perselisihan mengenai beberapa amalan berkaitan dengan penguburan jenazah. Oleh karena itu, mohon penjelasan beberapa permasalahan berikut ini:
1. Apakah berdoa untuk jenazah dilakukan secara pelan (sirr) atau keras (jahr)?
2. Apakah boleh memberikan nasihat kepada para hadirin sebelum jenazah dimakamkan?
3. Apa hukum men-talkin mayat? Dan bagaimana pula bentuk lafalnya?
4. Apakah boleh membaca Al Qur’an setelah pemakaman?
 
Jawaban:
Hendaknya orang-orang bersikap tenang dan diam ketika mengantar jenazah ke kuburan.
Imam Nawawi berkata “Ketahuilah, sesungguhnya yang benar adalah bersikap tenang ketika mengantarkan jenazah, sebagaimana yang dipraktikkan oleh kalangan salaf. Tidak perlu mengeraskan suara dengan bacaan Al Qur’an, zikir ataupun bacaan yang lain. Hal ini dianjurkan karena akan membuat jiwa seseorang lebih tenang dan pikirannya lebih terfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan jenazah, dan inilah yang dituntut dalam kondisi tersebut.”
Adapun berdiri sejenak dan berdoa di atas kubur setelah pemakaman mayat, maka hal itu termasuk sunah.
Hal ini berdasarkan hadits Utsman r.a. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim, dan Hakim berkata, “Sanadnya shahih”. Utsman berkata, “Setelah selesai menguburkan mayat, Nabi saw. berdiri di sisi kuburnya. Lalu beliau bersabda, “Mohonlah ampunan untuk saudara kalian dan mintalah kepada Allah agar dia diteguhkan, karena dia sekarang sedang ditanya“.
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Amr bin Ash ra, dia berkata, “Jika kalian telah menguburkanku, maka lemparkanlah sedikit tanah ke kuburanku dan berdiamlah di atasnya selama waktu orang menyembelih unta dan membagikan dagingnya, sehingga aku dapat menjadikan kalian sebagai penenang bagiku dan melihat jawaban yang akan aku sampaikan kepada para utusan Tuhanku.”
Semua ini hanya dilakukan setelah selesai penguburan. Tidak apa-apa pula disampaikan nasihat singkat untuk para hadirin mengenai kematian dan kehidupan akhirat sebelum dibacakan doa. Karena, hal itu dapat membuat jiwa orang-orang yang hadir menjadi lebih khusyuk dan lebih siap untuk bermunajat kepada Allah.
Diriwayatkan dari Ali ra, dia berkata, “Pada suatu hari kami menghadiri pemakaman jenazah di Baqi’ Gharqad. Lalu Nabi saw. datang dan duduk dan kami pun duduk di sekitar beliau. Ketika itu beliau memegang sebuah tongkat pendek. Beliau menunduk dan mematuk-matukkan ujung tongkat pendek itu ke tanah. Beliau lalu bersabda, “Tidak ada seorangpun dari kalian, tidaklah ada jiwa yang diciptakan, kecuali telah ditetapkan tempatnya di surga atau di neraka, dan telah ditetapkan sebagai orang celaka atau bahagia.” Lalu seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau begitu apa tidak sebaiknya kita berserah diri pada ketetapan itu?”. Beliau menjawab, “Beramallah, karena setiap orang dimudahkan untuk melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang untuknya dia diciptakan“. (Muttafaq ‘Alaih).
Ketika menyebutkan hadits di atas dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari membuat bab yang berjudul “Bab Nasehat dari Seseorang Ketika Berada di Sisi Kuburan dan Para Sahabatnya Duduk di Sekitarnya”.
Adapun men-talkin mayat setelah dikuburkan maka ia merupakan perbuatan yang disunahkan. Hal itu sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Rasyid bin Sa’ad, Dhamrah bin Habib dan Hakim bin Umair –mereka adalah tokoh tabi’in yang tinggal di kota Homs (nama sebuah kota di Suriah), bahwa mereka berkata, “Jika seorang mayat telah dikuburkan dan orang-orang telah selesai melakukan proses penguburan itu, para ulama menganjurkan untuk mentalkin mayat tersebut dengan mengatakan, “Wahai Fulan, ucapkanlah, la ilaha illallah, dan bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah.” Perkataan ini diucapkan sebanyak tiga kali. Lalu diucapkan lagi, “Wahai Fulan, katakanlah bahwa tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan nabiku adalah Muhammad saw.” Setelah itu baru meninggalkan tempat penguburan itu.” (HR. Said bin Manshur dalam Sunannya).
Diriwayatkan pula dari Abu Umamah al-Bahili ra, dia berkata, “Jika aku meninggal, maka perlakukanlah diriku seperti apa yang diperintahkan Rasulullah saw kepada kami dalam mengurus jenazah. Rasulullah saw. mengatakan kepada kami, “Jika salah seorang dari saudara kalian meninggal dunia, lalu kalian telah menimbunkan tanah di kuburnya, maka hendaklah salah satu dari kalian duduk bagian kepalanya dan berkata, “Wahai Fulan bin Fulanah.” Mayat itu mendengar ucapannya tapi dia tidak menjawab. Lalu orang itu berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah.” Mayat itu lalu duduk.
Kemudian dia berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah.” Mayat itu lalu berkata, “Berilah petunjuk pada kami, semoga Allah merahmatimu.” Namun, kalian semua tidak akan merasakan hal itu. Kemudian hendaklah orang yang men-talkin itu mengatakan, “Ketika kamu meninggalkan dunia, ingatlah syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan bahwasanya kamu ridha menjadikan Allah sebagai tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai nabimu dan Al Qur’an sebagai pemimpinmu.”
Maka malaikat Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan mereka dan berkata, “Marilah kita pergi. Untuk apa kita duduk pada orang yang telah diajarkan hujjahnya.” Dan Allah menjadi hujjah baginya dari pertanyaan dua malaikat itu.” Lalu salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika ibunya tidak diketahui?” Maka beliau pun menjawab, “Hendaknya dia menisbatkannya pada Hawa. Yaitu dengan mengatakan, “Wahai Fulan bin Hawa.” (HR. Thabrani, Ibnu Syahin dan lainnya).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Sanad hadits ini adalah shalih (baik). Adh-Dhiya` telah menguatkannya dalam kitab Ahkam-nya.”
Dalam kitab Raudhah ath-Thalibin dan al-Majmu’, Imam Nawawi berkata, “Para ulama hadits dan yang lainnya sepakat untuk bersikap toleran terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhail al-a’mal) dan at-Targhib wat Tarhib.
Di samping itu hadits ini juga diperkuat dengan hadits-hadits yang shahih. Seperti hadits, “Mohonlah agar dia diberi keteguhan“. Juga dikuatkan dengan wasiat ‘Amr bin Ash ra dan hadits di atas serta riwayat dari Amr bin Ash ini adalah shahih. Hal ini senantiasa diamalkan oleh penduduk Syam pada masa orang-orang yang ditauladani hingga saat ini.”
Adapun cara berdoa di atas kubur, apakah dengan jahr ataupun suara lirih, maka terdapat kelapangan dalam hal ini, sehingga dipersilahkan untuk memilih salah satunya.
Memperdebatkan masalah itu tidaklah diridhai Allah dan Rasul-Nya, sebab perdebatan dalam hal ini termasuk perbuatan bid’ah yang tercela. Karena, salah satu bentuk bid’ah adalah mempersempit sesuatu yang dilapangkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Jika Allah memerintahkan suatu perbuatan dalam bentuk umum yang dalam pelaksanaannya mempunyai lebih dari satu kemungkinan, maka perintah itu harus dipahami dalam keumuman dan kelapangan itu. Tidak boleh membatasi maknanya pada satu kemungkinan kecuali berdasarkan dalil.
Rasulullah saw melarang kaum muslimin untuk banyak mempermasalahkan berbagai hal dan banyak bertanya. Beliau menjelaskan bahwa jika Allah SWT mendiamkan suatu masalah, maka itu adalah bentuk rahmat dan kelapangan yang diberikan kepada umat ini.
Beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Tsa’labah al- Khusyaniy, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan berbagai hal maka janganlah kalian menyepelekannya. Allah juga telah mengharamkan berbagai perbuatan, maka janganlah kalian melanggarnya. Allah telah membuat batasan- batasan, maka janganlah kalian melampauinya. Dan Allah mendiamkan banyak hal sebagai bentuk rahmat untuk kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya).” (HR. Daruquthni dan lainnya).
Hadits di atas dishahihkan oleh Ibnu Shalah dan dihasankan oleh Imam Nawawi. At-Taftazani dalam kitab Syarh al-Arba’in an- Nawawiyyah berkata, “Maksud kalimat: “maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)” adalah janganlah bertanya-tanya mengenainya. Karena bertanya-tanya tentang sesuatu yang didiamkan oleh Allah akan mengakibatkan munculnya pembebanan dengan kewajiban yang menyulitkan. Dan masalah seperti ini dihukumi dengan bara`ah ashliyyah (prinsip bebas hukum selama tidak ada ketentuan ).”
Rasulullah saw menjelaskan bahwa sangat buruk tindakan seseorang yang membuat kaum muslimin mengalami kesulitan disebabkan dia banyak bertanya. Diriwayatkan dari ‘Amir bin Sa’ad dari ayahnya, dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Orang muslim yang paling besar kejahatannya terhadap kaum muslimin adalah seseorang yang menanyakan dan mencari tahu tentang sesuatu sehingga hal itu diharamkan kepada semua orang akibat pertanyaannya” (HR. Muslim).
Abu Hurairah r.a. berkata, “Pada suatu hari Rasulullah berkhutbah di hadapan kami. Beliau bersabda, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan ibadah haji atas kalian, maka lakukanlah.” Seorang sahabat lalu bertanya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Beliau terdiam hingga sahabat itu mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Kalau aku mengatakan, ‘Ya’, niscaya akan menjadi kewajiban dan kalian tidak akan sanggup melakukannnya.” Beliau lalu berkata lagi, “Biarlah seperti yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya para umat sebelum kalian telah binasa akibat tindakan mereka yang suka bertanya dan berselisih dengan para nabi mereka. Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan sesuatu maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian. Dan jika aku melarang kalian dari melakukan sesuatu maka tinggalkanlah” (Muttafaq ‘alaih).
Al-Allamah al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir , “Maksud hadits ini adalah: “Janganlah kalian menyampaikan pertanyaan kepadaku selama aku mendiamkan kalian melakukan amalan kalian. Maka janganlah kalian banyak bertanya mengenai sesuatu yang tidak penting dalam urusan agama kalian, selama aku membiarkan kalian dan tidak berkata apa-apa kepada kalian. Karena bisa jadi hal itu akan menjadi sesuatu kewajiban dan beban yang memberatkan. Ambillah sesuai apa yang aku perintahkan dan jangan mencari-cari persoalan lain seperti yang dilakukan oleh para Ahlul Kitab. Janganlah sering menyelidiki sesuatu yang telah jelas secara lahir meskipun mempunyai kemungkinan makna yang lain, karena hal itu dapat menyebabkan bertambahnya jawaban atas hal itu. Sehingga, tindakan itu akan menyerupai kisah bangsa Israil yang mempersulit diri sehingga mereka pun dipersulit. Maka Rasulullah saw. khawatir akan terjadi hal serupa pada umatnya.”
Adapun berdoa bersama-sama, maka kemungkinan untuk dikabulkan lebih besar, juga membuat hati lebih terjaga, pikiran lebih terfokus, dan membuat lebih khusyuk di hadapan Allah SWT, terutama jika doa itu diawali dengan nasihat singkat. Rasulullah saw bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, “Pertolongan Allah bersama jamaah.” (HR. Nasa`i dan Tirmidzi, serta dihahihkan oleh Tirmidzi).
Membaca sejumlah ayat Al Qur’an untuk mayat setelah penguburan adalah disyariatkan oleh agama. Al-Baihaqi, dalam as-Sunan al-Kubra, meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dengan sanad hasan –sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi — bahwa dia menganjurkan untuk membaca awal dan akhir surat al-Baqarah setelah prosesi pemakaman.
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, “Bacakanlah surat Yasin atas orang-orang yang meninggal dari kalian” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).
Ketika mengomentari hadits di atas Imam al-Qurthubi dalam at-Tadzkirah berkata, “Ini dapat berarti membacakannya di sisi mayit ketika dia meninggal dunia dan dapat juga di sisi kuburannya.”
Dalam kitab al-Adzkar , an-Nawawi berkata, “Dianjurkan untuk duduk di sekitar kubur setelah proses pemakaman selama waktu seseorang menyembelih unta dan membagi-bagikan dagingnya. Orang-orang yang duduk itu hendaknya membaca Al Qur’an dan berdoa untuk mayat, serta memberi nasihat dan menceritakan kisah para shalihin kepada hadirin. Imam Syafi’i dan para ulama madzhab Syafi’i menyatakan bahwa dianjurkan untuk membaca sejumlah ayat Al Qur’an di tempat penguburan. Dan akan lebih baik jika dapat mengkhatamkan Al Qur’an di sana.”
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 452
Tanggal : 27/02/2006
Penerjemah : Fahmi Bahreisy, Lc