Hukum-Hukum Shaum (Puasa) oleh Ustadz Hilman Rosyad, Lc
Video Program Spesial Ramadhan: Hukum-Hukum Shaum (Puasa) oleh Ust. Hilman Rosyad, Lc.
Youtube HD: https://youtu.be/iMCFHFUItYc
AlimanCenter.Com | Membuka Wawasan – Menggugah Kesadaran
Video Program Spesial Ramadhan: Hukum-Hukum Shaum (Puasa) oleh Ust. Hilman Rosyad, Lc.
Youtube HD: https://youtu.be/iMCFHFUItYc
AlimanCenter.Com | Membuka Wawasan – Menggugah Kesadaran
Oleh : Sayyid Sabiq
Rukun puasa ada dua. Dari keduanya akan terwujud hakikat puasa yang sebenarnya. Dua rukun itu adalah:
1. Menahan diri dari semua yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.
Allah berfirman, “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetpkan Allah bagi kalian, makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Setelah itu, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Maksud benang putih dan benang hitam adalah terangnya siang dan gelapnya malam, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Adi bin Hatim bercerita,
“Ketika turun ayat, “……..hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam…..”
Aku ambil seutas benang hitam dan seutas bang putih, lalu aku taruh di bawah bantal dan aku amati di waktu malam, dan ternyata tidak dapat aku bedakan.
Maka pagi-pagi, aku datang menemui Rasulullah saw dan aku ceritakan kepada beliau hal itu. Nabi saw bersabda, ‘maksudnya adalah gelapnya malam dan terangnya siang.‘”
2. Berniat.
Allah berfirman, “Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata.” (Al-Bayyinah: 5)
Rasulullah saw, juga bersabda, “Setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya.”
Berniat puasa hendaknya sebelum fajar, di tiap malam di hari-hari Ramadhan, sebagaimana disebutkan oleh Hafsah bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
“Barangsiapa yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (H.R. Ahmad dan Ash-habus Sunan. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Niat berpuasa boleh dilakukan kapan saja, yang penting di malam hari dan tidak harus diucapkan, karena niat itu di hati dan bukan di lisan.
Hakikat niat adalah menyengaja melakukan suatu perbuatan untuk menaati perintah Allah Ta’ala dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh karena itu, siapa yang makan sahur di malam hari dengan maksud akan berpuasa sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, berarti ia telah berniat.
Begitu juga dengan orang yang bertekad akan menghindari segala hal yang dapat membatalkan puasa di siang hari dengan ikhlas karena Allah, maka ia telah berniat, walaupun ia tidak makan sahur.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa niat puasa sunah boleh dilakukan di siang hari, jika orang itu belum makan dan minum.
(Baca juga: Siapa Saja Yang Diwajibkan Puasa?)
Aisyah menceritakan, “Pada suatu hari, Rasulullah saw. masuk rumah dan berkata, “Kalian punya makanan?’ Kami menjawab, ‘Tidak ada.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu aku berpuasa.‘” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Ulama Hanafi mensyaratkan agar niat tersebut sebelum zawal (matahari bergeser ke sisi barat dari posisi tengah). Ini juga merupakan pendapat yang masyhur dari dua pendapat Syafi’i. Yang zahir dari pendapat Ibnu Mas’ud dan pendapat Ahmad bahwa niat tersebut sah, baik sebelum zawal maupun sesudah zawal.
Sumber:
Fiqh Sunnah Jilid I, Sayyid Sabiq, Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat
Oleh : Sayyid Sabiq
Ijma’ ulama memutuskan bahwa seorang muslim yang berakal, sudah balig, sehat, dan mukim (tidak musafir) diwajibkan berpuasa. Bagi wanita, harus suci dari haid dan nifas. Jadi, orang kafir, orang gila, anak-anak, orang sakit, musafir, perempuan yang sedang haid atau nifas, orang tua, dan wanita hamil atau menyusui tidak diwajibkan berpuasa.
Di antara mereka ini, ada yang tidak diwajibkan berpuasa sama sekali, seperti orang kafir dan orang gila. Ada yang walinya diminta untuk menyuruhnya berpuasa. Ada yang wajib tidak berpuasa dan harus mengqadha. Ada yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa dan diharuskan membayar fidyah. Berikut ini penjelasannya:
1. Orang Kafir dan Orang Gila
Puasa merupakan ibadah dalam agama Islam, karena itu orang nonmuslim tidak diwajibkan berpuasa. Sedangkan orang gila tidak termasuk mukallaf karena keberadaan akal adalah tolok ukur masuknya seseorang menjadi mukallaf dan orang gila sudah kehilangan akalnya.
Ali ra., meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Pena (catatan amal perbuatan) diangkat dari tiga golongan: orang gila hingga akalnya kembali normal, orang tidur hingga ia bangun, dan anak kecil hingga ia bermimpi (balig).” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
2. Puasa Anak-Anak
Meskipun anak-anak tidak diwajibkan berpuasa, tetapi sang wali hendaklah menyuruhnya berpuasa agar si anak terbiasa berpuasa sejak kecil, selama anak itu mampu melakukannya.
Rubayyi’ binti Muawwidz meriwayatkan bahwa di pagi hari Asyura’,
Rasulullah mengirim utusan ke desa-desa kaum Anshar untuk menyampaikan, “Barangsiapa yang telah berpuasa dari pagi hari, hendaknya ia meneruskan puasanya, dan barangsiapa yang sejak pagi tidak puasa maka hendaknya ia berpuasa di waktu yang tersisa.”
(Baca juga: Ancaman Bagi yang Tidak Berpuasa Ramadhan)
Setelah itu, kami pun berpuasa di hari Asyura, dan kami menyuruh anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa. Kami membawa mereka ke masjid. Kami buatkan mereka boneka dari bulu domba. Jika ada yang menangis karena lapar, kami berikan boneka itu. Begitu terus hingga tiba waktu berbuka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sumber :
Fiqih Sunah Jilid I, Sayyid Sabiq, Penerbit Al-I’tishom Cahaya Umat
Video Program Spesial Ramadhan: Makna dan Pengertian Shaum (Puasa) oleh Ust. Hilman Rosyad, Lc.
Youtube HD: https://youtu.be/EwgusH0GRm0
AlimanCenter.Com | Membuka Wawasan – Menggugah Kesadaran
Oleh: Sayyid Sabiq
1. Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Ikatan Islam dan sendi agama ada tiga. Di atas tiga hal itulah, Islam didirikan. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu diantaranya, berarti ia kafir dan nyawanya tidak terlindungi. Tiga hal itu adalah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, shalat fardhu, dan puasa Ramadhan.” (H.R. Abu Ya’la dan Dailami). Hadits ini dishahihkan oleh Dzahabi.
2. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,
“Barangsiapa tidak berpuasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa sebab yang dibolehkan Allah kepadanya, maka (dosanya) tidak dapat ditebus meskipun ia berpuasa satu tahun penuh.” (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
3. Imam Bukhari berkata, “Disebutkan dari Abu Hurairah secara marfu’, “Barangsiapa yang tidak berpuasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa uzur atau sakit, maka (dosanya) tidak bisa ditebus dengan puasa setahun penuh.” Pendapat ini juga dianut oleh Ibnu Mas’ud.
(Baca juga: Keutamaan Berbuat Kebajikan di Bulan Ramadhan)
4. Dzahabi berkata, “Di kalangan kaum mu’minin sendiri sudah ada kesepakatan tak tertulis bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan bukan karena sakit adalah lebih buruk daripada pezina dan pemabuk, bahkan keislamannya diragukan dan dicurigai sebagai zindik serta telah melepaskan agamanya.”
Sumber :
Fiqih Sunnah Jilid 1, Sayyid Sabiq, Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat