Assalamualaikum wr wb, Saya sudah menikah hampir 4 tahun dan dikaruniai 2 anak dengan kondisi rumah tangga tidak serumah karena lokasi kerja suami saya yang jauh (pelosok) dan berpindah-pindah. Kami berdua sama-sama bekerja, namun secara penghasilan, penghasilan saya lebih besar daripada suami. Selama ini gaji suami digunakan untuk membayar cicilan KPR, membeli tiket pulang pergi dari lokasi kerja ke rumah, serta untuk biaya hidupnya disana. Sedangkan penghasilan saya digunakan untuk biaya operasional rumah tangga, seperti; kebutuhan hidup (makan, minum di rumah), keperluan anak (susu, popok, dan kebutuhan lain), menggaji Asisten Rumah Tangga, biaya terkait komplek perumahan (arisan, iuran sampah, iuran RT, biaya listrik dll) serta kebutuhan saya pribadi. Selama ini jika saya tidak meminta kepada suami, suami saya tdk memberikan uang (diluar cicilan KPR).
Yang ingin saya tanyakan adalah:

  1. Apakah dengan membayar cicilan KPR (rumah atas nama suami) sudah termasuk dalam nafkah kepada istri?
  2. Suami saya tidak secara terbuka melaporkan kondisi keuangannya, namun saya pernah menemukan slip ATM tabungan suami saya yang ternyata saldonya cukup banyak dan saya tidak menyangka. Apakah suami wajib memberitahukan kepada istri mengenai kondisi keuangannya secara terbuka? Atau hal itu hak prerogatif suami untuk memberitahukannya atau tidak?
  3. Apakah Istri memiliki kewajiban untuk menceritakan kondisi keuangan istri, baik seluruh kebutuhan rumah tangga dan kondisi finansial istri?

Demikian pertanyaan dari saya. Besar harapan saya Ustad/Ustadzah berkenan memberi pandangan. Terimakasih atas perhatian Ustad/Ustadzah. Wassalamualaikum wr wb.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Sebelumnya kami doakan semoga Anda berdua diberikan rumah tangga bahagia yang berhias sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perlu diketahui bahwa nafkah keluarga (isteri dan anak) merupakan tanggung jawab suami. Hal ini sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah: 233. Pemberian nafkah tersebut meliputi kebutuhan anak isteri terhadap makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan jika sakit, dan kebutuhan dasar lainnya.
Hanya saja, kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga disesuaikan dengan kemampuan suami. (QS ath-Thalaq: 7). Allah tidak membebani di luar kemampuannya. Kalau kemudian suami tidak mampu memenuhi kewajiban memberikan nafkah secara sempurna, lalu isteri memberikan sebagian hartanya untuk menutupi kebutuhan tersebut, maka hal itu merupakan bentuk kebaikan isteri pada suami (bukan kewajibannya).
Karena itu, suami tidak boleh memanfaatkan kemampuan finansial isteri untuk melalaikan kewajibannya dalam memberi nafkah. Sebab kewajiban memberi nafkah tetap menjadi tanggung jawab suami, sementara isteri kalaupun mampu hanya sekedar membantu.
Oleh sebab itu, mencermati kondisi Anda di atas, ada baiknya dilakukan komunikasi dan pembicaraan terkait dengan pemberian nafkah suami. Anda boleh berterus terang dan meminta kesediaan suami untuk memenuhi kewajibannya memberi nafkah dengan baik; bukan dalam konteks memaksa atau menuntut secara berlebihan.
Suami tidak wajib memberitahukan kas yang ia miliki di bank. Demikian pula dengan isteri. Yang terpenting bagaimana suami memenuhi kewajiban memberi nafkah sesuai kemampuan.
Hanya saja keterbukaan, kerja sama, dan upaya untuk saling membantu dan memahami adalah cara terbaik untuk menciptakan suasana saling percaya antar anggota keluarga.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini