Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
 
Cukuplah satu firman Allah yang suci menjadi dalil atas janji-Nya tersebut, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. al-Baqarah: 214)
Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya, dimana beliau memberikan nasihat kepada Khabbab bin Arb.
Pada saat itu ia datang kepada Rasulullah SAW dalam kondisi ia baru saja mendapatkan siksaan hingga membuatnya hampir mati. Lalu ia menyingkapkan badannya yang terkena api dan berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, tidakkah kau berdo’a agar Allah menolong kita.?” Rasulullah SAW menjawab ucapannya, “Sesungguhnya kaum sebelum kalian, mereka rambutnya disisir dengan sisir besi hingga terkelupas kulit dan dagingnya dan yang tersisa hanya tulangnya saja. Akan tetapi, hal itu tidak membuat mereka berpaling dari agamanya. Allah pasti akan memberikan kemenangan, hingga pada saatnya nanti seseorang yang berkendara dari San’a ke Hadramaut tidak akan merasa ketakutan kecuali hanya kepada Allah saja.”
Apa makna perkataan Rasulullah SAW diatas? Ini adalah sebuah penegasan, bahwa jika engkau mengeluhkan siksaan dan ujian di jalan dakwah, maka ketahuilah bahwa begitulah jalan dakwah yang sebenarnya. Ia adalah Sunnatullah yang telah Ia tetapkan kepada seluruh hamba-Nya. Ujian dan rintangan yang kau hadapi dengan sabar dan ridha, hanyalah sebuah jembatan menuju sebuah kemenangan.
Namun, mungkin ada yang bertanya, apakah ini berarti bahwa kita boleh meminta kepada Allah agar Ia mengirimkan berbagai macam ujian dan cobaan kepada kita? Atau dengan kata lain, bolehkah kita mengharapkan datangnya ujian dan siksaan di saat kita berdakwah di jalan-Nya?
Jawabannya dengan tegas tidak boleh. Pasalnya, Allah-lah yang mengetahui kemampuan kita dalam menerima ujian dari-Nya. Ia hanya menginginkan bukti dari keimanan dan ketundukan kita kepada-Nya, melalui berbagai macam ujian dan cobaan. Allah juga hanya ingin menyadarkan kita, bahwa semua manusia kedudukannya adalah hamba kepada-Nya.
Inilah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW disaat beliau diusir dari Thaif, beliau bermunajat kepada Allah seraya mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada-Nya, “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu lemahnya kekuatanku, minimnya kemampuanku, dan hinanya aku di mata manusia.Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan bagi hamba-hamba yang lemah, dan Engkau adalah Tuhanku.”
Ini adalah sebuah ikrar dari beliau bahwa ia hanyalah seorang hamba yang lemah dihadapan Allah SWT. Ini bukanlah sebuah keluhan dan kegelisahan yang beliau utarakan kepada Allah, sebab di dalam lanjutan munajatnya, beliau berkata, “Sekiranya Engkau tidak murka kepadaku, maka aku ridha (tidak peduli terhadap apa yang menimpa)…… dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan memberikan kemudahan dalam urusan dunia dan akhirat, Aku berlindung dari murka-Mu dan kemarahan-Mu.”
Inilah dua poros utama dari sikap menghamba kepada Allah, yaitu: Ridha atau pasrah atas takdir-Nya, dan selalu berlindung dan bersandar kepada-Nya. Dan kedua-duanya tidaklah saling bertentangan. Menyadari kelemahan dan kehinaan dihadapan-Nya adalah sebuah sikap menghamba kepada-Nya, dan berdoa memohon bantuan kepada-Nya juga sebuah bentuk ubudiyyah kepada-Nya.
Rasulullah tidak pernah meminta agar ditimpakan kepadanya cobaan dan siksaan yang berat, bahkan di saat ia merasa lemah dan tidak mampu, ia langsung berlindung kepada-Nya agar diberikan kemudahan dan pertolongan dari-Nya. Di sisi lain, ia tetap bersabar dan ridha menjalani tantangan dakwah ini.
Dan begitulah, seorang mukmin yang jujur dengan keimanannya. Ia akan ridha terhadap ujian dan cobaan yang ia hadapi. Terlebih lagi jika hal itu dalam rangka mewujudkan tujuan yang mulia, yaitu membangun sebuah masyarakat dan komunitas muslim yang shaleh dan sesuai dengan syariat Islam.
Wahai saudaraku, Rasulullah SAW telah mengalami siksaan dan ujian yang begitu pedih. Namun, beliau memberikan keteladanan kepada kita bagaimana menyikapi ujian tersebut dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Beliau benar-benar menepati janji dari risalah yang telah Allah tugaskan kepadanya. Dan sekarang, apakah kita sudah siap melanjutkan tugas dari Rasulullah SAW? Apakah kita sudah berada di jalan yang telah ditempuh olehnya? Sudahkah kita meneladani beliau dalam menjalankan misi dakwah Islam ini? Simpanlah jawaban tersebut untuk kau sampaikan nanti di hadapan Allah SWT.
Allahul musta’an, ni’mal mawla wa ni’man nashiir.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!