by Danu Wijaya danuw | May 13, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Di bulan ramadhan kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Usahakan sebisa mungkin untuk menghindari hal yang sia-sia. Ibadah-ibadah yang hanya ada di bulan ramadhan Seperti salat taraweh pun sungguh sayang untuk ditinggalkan.
Bagi muslimah yang sudah baligh tentu akan mengalami halangan setiap bulannya. Termasuk di bulan ramadhan. Walau pun terkadang ada yang merasa bahagia ketika haid datang disaat ramadhan. Nyatanya muslimah kehilangan beberapa nikmat yang dirasakan orang lain yang sedang berpuasa ramadhan. Lalu bagaimanakah cara menyiasati agar ukti tidak kehilangan momen ibadah ramadhan?
Pertama-tama, perlu diketahui bahwa tak perlu kecewa ketika sedang haid. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: ”Kami keluar (safar) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tujuan kami hanyalah ibadah haji. Sampai ketika kami tiba di Sarif atau dekat dengannya, aku mengalami haid. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuiku sementara aku sedang menangis.
Lalu beliau bertanya:”Apakah engkau mengalami nifas?” maksudnya adalah haid (menstruasi). ‘Aisyah berkata:”Aku jawab:’Iya.’” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan (takdirkan) bagi kaum wanita dari anak cucu Adam.
Maka lakukanlah amalan-amalan haji, hanya saja janganlah engkau Thahwaf di Ka’bah sebelum engkau mandi (setelah suci dari haidh).” ‘Aisyah berkata:”Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan menyembelih seekor sapi yang diniatkan untuk semua isterinya.” (HR. Muslim no 2976)
Perlu diingat bahwa haid merupakan ketetapan Allah bagi muslimah. Bukankah bersabar dalam menerima ketetapan Allah pun adalah ibadah. Maka ikhlas saat haid di bulan ramadhan merupakan salah satu amalan ramadhan.
Ada pun amalan lain yang dapat dilakukan adalah hal-hal berikut ini:
1. Mendengarkan Al-Quran
“Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah (baik-baik) dan perhatikan lah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat”…(Q.S. Al-A’raaf: 204)
2. Memperbanyak Dzikir
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab:35)
Dzikir sendiri bisa dilakukan baik sambil berdiri, duduk, maupun berbaring, dan bisa dilakukan dalam hati, perkataan, dan perbuatan.
3. Menuntut dan Membagikan Ilmu yang Bermanfaat
“Barangsiapa mengajak (manusia) kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun” Hadits shahih : Diriwayatkan oleh Muslim (no.2674), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
4. Memperbanyak Sedekah
Bukan hanya uang, namun sedekah bisa dengan tersenyum, membantu menuangkan air minum untuk saudara, memberikan bantuan tenaga untuk yang menyiapkan menu berbuka adalah sedekah.
5. Berdoa
Berdoa juga termasuk ibadah, seperti sabda Nabi Muhammad S.A.W:
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Daud no. 1264, At-Tirmizi no. 2895, dan Ibnu Majah no. 3818)
Do’a bisa apa saja, asalkan tidak mengandung dosa dan tidak pula memutus tali kekeluargaan. Sabda Nabi Muhammad S.A.W: “Tidaklah seorang muslim yang berdoa dengan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutus tali kekeluargaan, kecuali Allah akan memberinya tiga kemungkinan: Doanya akan segera dikabulkan, atau akan ditunda sampai di akhirat, atau ia akan dijauhkan dari keburukan yang semisal.” (HR. Ahmad no. 10709)
6. Memberi Makan Orang yang Berpuasa
Jika tidak sedang berpuasa, pahala puasa insya Allah tetap bisa didapat dengan memberi makanan berbuka pada orang yang berpuasa. “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”
Keenam hal tersebut dapat dilakukan untuk menjaga ruhiah muslimah di bulan ramadhan. jangan sampai haid justru menjadi alasan ukhti berleha-leha dan malah menggoda orang yang sedang berpuasa ramadhan.
by Danu Wijaya danuw | May 12, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
JUMAT merupakan hari yang istimewa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai pemimpin semua hari. Dari Abu Lubabah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya hari jumat adalah pemimpin semua hari, dan hari yang paling mulia di sisi Allah…” (HR. Ahmad 15548, Ibnu Majah 1137 dan dihasankan al-Albani).
Di hari jumat, Allah sediakan satu waktu yang mustajab untuk berdoa. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat, lantas beliau bersabda,
“Di hari Jumat terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas dia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang dia minta.” (HR. Bukhari 935, Muslim 2006, Ahmad 10574 dan yang lainnya).
Karena itulah, para ulama di masa silam (salaf) memberikan perhatian besar terhadap hari jumat. Mereka berusaha menjaga amal selama hari jumat. Kita lihat beberapa riwayat dari mereka,
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa bisa istiqamah pada hari Jumat maka dia akan bisa istiqamah di hari yang lain.”
Ibadah Para Ulama Salaf Ketika Hari Jumat Setelah Asar
Ada beberapa kegiatan ibadah ulama setelah asar di hari jumat. Kita sebutkan diantaranya,
1. Riwayat dari Thawus
Imam Thawus bin Kaisan apabila selesai shalat ashar pada hari jumat, beliau menghadap kiblat, dan tidak berbicara dengan siapapun sampai maghrib. (Tarikh Wasith, hlm. 187).
2. Riwayat dari al-Mufadhal bin Fadhalah,
Al-Qadhi Al-Mufadhal bin Fadhalah apabila selesai shalat ashar pada hari jumat, beliau menyendiri di pojok masjid dan terus berdoa hingga matahari terbenam. (Akhbar al-Qudhat, 3/238).
3. Riwayat dari Said bin Jubair—murid senior Ibnu Abbas,
Said bin Jubair apabila usai shalat ashar pada hari jumat, beliau tidak berbicara dengan siapapun sampai terbenam matahari – karena sibuk berdoa. (Zadul Ma’ad, 1/394)
Keikhlasan Mereka dalam Berdoa di Hari Jumat
Berdoa dengan tulus, menghadirkan perasaan sangat butuh di hadapan Allah, termasuk diantara sebab mustajabnya doa. Para ulama salaf sangat khusyu dalam berdoa seusai asar di hari jumat.
Diriwayatkan dalam Tarikh Damaskus, dari Zakariya bin Adi,
Bahwa as-Shult bin Bushtom at-Tamimi duduk di halaqah Abu Jinab. Mereka berdoa setelah ashar di hari jum’at.
Suatu ketika di hari jumat, saat mereka sedang berdoa, tiba-tiba mata Shutl bin Busthom ketetesan cairan dan langsung buta. Akhirnya kawan-kawannya mendoakan dan menyebut-nyebut kesembuhan untuk Shult dalam doa mereka. Sebelum matahari terbenam, beliau bersin sekali, tiba-tiba beliau bisa melihat dengan kedua matanya. Allah telah mengembalikan pandangannya. (Tarikh Damaskus, 64/140).
Selayaknya kita tidak sia-siakan kesempatan emas ini untuk banyak mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala Allahu a’lam.
Sumber: Konsultasi Syariah.
by Farid Numan Hasan faridnuman | May 12, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Di beberapa negara Islam, umat Islam memiliki tradisi berkumpul di masjid atau di surau pada tiap ba’da maghrib di malam nishfu sya’ban (malam ke lima belas). Mereka membaca surat Yasin, lalu shalat dua rakaat dengan tujuan agar panjang umur, lalu shalat dua rakaat lagi agar kaya selain itu mereka berdoa dengan doa-doa khusus untuk malam nishfu sya’ban.
Apakah ini semua memiliki dalil dari Al Quran, As Sunnah, atau pernah diperbuat oleh sahabat, atau tabi’in, atau tabi’ut tabi’in, atau para imam madzhab? Ataukah ini kekeliruan dan perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah) ? Ataukah perselisihan ulama yang mesti disikapi dengan lapang dada?
Namun, tidak bisa dipungkiri aktifitas ini memang pro kontra sejak masa lalu. Kedua belah pihak sama-sama sepakat bahwa ritual ini tidak pernah ada pada masa Nabi saw dan para sahabatnya. Ritual ini baru ada pada masa tabi’in, dan dilakukan sebagian ulama pada masa itu, dan ditolak oleh lainnya.
I. Pihak Yang Menolak
Pihak yang menolak, baik membid’ahkan atau memakruhkan, menganggap aktfitas ini tidak ada dasarnya dalam syariat. Dan merupakan salah satu ritual yang muhdats (baru), yang mesti dijauhi. Sebab, asal dari ibadah adalah ittiba’ (mengikuti), bukan ibtida’ (menginovasi).
Dalam kaidah disebutkan:
فَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى الْأَمْرِ
“Pada dasarnya semua bentuk ibadah adalah batil (terlarang), sampai adanya dalil yang menunjukkan perintahnya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah)
Dengan kaidah inilah para ulama sangat berhati-hati dalam urusan perkara ibadah yang pada masa-masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat tidak pernah ada. Sebab jika ibadah tersebut baik dan benar, pastilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam paling tahu tentang itu dan tidak akan lupa mencontohkan atau memerintahkan kepada umatnya.
Berikut ini ulama yang menolak ritual Nishfu Sya’ban:
1. Sebagian tabi’in
Diriwayatkan dari sebagian tabi’in bahwa mereka membenci ritual Nishfu Sya’ban, bahkan ada yang membid’ahkan.
Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah menceritakan:
وقد أنكر ذلك أكثر العلماء من أهل الحجاز، منهم عطاء وابن أبى مليكة، ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة ، وهو قول أصحاب مالك وغيرهم ، وقالوا : ذلك كله بدعة
Perbuatan itu diingkari oleh mayoritas ulama di Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga menolaknya, yakni para sahabat Imam Malik dan selain mereka, lalu mereka mengatakan: “Semua itu bid’ah!” (Fatawa Al Azhar, 10/131)
Begitu pula sebagian ulama Syam masa itu, Syaikh ‘Athiyah melanjutkan:
أنه يكره الاجتماع فى المساجد للصلاة والقصص والدعاء ، ولا يكره أن يصلى الرجل فيها لخاصة نفسه ، وهذا قول الأوزاعى إمام أهل الشام وفقيههم وعالمهم .
Bahwasanya dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan berdoa pada malam itu, namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya sendiri saja. Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli fiqih)-nya mereka dan ulamanya mereka.” (Ibid)
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ عَلَى كَرَاهَةِ الاِجْتِمَاعِ لإِِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ ، وَصَرَّحُوا بِأَنَّ الاِجْتِمَاعَ عَلَيْهَا بِدْعَةٌ وَعَلَى الأَْئِمَّةِ الْمَنْعُ مِنْهُ . وَهُوَ قَوْل عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ . وَذَهَبَ الأَْوْزَاعِيُّ إِلَى كَرَاهَةِ الاِجْتِمَاعِ لَهَا فِي الْمَسَاجِدِ لِلصَّلاَةِ ؛ لأَِنَّ الاِجْتِمَاعَ عَلَى إِحْيَاءِ هَذِهِ اللَّيْلَةِ لَمْ يُنْقَل عَنِ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ
Mayoritas ahli fiqih memakruhkan berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, itu dikatakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah. Mereka menerangkan bahwa berkumpul pada malam itu adalah bid’ah dan para imam melarangnya. Ini adalah pendapat ‘Atha bin Abi Rabah dan Ibnu Mulaikah. Sedangkan Al Auza’i memakruhkan berkumpul di masjid untuk shalat, karena berkumpul untuk menghidupkan malam ini tidak pernah ada dikutip dari Rasulullah saw dan tidak seorang pun para sahabatnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)
2. Imam An Nawawi (bermadzhab syafi’i)
Beliau Rahimahullah memberikan komentar tentang mengkhususkan shalat pada malam nishfu sya’ban, sebagai berikut:
الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل
“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin , dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/56)
Demikian komentar Imam An Nawawi.
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (madzhab Hambali)
Beliau Rahimahullahi memiliki dua pandangan tentang ritual nishfu sya’ban, TIDAK BOLEH dan BOLEH, bagaimana yang tidak boleh?
وَأَمَّا الِاجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلَاةٍ مُقَدَّرَةٍ . كَالِاجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ : { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ } دَائِمًا . فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Ada pun berkumpul di masjid untuk melakukan shalat yang sudah ditentukan, seperti berjamaah sebanyak seratus rakaat dengan membaca seribu kali Qul Huwallahu Ahad, maka ini adalah bid’ah yang tidak pernah dianjurkan seorang pun kaum salaf (terdahulu). Wallahu A’lam.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 2, Hal. 447)
*4⃣ Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Kerajaan Arab Saudi*
Mereka menjelaskan tentang hukum mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:
ومن البدع التي أحدثها بعض الناس: بدعة الاحتفال بليلة النصف من شعبان، وتخصيص يومها بالصيام، وليس على ذلك دليل يجوز الاعتماد عليه، وقد ورد في فضلها أحاديث ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها، أما ما ورد في فضل الصلاة فيها فكله موضوع، كما نبه على ذلك كثير من أهل العلم، وسيأتي ذكر بعض كلامهم إن شاء الله. وورد فيها أيضًا آثار عن بعض السلف من أهل الشام وغيرهم. والذي عليه جمهور العلماء: أن الاحتفال بها بدعة، وأن الأحاديث الواردة في فضلها كلها ضعيفة وبعضها موضوع، وممن نبه على ذلك الحافظ ابن رجب في كتابه [لطائف المعارف] وغيره، والأحاديث الضعيفة إنما يعمل بها في العبادات التي قد ثبت أصلها بأدلة صحيحة، أما الاحتفال بليلة النصف من شعبان فليس له أصل صحيح حتى يستأنس له بالأحاديث الضعيفة.
“Dan di antara bid’ah yang di ada-adakan manusia pada malam tersebut adalah: bid’ahnya mengadakan acara pada malam nishfu sya’ban, dan mengkhususkan siang harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada dasarnya yang bisa dijadikan pegangan untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang keutamaannya adalah dha’if dan tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan, sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan shalat pada malam tersebut, semuanya adalah maudhu’ (palsu), sebagaimana yang diberitakan oleh kebanyakan ulama tentang itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian ucapan mereka, dan juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam dan selain mereka. Jumhur (mayoritas) ulama berkata: sesungguhnya acara pada malam itu adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita tentang keutamaannya adalah dha’if dan sebagiannya adalah palsu.
Di antara ulama yang memberitakan hal itu adalah Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya. Ada pun hadits-hadits dha’if hanyalah bisa diamalkan dalam perkara ibadah, jika ibadah tersebut telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih, sedangkan acara pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih, melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.” (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, Juz. 4, Hal. 281) Sekian kutipan dari Al Lajnah Ad Daimah.
II. Pihak Yang Membolehkan
Pihak yang membolehkan menilai apa yang dilakukannya memiliki dasar dalam agama secara shahih, yaitu hadits berikut:
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.”
(Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat Syaikh Al Albani, As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif.
Juga kitab beliau Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami. Namun, dalam kitab Tahqiq Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306,
Tetapi yang lebih kuat adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan. Dishahihkan pula oleh Dr. Abdul Malik bin Abdullah Ad Duhaisy, dalam Jami’ Al Masanid wa Sunan, No. 9697)
Hadits ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu memanfaatkannya sebagai momentum beribadah adalah hal yang disyariatkan secara mutlak. Baik sendiri atau berjamaah, baik dengan membaca Al Quran, atau shalat sendiri atau berjamaah, seperti yang terjadi di sebagian masjid di negeri-negeri muslim. Manusia bebas memilihnya, atau menyatukan semuanya.
Berikut ini pihak yang membolehkan:
1. Sebagian Tabi’in dan tabi’ut tabi’in
Dari kalangan tabi’in seperti Makhul dan Khalid bin Ma’dan, dari kalangan tabi’ut tabi’in seperti Ishaq bin Rahuya (Rahawaih), yang memandangnya sebagai perbuatan bagus dan bukan bid’ah.
Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah mengatakan:
، والصورة التى يحتفل بها الناس اليوم لم تكن فى أيامه ولا فى أيام الصحابة ، ولكن حدثت فى عهد التابعين . يذكر القسطلانى فى كتابه “المواهب اللدنية”ج 2 ص 259 أن التابعين من أهل الشام كخالد بن معدان ومكحول كانوا يجتهدون ليلة النصف من شعبان فى العبادة ، وعنهم أخذ الناس تعظيمها ، ويقال أنهم بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية . فلما اشتهر ذلك عنهم اختلف الناس ، فمنهم من قبله منهم
Sedangkan aktifitas (ritual Nishfu Sya’ban) dengan gambaran yang dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada pada masa Rasulullah, tidak pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi pada masa tabi’in.
Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal. 259), bahwa tabi’in dari negeri Syam seperti Khalid bin Ma’dan, dan Mak-hul, mereka berijtihad untuk beribadah pada malam nishfu sya’ban. Dari merekalah manusia beralasan untuk memuliakan malam nishfu sya’ban.
Diceritakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat tentang hal ini. Ketika hal tersebut tersiarkan, maka manusia pun berselisih pendapat, lalu di antara mereka ada yang mengikutinya. (Fatawa Al Azhar, 10/131)
Syaikh ‘Athiyah juga menyebutkan para imam tabi’in di Syam yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah di masjid secara berjamaah, dan mereka memandangnya bukan bid’ah. Berikut ini uraiannya:
أنه يستحب إحياؤها جماعة فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى مسائله
Dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid, Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus, memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini. (Ibid)
Dalam Al Mausu’ah disebutkan:
وَذَهَبَ خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ وَلُقْمَانُ بْنُ عَامِرٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ إِلَى اسْتِحْبَابِ إِحْيَائِهَا فِي جَمَاعَةٍ
Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir, dan Ishaq bin Rahawaih mengatakan mustahab (disukai) menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)
2. Amalan Penduduk Mekkah Generasi Salaf
Al Fakihi Rahimahullah (wafat 272 H) bercerita:
ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيهَا لِفَضْلِهَا وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّوْا، وَطَافُوا، وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحَ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، حَتَّى يَخْتِمُوا الْقُرْآنَ كُلَّهُ، وَيُصَلُّوا، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدُ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَأَخَذُوا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَشَرِبُوهُ، وَاغْتَسَلُوا بِهِ، وَخَبَّؤُوهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى، يَبْتَغُونَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ، وَيُرْوَى فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ
Amalan penduduk Mekkah pada malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka beribadah karena keutamaan malam tersebut. Penduduk Mekkah dari dulu sampai hari ini, jika datang malam Nishfu Sya’ban, maka mayoritas laki-laki dan perempuan keluar menuju Masjidil Haram, mereka shalat, thawaf, dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan membaca Al Quran di Masjidil Haram sampai mengkhatamkan semuanya, dan mereka shalat.
Di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas 10 kali, lalu mereka mengambil air zam zam malam itu, lalu meminumnya, mandi dengannya, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya, dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut. (Akhbar Makkah, 3/84)
3. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Beliau berkata:
إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَن
Jika manusia shalat malam nishfu seorang diri atau jamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan beberapa golongan salaf, maka itu lebih baik. (Al Fatawa Al Kubra, 2/262)
Jadi, yang diingkari oleh Imam Inu Taimiyah adalah jika mengkhususkan bilangan rakaatnya dan bilangan bacaannya, yang menurutnya bid’ah dan tidak dianjurkan para imam. ( Ibid)
Sebenarnya, sikap Imam Ibnu Taimiyah adalah sikap yang dianut mayoritas ulama yaitu menganjurkan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah. Tetapi secara umum saja tanpa ada aturan, cara, dan bilangan yang baku.
Tersebut dalam Al Mausu’ah:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى نَدْبِ إِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ …
Mayoritas ahli fiqih menganjurkan menghidupkan (dengan ibadah) malam Nishfu Sya’ban (Lalu disebutkan beberapa hadits tentang hal itu).
Lalu dilanjutkan:
وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الإِْحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لإِِحْيَائِهَا ، وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ 5وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً ، وَقَال الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلاَةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ
Imam Al Ghazali menjelaskan tata cara menghidupkan malam itu secara khusus. Namun tata cara itu diingkari oleh Syafi’iyah dan menyebutnya sebagai bid’ah yang buruk. Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat tersebut adalah bid’ah, palsu, buruk lagi munkar. (Al Mausu’ah, 2/236).
Sementara itu, dalam Madzhab Hambali terdahulu, mereka mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban, dan itu merupakan pendapat yang resmi dari Imam Ahmad dan pengikutnya.
Berikut ini keterangan Imam Ibnu Taimiyah:
ومن هذا الباب ليلة النصف من شعبان فقد روى في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي أنها ليلة مفضلة وأن من السلف من كان يخصها بالصلاة فيها وصوم شهر شعبان
Di antara pembahasan ini adalah tentang malam Nishfu Sya’ban. Telah diriwayatkan tentang keutamaannya baik dari hadits-hadits yang marfu’ dan atsar-atsarnya. Semua itu menunjukkan bahwa malam tersebut memang memiliki keutamaan.
Di antara generasi salaf ada yang mengkhususkan malam itu dengan shalat dan berpuasa pada bulan Sya’ban. (lalu Beliau menyebutkan hadits-haditsnya di mana hadits tersebut didhaifkan oleh ulama)
Selanjutnya:
لكن الذي عليه كثير من أهل العلم أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم على تفضيلها وعليه يدل نص أحمد لتعدد الأحاديث الواردة فيها وما يصدق ذلك من الآثار السلفية وقد روى بعض فضائلها في المسانيد والسنن وإن كان قد وضع فيها أشياء أخر
Tetapi, yang dianut oleh mayoritas ulama atau mayoritas sahabat-sahabat kami (HAMBALIYAH), dan selain mereka, bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad.
Hal ini berdasarkan banyak hadits dan atsar para salafush shalih. Diriwayatkan sebagian riwayat tentang keutamaan tersebut di kitab-kitab Musnad dan Sunan, walau adanya riwayat palsu pada riwayat tersebut merupakan hal yang lain. (Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 302)
Kesimpulan
Demikian peta perselisihan tentang Nishfu Sya’ban. Semoga bermanfaat, silahkan ambil yang menurut anda lebih kuat, namun jangan ingkari saudara kita yang mengambil pendapat lain, dan tetaplah menjaga ukhuwah Islamiyah.
Wallahu A’lam
Ustad Farid Nu’man Hasan
by Danu Wijaya danuw | May 11, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
DARI Abu Wa’il, dia berkata, “Pada suatu pagi kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud selepas kami melaksanakan shalat shubuh. Kemudian kami mengucapkan salam di depan pintu. Lalu kami diizinkan untuk masuk. Akan tetapi kami berhenti sejenak di depan pintu.
Lalu keluarlah budaknya sembari berkata, ‘Mari silakan masuk.’
Kemudian kami masuk sedangkan Ibnu Mas’ud sedang duduk sambil berdzikir.
Ibnu Mas’ud lantas berkata, ‘Apa yang menghalangi kalian padahal aku telah mengizinkan kalian untuk masuk?’
Lalu kami menjawab, ‘Tidak, kami mengira bahwa sebagian anggota keluargamu sedang tidur.
Ibnu Mas’ud lantas bekata, ‘Apakah kalian mengira bahwa keluargaku telah lalai?’
Kemudian Ibnu Mas’ud kembali berdzikir hingga dia mengira bahwa matahari telah terbit.
Lantas beliau memanggil budaknya, ‘Wahai budakku, lihatlah apakah matahari telah terbit.’
Si budak tadi kemudian melihat ke luar. Jika matahari belum terbit, beliau kembali melanjutkan dzikirnya.
Hingga beliau mengira lagi bahwa matahari telah terbit, beliau kembali memanggil budaknya sembari berkata, ‘Lihatlah apakah matahari telah terbit.’
Kemudian budak tadi melihat ke luar. Jika matahari telah terbit, beliau mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami berdzikir pada pagi hari ini.” (HR. Muslim no. 822).
by Danu Wijaya danuw | May 11, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Kewajiban kita beribadah kepada Allah dengan sempurna. Namun dengan kelemahan kita, selalu ada kekurangan dalam ibadah itu. Maka kita beristighfar setelah beramal, seperti istighfarlah shalat.
Di antara cara menyempurnakan kekurangan yang ada pada shalat fardhu kita adalah dengan menambah shalat sunnah rawatib. Yaitu shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu; sebelum dan atau sesudahnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali akan diperhitungkan dari manusia pada hari kiamat dari amalan-amalan mereka adalah shalat.
Kemudian Allah Ta’ala mengatakan pada malaikatnya dan Dia lebih Mengetahui segala sesuatu, “Lihatlah kalian pada shalat hamba-Ku, apakah sempurna ataukah memiliki kekurangan?
Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna.
Namun, jika shalatnya terdapat beberapa kekurangan, maka lihatlah kalian apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?
Jika ia memiliki shalat sunnah, maka sempurnakanlah pahala bagi hamba-Ku dikarenakan shalat sunnah yang ia lakukan.
Kemudian amalan-amalan lainnya hampir sama seperti itu.”[HR. Abu Daud no. 864, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dengan mengetahui hadits tersebut diatas, maka tidak inginkah kita mempunyai tabungan shalat sunnah, yang bisa melengkapi kekurangan shalat fardhu kita?
Apalagi setelah kita mengetahui, bahwa kelak, yang paling pertama di hisab dari kita, adalah shalat kita?
Tidak takutkah kita, apabila ternyata kita tidak punya tabungan shalat sunnah, sedangkan shalat fardhu kita juga banyak kekurangannya?
Hal ini hanya kita, yang bisa menjawabnya dengan jujur, karena hanya diri kita sendiri yang tahu, bagaimana shalat kita selama ini.
Semoga kita dapat membiasakan shalat sunnah rawatib mengiringi shalat fardhu kita.
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | May 10, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
NISFU artinya pertengahan, maka malam Nisfu Sya’ban artinya malam pertengahan bulan Sya’ban. Kalau dirujuk kepada kalender Hijriyah, maka malam itu jatuh pada tanggal 14 Sya’ban karena pergantian tanggal sesuai penanggalan Hilaliyah atau yang menggunakan patokan rembulan adalah saat matahari terbenam atau malam tiba. Benarkah ada tuntunan dari Rasulullah di malam ini?
Sesungguhnya Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali (pada) bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau (banyak berpuasa -ed) dalam suatu bulan kecuali bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Sya’ban,” (HR. al-Bukhari: 1868 dan HR. Muslim: 782)
Dalam hadits yang lain, Usamah bin Zaid berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam beberapa bulan seperti puasamu di bulan Sya’ban. Beliau menjawab, ‘Itu adalah satu bulan yang manusia lalai darinya. (Bulan itu adalah) bulan antara Rajab dan Ramadan, dan pada bulan itu amalan-amalan manusia diangkat kepada Rabbul ‘alamin, maka aku ingin supaya amalanku diangkat pada saat aku berpuasa.’ ” (HR. an-Nasa’i: 1/322, dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil: 4/103)
Membedah Hadist Pengkhususan Nisfu Sya’ban
Adapun pengkhususan hari-hari tertentu pada bulan Sya’ban untuk berpuasa atau qiyamul lail, seperti pada malam Nisfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya lemah bahkan palsu. Di antaranya adalah hadits:
“Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam,
Lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia. Adakah demikian dan demikian?’ (Allah mengatakan hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah: 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman: 3/378)
Hadits ini dari jalan Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini adalah hadits maudhu’/palsu, karena perawi bernama Ibnu Abi Sabrah tertuduh berdusta, sebagaimana dalam Taqrib milik al-Hafidz. Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkata tentangnya, “Dia adalah perawi yang memalsukan hadits.”[ Lihat Silsilah Dha’ifah, no. 2132.]
Maka dari sini kita ketahui bahwa hadits tentang fadhilah (keutamaan –ed) menghidupkan malam Nisfu Syaban dan berpuasa di siang harinya tidaklah sah dan tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi). Para ulama menyatakan hal itu sebagai amalan bid’ah dalam agama. [Lihat Fatawa Lajnah Da’imah: 4/277, fatwa no. 884].
Menurut Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi’i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba’in an-nawawiyah, al-majmu’), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya’ban.
Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
Beliau mengingatkan untuk tidak salah menafsirkan dalil-dalil dan anjuran yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.
Menurut Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang menjabat sebagai Ketua Persatuan Ulama Internasional yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat, tentang ritual di malam nasfu sya’ban bahwa :
Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat, bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya’ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabat, tabi`in dan tabi’ tabi`in)
Bijaksananya Kita
Namun kita bisa bersikap bijak, amal puasa di bulan Sya’ban bisa diniatkan puasa Daud, atau puasa Ayyaumul Bid (pertengahan bulan). Jangan sampai kita sendiri justru malah tidak memperbanyak ibadah di Bulan Sya’ban. Cukup diganti niatnya sebagai ibadah umumnya. Dan sampaikan dengan santun dan hati-hati terkait tradisi Nisfu Sya’ban yang sudah melekat dimasyarakat awam. Dan salinglah menghormati walau berbeda pendapat nantinya.
Sumber: Konsultasi Syari’ah/Rumah Fiqih Indonesia/Ustad Ahmad Sarwat,Lc.MA