by Ahmad Sahal Hasan Lc ahmadsahalhasan | Apr 21, 2016 | Artikel, Qur'anic Corner
Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc
Firman Allah:
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Nabi Yusuf AS berkata (kepada saudara-saudaranya): “Tak ada cercaan kepada kalian. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang diantara para penyayang.” (QS. Yusuf: 92).
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَٰذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِن قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُم مِّنَ الْبَدْوِ مِن بَعْدِ أَن نَّزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ إِنَّهُ هُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Nabi Yusuf menaikkan kedua orang tuanya keatas singgasana dan mereka semua bersujud menghormat kepada Nabi Yusuf. Dan dia berkata: “Wahai ayahku, inilah ta’wil mimpiku yang dulu itu Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika Dia membawa kalian dari dusun setelah setan merusak hubungan antara aku dan saudara-saudaraku. Sungguh Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sungguh Dia lah Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana“. (QS. Yusuf: 100).
Yang menarik adalah bahwa ucapan Nabi Yusuf benar-benar mencerminkan kesempurnaan maaf yang diberikannya untuk saudara-saudaranya yang dulu telah hampir membunuhnya dengan menceburkannya ke dalam sumur.
Nabi Yusuf mengalami setidaknya dua kejadian yang membahayakan dan menyakitkan: diceburkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya sendiri dan dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan mencoba memperkosa majikannya.
Namun saat berbicara dihadapan orang tua dan saudaranya tentang nikmat Allah kepadanya di ayat 100 tersebut Nabi Yusuf hanya menyebutkan nikmat keluar dari penjara tanpa menyinggung peristiwa sumur. Padahal, diceburkan ke dalam sumur lebih membahayakan nyawanya daripada masuk penjara, dan tentunya nikmat keluar dari sumur itu lebih pantas untuk diingat dan disebut. Namun karena ini adalah momen memaafkan saudaranya sebagai pelaku peristiwa itu, Nabi Yusuf tidak menyebutkannya, dan hanya menyebutkan nijmat bebas dari penjara.
Pun saat menyebutkan nikmat berkumpul kembali dengan mereka, Nabi Yusuf hanya menyalahkan setan yang telah mengganggu hubungannya dengan mereka.
Nabi Yusuf benar-benar membuktikan bahwa “tak ada cercaan kepada kalian” baik langsung atau tidak langsung.
Maaf yang tulus dan sempurna yang lahir dari kasih sayang kepada saudaranya seolah mereka tak pernah menyakitinya.
Pantas jika Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat memaafkan orang-orang Quraisy pada peristiwa Fathu Makkah menyatakan bahwa beliau meneladani Nabi Yusuf dan mengatakan perkataan yang sama “Laa tatsriiba ‘alaikum al-yaum.. (Tak ada cercaan kepada kalian). Idzhabuu, fa antum ath-thulaqa.. (Pergilah, kalian bebas).”
Shalawat dan salam kepada Nabi Yusuf dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sumber:
Telegram @sahal_hasan
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 5, 2016 | Artikel, Qur'anic Corner
Oleh: Fauzi Bahreisy
Jika demikian fasilitas dan kenikmatan yang Allah berikan kepada penduduk sorga, lalu bagaimana caranya agar kita termasuk di dalamnya? Apa saja sifat yang harus dimiliki?
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (7)
Mereka menunaikan nazar dan takut terhadap suatu hari yang azabnya merata di mana-mana (QS al-Insan: 7)
Di antara sifat yang melekat pada golongan mukmin yang taat yang mendapatkan sorga Allah adalah mereka menunaikan nazar. Nazar yang dimaksud di sini tentu berupa nazar dalam hal ketaatan; bukan dalam hal maksiat. Pasalnya, Rasulullah saw. bersabda,
( من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصه فلا يعصه ) رواه البخاري وأصحاب السنن .
“Siapa yang bernazar untuk menaati Allah, hendaknya ia taat. Sementara, siapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada-Nya, janganlah ia lakukan.” (HR al-Bukhari dari Mâlik)
Misalnya kalau orang bernazar untuk bersedekah, pergi haji, salat lima waktu di masjid, berpuasa senin-kamis, mengkhatamkan Alquran dalam sepekan, maka nazar yang semacam ini harus ditepati. Namun, kalau karena sesuatu hal ia tak mampu memenuhinya, ia harus membayar kaffarah (denda) seperti kaffarah orang yang bersumpah. Yaitu, memberi makan sepuluh orang fakir miskin atau memberikan pakaian kepada mereka. Jika tidak mampu maka berpuasa selama tiga hari (lihat QS al-Maidah: 89)
Penunaian nazar secara sempurna sebenarnya merupakan kiasan atas pelaksanaan seluruh kewajiban syariat. Sebab, kalau nazar saja–yang pada dasarnya merupakan sesuatu yang ia wajibkan atas dirinya–dipenuhi dengan baik apalagi kewajiban yang memang telah Allah tetapkan atasnya, seperti salat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat dan seterusnya.
Di samping memenuhi nazar dan kewajiban yang ada, sifat kedua dari penghuni sorga adalah takut terhadap suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Inilah bentuk ketaatan dan ketakwaan yang sempurna dari seorang hamba. Yaitu menjaga kondisi lahir dan batinnya secara bersamaan. Kalau pelaksanaan nazar merupakan cerminan dari kondisi lahir, maka kondisi batin dari orang beriman dicerminkan dari sifat takutnya terhadap siksa Allah. Karena itu, orang beriman meninggalkan segala larangan karena takut kepada siksa di hari kemudian.
Siksa di hari tersebut bukan sekedar siksa biasa. Namun, azabnya merata di mana-mana. Ia mencakup seisi langit dan bumi. Yakni meliputi semua makhluk yang kafir, jahat, dan banyak melakukan maksiat. Adapun orang-orang beriman, mereka dalam kondisi aman dan tenang. Allah befirman,
Mereka tidak dibuat cemas oleh kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), dan mereka disambut oleh para malaikat. (Malaikat berkata), “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu”. (QS al-Anbiya: 103)
Hai hamba-hamba-Ku, tiada kekhawatiran terhadapmu pada hari ini dan tidak pula kamu bersedih hati. (QS az-Zukhruf: 68).
Demikianlah kondisi yang dialami oleh kaum beriman. Mereka tenang, tenteram, damai, dan aman. Mereka tidak tersentuh oleh siksa yang menimpa kaum kafir dan pendosa. Kalau siksa hari pada hari tersebut dikatakan merata, hal itu lantaran jumlah orang yang mendapat siksa jauh lebih banyak sehingga tampak menimpa hampir semua orang.
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا (8)
Mereka memberikan makanan yang ia sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan (QS al-Insan: 8)
Selanjutnya sifat dari orang-orang yang mendapatkan kenikmatan di sorga adalah senang memberikan makanan. Sifat ini menunjukkan satu sikap mulia dari mereka; mengasihi sesama manusia. Inilah sifat yang tidak boleh lepas dari diri orang beriman. Di samping hubungan dengan Allah baik, hubungan dengan sesama manusia juga harus baik.
Mereka memberikan makanan. Ini bukan berarti pemberian tersebut hanya terbatas pada makanan. Makanan hanyalah kiasan dari kebaikan yang bisa dilakukan. Kalaupun makanan disebutkan pada ayat di atas, hal itu lantaran ia merupakan kebutuhan primer manusia. Dengan kata lain, ia bisa digantikan dengan pakaian, uang, dan lain sebagainya sesuai dengan keperluan. Yang penting adalah semangat untuk memberi sesuatu yang berguna bagi orang lain.
Hanya saja, ada hal lain yang perlu digarisbawahi. Selain barang yang diberikan berguna, pemberian baru bernilai mulia di sisi Allah, manakala diberikan dalam kondisi hati pemiliknya masih menyukai dan menyayangi barang tersebut. Dengan kata lain, barang tersebut bukan diberikan hanya lantaran merupakan barang sisa, berlebih, dan sudah tidak terpakai atau usang. Namun, barang yang diberikan hendaknya merupakan barang yang ia sukai.
أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ فَقَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا أَلَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ
Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik sedekah adalah yang kau berikan dalam kondisi dirimu masih sehat, kikir (suka), mengharap kaya, dan takut miskin.” (HR Muslim).
Artinya, sedekah terbaik adalah yang diberikan dalam kondisi diri ini masih mencintai dan membutuhkan harta tersebut. Nilai dari sedekah yang diberikan dalam kondisi demikian tentu berbeda dengan sedekah yang diberikan saat seseorang sudah dalam kondisi sakit-sakitan, hampir mati, putus asa, dan sudah tidak mencintai harta.
Jadi, semakin disukai oleh pemiliknya semakin tinggi pula nilai sedekah yang diberikan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 92,
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.
Diriwayatkan bahwa Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah sering memberikan sedekah berupa gula. Lalu ada yang bertanya, “Mengapa engkau sering memberi gula?” Ia menjawab, “Sebab aku menyukainya.” Kemudian beliau mengutip firman Allah di atas (Ali Imran: 92).
Sementara, ketika turun ayat di atas Abu Thalhah pergi menuju hartanya yang paling bernilai, yaitu Bayruhâ`, kebun kurma miliknya. Lalu ia menyedekahkan kebun tersebut di jalan Allah.
Lalu kepada siapa infak dan sedekah itu diberikan?
Mereka memberikan makanan yang ia sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan
1. Orang miskin. Siapa yang disebut miskin?
Menurut Imam Hanafi dan Maliki: “Orang yang tidak memiliki apa-apa.”
Imam Syafii: “Orang yang mampu mendapat penghasilan tetapi tidak mencukupi. Adapula yang menyamakan antara fakir dan miskin.
2. Anak yatim: orang yang ditinggak mati ayahnya sebelum baligh. Ia layak mendapat perhatian dan kasih sayang hingga bisa mandiri. Fadhilah orang yang memerhatikan anak yatim: ia akan bersama Rasul saw di surga (ana wa kafilul yatim ka hatayni fil jannah). Sementara siapa yang tidak memerhatikannya dianggap sebagai orang yang mendustakan agama.
3. Tawanan. Maksudnya tawanan perang, apapun agamanya. Rasul saw menyruh sahabat pada perang Badar untuk mmberikan makan kepada para tawanan tersebut. Inilah etika dan akhlak Islam. Adapula yang menafsirkan tawanan disini sebagai “isteri” karena berada dalam penjagaan suami.”
Mengapa miskin didahulukan, lalu yatim dan tawanan?
1. Dari segi kebutuhan.
Karena kebutuhannya bersifat permanen. (berhak mendapat sedekah dan zakat), sementara yatim tidak selalu membutuhkan karena ada pula yatim yang kaya. Lalu tawanan tidak termasuk yang wajib diberi makan oleh setiap muslim; tetapi oleh penguasa saja.
2. Dari segi jumlahnya.
Orang miskin jauh lebih banyak dari yatim. Sebab yatim berakhir ketika baligh atau sudah bisa mandiri. Apalagi tawanan yang hanya ada di saat perang.
3. Dari segi kemandirian.
Orang miskin lebih mandiri dan lebih bisa memergunakan harta sesuai kebutuhan. Anak yatim tidak. Apalagi tawanan yang tidak bebas merdeka.
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 5, 2016 | Artikel, Qur'anic Corner
Oleh: Fauzi Bahreisy
Setelah menjelaskan tentang keberadaan dua golongan manusia: golongan yang bersyukur dan golongan yang kufur, Allah melanjutkannmya dengan balasan yang akan Dia berikan nanti untuk masing-masing mereka.
إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا
Kami telah sediakan untuk orang-orang kafir: rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala (QS al-Insan: 4)
Allah telah menyediakan siksa dan hukuman bagi orang kafir. Siksa tersebut tidak hanya disiapkan; tetapi telah disediakan. Karena itu kata kerja yang dipergunakan bukan أعْدَدْنَا (telah menyiapkan); melainkan أعتدنا (telah menyediakan).
Ini memberikan kesan lebih kuat dan lebih dalam. Pasalnya, sesuatu yang disiapkan belum tentu tersedia. Namun, sesuatu yang telah tersedia berarti telah siap dan telah ada.
Di samping itu, menurut pandangan ulama ahlu sunnah wal jamaah, ayat di atas juga menjadi dalil bahwa neraka saat ini telah ada dan telah tercipta. Pandangan ini diperkuat oleh sejumlah hadits Rasul saw. yang mengisyaratkan telah terciptanya neraka dan sorga. Di antaranya hadits tentang perjalanan manusia sesudah mati dan setelah dikubur.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Thabrani, ketika telah mendapat pertanyaan dari malaikat, orang yang berada dalam kubur akan diperlihatkan pintu yang menuju neraka. “Bukakan untuknya pintu menuju neraka!” Maka, dibukalah pintu menuju neraka untuknya.”
Lalu, apa bentuk siksa yang didapat orang kafir? Salah satu yang disebutkan dalam surat ini adalah rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. Rantai dipakai untuk mengikat kaki mereka. Belenggu dipakai untuk mengikat tangan ke leher. Sementara, neraka yang menyala adalah untuk membakar sehingga mereka menjadi kayu bakar jahannam.
Ada sebuah pertanyaan yang muncul; yaitu mengapa Allah menyebutkan rantai dan belenggu sebagai salah satu siksa bagi orang kafir di antara sekian banyak siksa yang diberikan kepada mereka? Apalagi penyebutan neraka yang menyala-nya sudah mencakup dan meliputi semua jenis siksa?
Menurut Dr. Fadhil Shalih al-Samira’I, hal itu terkait dengan kebebasan yang Allah berikan sebelumnya ketika manusia berada di dunia. Bukankah sebelumnya Allah memberikan kebebasan untuk memilih sehingga ada yang bersyukur dan ada yang kufur?!
Nah, karena orang kafir ketika berada di dunia tidak memanfaatkan kebebasan tersebut untuk memilih jalan yang benar, maka di akhirat kebebasan tadi tertutup bagi mereka. Sebagai akibatnya, kaki, tangan dan leher mereka terikat; tak bisa bebas bergerak. Itulah balasan bagi orang yang tak bisa memanfaatkan peluang kebebasan yang Allah berikan ketika di dunia.
Bayangkanlah bagaimana kondisinya ketika ia digiring ke neraka yang menyala-nyala dalam kondisi demikian. Sungguh sebuah gambaran yang menyeramkan. Semoga Allah melindungi kita darinya.
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
Orang-orang yang berbuat kebajikan meminum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (QS al-Insan: 5)
Setelah menggambarkan siksa yang diberikan kepada orang kafir, Allah mengetengahkan gambaran penduduk surga. Sengaja gambaran tentang nikmat yang diberikan kepada orang mukmin yang pandai bersyukur diletakkan sesudah berbicara tentang siksa padahal penyebutan orang yang beryukur pada ayat ketiga diletakkan sebelum orang yang kufur. Hal itu di antaranya untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi penjelasan tentang berbagai kenikmatan yang ada. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, yang dimaksudkan untuk mendekatkan pada kondisi yang sebenarnya sehingga kita terpacu untuk bisa meraihnya. Orang-orang yang berbuat kebajikan. Inilah golongan yang mendapatkan kenikmatan di surga.
Sebenarnya ada dua kata dalam bahasa Arab yang sama-sama mengacu kepada pelaku kebajikan dalam bentuk plural: أبرار dan بررة. Hanya saja di dalam Alquran ada perbedaan penggunaan untuk keduanya. Bentuk pertama dipergunakan untuk manusia, sementara bentuk kedua dipergunakan untuk malaikat; tidak pernah dipergunakan untuk manusia. Lihat misalnya dalam surat Abasa ayat 15 dan 16:
كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16) قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ (17)
Di tangan Para penulis (malaikat), yang mulia dan berbuat bajik.
Mengapa demikian? Tidak lain karena kata abrar mengacu kepada pelaku kebajikan yang jumlahnya sedikit, sedangkan bararah mengacu kepada pelaku kebaikan yang jumlahnya banyak. Hal ini sesuai dengan penjelasan Allah yaitu bahwa malaikat seluruhnya taat dan tunduk kepada-Nya, sementara tidak demikian dengan manusia. Hanya sedikit jumlah manusia yang beriman dan bersyukur di tengah limpahan karunia Allah yang tak terhingga. Fakta dan kondisi saat ini menjadi bukti atasnya.
Berapa banyak orang yang taat? Berapa banyak orang yang jujur? Berapa banyak orang yang melaksanakan salat lima waktu secara istikamah? Berapa banyak yang rutin mengaji? Allah befirman,
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13)
Sedikit sekali di antara hamba-Ku yang pandai bersyukur (QS Saba: 13)
Meminum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. Inilah nikmat yang didapatkan oleh orang yang berbuat bajik dan taat. Penggunaan kata kerja “meminum” dalam bentuk mudhari (present tense) mengisyaratkan bahwa mereka bisa minum kapan saja mereka kehendaki tanpa ada yang menghalangi. Lebih dari itu, bukan sembarang minuman yang mereka reguk. Tetapi, minuman istimewa karena dicampur dengan air kafur; yang aromanya wangi, berwarna putih, dan lezat rasanya.
Menurut Sayyid Quthb, dahulu orang-orang Arab biasa mencampur khamar yang biasa mereka minum dengan kafur atau dengan jahe untuk menambah kenikmatan. Ternyata minuman sejenis itu juga disediakan oleh Allah di surga. Hanya saja, tentu kualitasnya jauh berbeda. Pasalnya, apa yang terdapat di surga jauh lebih lezat, lebih segar, dan jauh lebih nikmat daripada apa yang terdapat di dunia. Dalam hal ini kafur yang berada di surga berupa mata air seperti diterangkan oleh ayat selanjutnya.
عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (6)
(Yaitu) mata air (di surga) yang hamba-hamba Allah minum darinya. Mereka dapat mengalirkannya ke mana saja (QS al-Insan: 6)
Ya, itulah yang dimaksud dengan kafur. Ia merupakan mata air yang mengalir di dalam surga. Lalu, siapa yang berhak mendapatkan dan meminum mata air tersebut secara langsung tanpa dicampur?
Hamba-hamba Allah minum darinya. Ini menunjukkan bahwa ibadullah (hamba Allah) yang dimaksud pada ayat di atas memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada al-abrâr (pelaku kebajikan dan ketaatan). Pasalnya ibadullah meminum air kafur tersebut secara murni tanpa dicampur dengan yang lain, sementara al-abrar meminum kafur hanya sebagai campuran.
Perumpamaannya adalah seperti orang yang meminum susu murni dan orang yang meminum susu dicampur dengan air. Tentu kedudukan antara kedua orang tersebut berbeda. Memang di akhirat nanti manusia terbagi tiga kelompok.
Allah befirman, “Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya. Lalu gunung-gunung dihancurluluhkan seluluh-luluhnya. Maka, jadilah ia debu yang beterbangan. Dan kamu menjadi tiga golongan: yaitu (1) golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan (2) golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Selanjutnya (3) orang-orang yang cekatan dalam kebaikan. Mereka Itulah al-muqarrabûn (yang didekatkan kepada Allah. Mereka berada dalam surga kenikmatan” (QS al-Waqiah: 4-12)
Nah, dalam hal ini al-abrar adalah golongan kanan, orang kafir golongan kiri, sementara ibadullah adalah orang yang cekatan dalam kebaikan yang kedudukannya dekat dengan Allah (al-muqarrabun). Jadi, orang yang cekatan dan menunjukkan ketaatan yang istimewa sebagai hamba Allah mendapatkan kedudukan khusus di sisi-Nya.
Di antara keistimewaan tersebut adalah pemberian mata air kafur sebagai minuman mereka. Tidak hanya sekedar minuman murni, bahkan, mereka dapat mengalirkannya ke mana saja. Artinya, mata air tersebut bisa dipancarkan ke mana saja mereka kehendaki dan di mana saja mereka berada. Entah ketika mereka berada di istana, rumah, kebun, ataupun majlis tempat duduk mereka. Entah dalam kondisi berdiri, duduk, tidur, ataupun di saat mereka berjalan. Subhanallah!