0878 8077 4762 [email protected]

Ummu Ma'bad Al-Khuza'iyyah: Pemilik Domba yang Penuh Berkah (1)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Keberhasilan Islam membangun fondasi sebuah negara di tengah padang pasir yang dikelilingi oleh kekafiran dan kejahiliyahan merupakan pencapaian yang sangat monumental sejak geliat dakwah Islam dimulai.
Seluruh kaum muslimin dari setiap pelosok saling memanggil “Ayo, kita pergi ke Yastrib!”. Tetapi, hijrah bukan hanya sekedar menyelamatkan diri dari kekacauan dan penghinaan, melainkan juga kerja sama antara semua kaum muslimin untuk membangun sebuah masyarakat baru di tempat yang aman.
Hijrah di masa itu berarti pemaksaan terhadap orang yang aman di tengah keluarganya dan memiliki latar belakang keluarga yang kuat di tempat kelahirannya agar secara sukarela mengorbankan segala kepentingan dan harta kekayaannya, dengan hanya diperbolehkan membawa badannya saja. Di saat ia dipaksa meninggalkan segala yang dimilikinya, ia juga akan merasa terancam karena tidak ada yang menjamin diri dan hartanya akan selamat. Ia bisa saja mati diawal atau akhir perjalanannya.
Dia berjalan menuju masa depan yang tidak jelas dan tidak tahu sebesar apakah kepedihan dan kegetiran yang akan ditanggungnya.
Seandainya perjalanan itu dianggap sebuah petualangan, maka dia akan dikatakan, “petualang ceroboh”. Bagaimana dia memutuskan untuk melintasi jarak yang begitu jauh dengan membawa istri dan anak-anaknya? Bagaimana dia merasakan perjalanan itu dengan senang hati dan gembira?!
Jawaban dari semua itu adalah iman yang lebih daripada gunung! Tetapi iman kepada siapa? Tentunya adalah iman kepada Allah yang memiliki segala sesuatu di langit dan  bumi. Dialah yang pantas dipuji di dunia dan di akhirat.
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 3-Akhir)]
Kegetiran dan kepedihan hijrah hanya dapat ditanggung oleh orang-orang yang beriman saja. Sedangkan orang yang penakut, pengecut dan suka mengeluh tidak akan melakukannya sama sekali, karena termasuk orang-orang yang dinyatakan sifatnya oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an:
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu’, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.” (QS. An-Nisa’ : 66).
Mengenal Lebih Jauh Perempuan yang Penuh Berkah Ini
Diantara orang-orang yang namanya terkait erat dengan peristiwa besar ini (hijrah) adalah seseorang yang penuh berkah, yaitu, Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyyah ra.
Tidak banyak orang yang mengenalnya di masa jahiliyah, karena memang dia bukanlah seorang tokoh yang terkenal. Ia hanyalah seorang wanita yang tinggal di pedalaman padang pasir yang serba sederhana. Ia hanya dikenal oleh lingkungan kemah dan sanak keluarganya yang ada di sekitarnya saja. Akan tetapi pada masa Islam, ia menjadi wanita yang sangat terkenal karena Nabi saw pernah menjadi tamunya ketika sedang dalam perjalanan hijrah yang penuh berkah ke kota Madinah.
Nama asli Ummu Ma’bad adalah ‘Atikah binti Khalid bin Munqidz. Ia adalah saudara wanita dari Khunais bin Khalid Al-Khuza’i Al-Ka’bi, seorang sahabat Rasulullah saw yang cukup terkemuka.
[Baca juga: Ummu Aiman: Sang Ibu Asuh Rasulullah (1)]
Khunais adalah seorang ksatria gagah berani yang terlibat dalam proses pembebasan kota Makkah. Saat itu, ia tergabung dengan rombongan pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid ra. Dan terbunuh pada hari itu juga sebagai syahid. Semoga Allah meridhainya.
Kisahnya dalam Rentetan Perjalanan Hijrah Nabi Saw 
Setelah tokoh-tokoh Quraisy membuat keputusan zalim untuk membunuh Nabi saw, Jibril as turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan wahyu Allah SWT yang membongkar konspirasi jahat Quraisy sekaligus memberi izin kepada Rasulullah saw untuk meninggalkan Makkah dan menjelaskan waktu keberangkatannya. Jibril as berkata “Janganlah kamu tidur malam ini diatas kasurmu yang biasa engkau gunakan untuk tidur”.
Tepat di siang hari Rasulullah saw menemui Abu Bakar ra. Beliau berkata “Suruhlah orang-orang yang ada di dalam rumah agar keluar.” Abu Bakar ra. menjawab “Wahai Rasulullah, mereka adalah keluargamu juga. Rasulullah saw melanjutkan “Allah telah mengizinkanku untuk keluar (hijrah)”. *bersambung

Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 3-Akhir)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Sosok Fatimah binti Asad Dimata Para Sahabat Nabi SAW
Setelah Ali bin Abu Thalib menikah dengan Fatimah putri Rasulullah saw, Fatimah binti Asad menjalankan tugas sebagai ibu kandung dan ibu mertua dengan baik. Ia sangat menyayangi menantunya. Bahkan, ia membantu Fatimah binti Muhammad dalam menyelesaikan ekerjaan rumah tangga.
Pada suatu kali, Ali bin Abu Thalib ra. menuturkan, “Aku pernah berkata kepada ibuku (Fatimah binti Asad), ‘Biarkan Fatimah yang mengambil air dan berbelanja, ibu yang  membuat tepung dan bubur’.”
Saatnya Berpisah
Fatimah binti Asad menjalani  hidupnya dengan iman dan tauhid. Ia adalah seorang wanita yang taat lagi rajin beribadah. Hingga akhirnya Allah memanggilnya kembali pada-Nya. Fatimah binti Asad ra. meninggal dunia. Ia dimakamkan di Madinah dan Rasulullah sendiri yang masuk ke dalam liang lahatnya dan menguburkannya. Sungguh ini merupakan satu kemuliaan tersendiri.
Rasulullah begitu kehilangan atas kepergian Fatimah binti Asad yang beliau sebut sebagai  Ibu keduanya itu.
Tapi begitu indahnya kepribadian dan akhlak Rasulullah saw, ia ingin menunjukkan sikap balas budi terhadap Fatimah binti Asad yang telah merawatnya sejak kecil.
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 2)]
Ibnu Abbas ra. menuturkan, “Ketika Fatimah ibunya Ali bin Abu Thalib wafat, Nabi melepas gamisnya dan memakaikan kepadanya. Beliau rebahan di dalam kuburannya. Ketika beliau menimbunnya dengan tanah, sebagian sahabatnya bertanya, “Ya Rasul, belum pernah engkau melakukan ini sebelumnya”. Beliau menjawab “Gamisku kupakaikan kepadanya supaya dia memakai pakaian surga. Aku rebahan di dalam kubur di sisinya, agar dia diringankan dari tekanan kubur. Selain Abu Thalib, tiada yang lebih baik  perlakuannya terhadapku daripada dia.” (HR.Thabrani) .
Begitulah kisah mulia dari seorang wanita mulia, berakhlak surga dengan segala keindahan imannya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.
Referensi:
35 Sirah Shahabiyah jilid 2, Mahmud Al Mishry.

Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 2)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Silahkan, pilih dari anak-anakku asalkan jangan Aqil”. kata Abu Thalib.
Muhammad muda memilih Ali dan Abbas memilih Ja’far. Ali tinggal di rumah Muhammad, hingga beliau diangkat menjadi Nabi saw. dan Ali langsung mengimani apa yang Rasulullah dakwahkan.
Kebahagiaan Itu Datang Juga 
Detik-detik yang ditunggu oleh alam semesta akhirnya datang juga. Muhammad diutus sebagai Nabi untuk menyebarkan cahaya dan kebaikan. Muhammad diangkat sebagai Nabi untuk menyelamatkan manusia dari kehinaan syirik dan kekafiran.
Ketika Allah menurunkan firman-Nya, “Dan berikanlah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. As-Syuara’: 214). Rasulullah langsung menyeru keluarga beliau kepada kebaikan dunia dan akhirat.
Dan Fatimah binti Asad termasuk orang-orang yang tidak ragu mengikuti seruan Rasulullah saw. Ia ucapkan dua kalimat syahadat, “Laa Ilaaha Illallah, Muhammadur Rasulullah“. Sementara suaminya, Abu Thalib meminta maaf karena belum bisa masuk Islam. Semua anak Fatimah masuk Islam, tidak ketinggalan Ali bin Abu Thalib.
Allah Mengubah yang Sulit Menjadi Mudah 
Fatimah binti Asad menjalani kehidupan yang penuh berkah. Ia dengan sabar dan penuh kasih sayang dalam merawat Nabi saw sejak Nabi saw kecil. Ajaran-ajaran Islam pun ia terima dengan baik sehingga ia benar-benar merasakan kebahagiaannya.
Akan tetapi musuh-musuh Islam selalu mengintai kondisi kaum muslimin. Mereka marah karena keyakinan mereka diusik. Mereka menumpahkan kemarahannya pada kaum muslimin. Semakin hari kondisi kaum muslimin semakin tersiksa oleh kaum kafir Quraisy. Sampai akhirnya Rasulullah mengetahui hal ini dan mengizinkan mereka hijrah ke Habasyah. Di sinilah ujian datang kepada Fatimah binti Asad ra. Ia harus melepas kepergian Ja’far putranya yang diangkat sebagai ketua rombongan muslim yang hijrah ke Habasyah. Ia sangat sedih manakala harus berpisah dengan putranya itu, namun ia tetap tegar. Ja’far hijrah ke Habasyah bersama istrinya.
Kaum kafir Quraisy sadar bahwa upaya menghambat perkembangan Islam selama ini kurang membuahkan hasil, maka kaum Quraisy menempuh cara baru yaitu mengisolasi keluarga besar Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Orang-orang lain dilarang berhubungan dengan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Kaum muslimin, termasuk Fatimah binti Asad ra. menghadapi pengucilan ini dengan sabar dan mengharap keridhaan Allah semata. Penderitaan yang dialami kaum muslimin sangatlah berat, hingga mereka harus memakan dedaunan agar tetap bertahan hidup. Isolasi terhadap kaum muslimin ini berlangsung selama 3 tahun.
Begitu kuat dan kokohnya Fatimah binti Asad ra. dan seluruh kaum muslimin tetap bersabar atas ujian yang mereka hadapi.
Sejarawan Ibnu Sa’d menuturkan, “Ketika orang-orang Quraisy mengetahui ketegaran kaum muslimin, mereka tertunduk lesu dan isolasi pun berakhir di tahun ke-7 kenabian”.
Pada tahun ke-7 kenabian inilah, Ummul Mukminin Khadijah ra. (istri Rasul) meninggal dunia. Kemudian disusul oleh Abu Thalib (paman Rasul). Dua orang inilah yang selama ini melindungi Rasul dari keganasan orang-orang Quraisy. Meninggalnya  mereka membuat kaum Quraisy semakin garang terhadap kaum muslimin. Hingga Allah mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Madinah.
Setelah berada di Madinah, Fatimah binti Asad ra. disambut hangat oleh muslimah di Madinah. Hari demi haripun keimanannya semakin mantap.
Nabi saw sangat sayang terhadap Fatimah binti Asad ra. Beliau sering mengunjunginya dan memberinya hadiah layaknya seorang anak yang rindu dan sayang kepada ibunya.
Ali ra. menceritakan, “Nabi memberiku kain brokat dan berkata, jadikan beberapa penutup kepala untuk para Fatimah”. Lalu kujadikan empat penutup kepala. Satu untuk Fatimah putri Rasulullah, satu untuk Fatimah binti Asad, satu untuk Fatimah binti Hamzah.” Ali tidak menyebutkan Fatimah yang keempat. *bersambung
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 1)]

Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 1)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Sekarang saatnya kita mengenal shahabiyah yang teramat mulia dan banyak memiliki keistimewaan yang Allah berikan padanya. Apa saja keistimewaan itu?
Dialah wanita yang mendidik Rasulullah saw setelah Abdul Muthalib (kakek Rasul) meninggal dunia. Dialah ibu dari pejuang gagah berani, khalifah keempat, Ali bin Abu Thalib ra. Dialah nenek dari dua pemuda pemimpin para pemuda surga, Hasan ra. dan Husain ra. Dialah ibu dari pahlawan gagah berani yang gugur sebagai syahid lalu Rasulullah saw meihatnya terbang dengan dua sayap di surga, satu dari tiga panglima perang Mu’tah, yaitu Ja’far bin Abu Thalib ra. Dia juga mertua dari wanita terbaik di zamannya, Fatimah binti Rasulullah saw.
Siapakah Wanita yang Mulia Ini?
Dialah shahabiyah agung yang bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Hasimiyah. Ia termasuk ke dalam salah satu rombongan pertama yang hijrah untuk memeluk Islam. Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang penuh kasih sayang terhadap anak yatim piatu. Dan inilah awal mula bagaimana seorang wanita mulia Fatimah binti Asad ra. memulai perjalanan berkah dalam kehidupannya.
Selepas kedua orang tua Nabi saw meninggal dunia, Nabi saw dirawat oleh kakeknya yaitu Abdul Muthalib, namun kebersamaan Nabi saw dengan kakeknya hanyalah sebentar, setelah Abdul Muthalib merasa yakin bahwasanya Nabi saw akan bisa dijaga dan dirawat dengan baik oleh anaknya, yaitu Abu Thalib. Akhirnya Abdul Muthalib meninggal dunia, dan semenjak itu Nabi saw tinggal bersama pamannya, Abu Thalib dan istrinya Fatimah binti Asad ra.
Di rumah itu Rasulullah mendapatkan kasih sayang dari wanita yang mulia ini, bahkan Rasulullah menganggap Fatimah binti Asad adalah ibu keduanya. Fatimah binti Asad menyayangi dan merawat Rasulullah melebihi anak kandungnya sendiri.
Berkah Mulai Dirasakan oleh Keluarga Abu Thalib
Abu Thalib dan keluarganya hidup serba kekurangan. Namun, setelah Nabi tinggal bersama mereka, kondisi kehidupan mereka berubah menjadi lebih baik.
(Baca juga: Mulianya Aisyah binti Abu Bakar di Dalam Islam)
Terutama pada saat makan, Nabi ikut makan bersama keluarga Abu Thalib. Makanan yang terlihat hanya sedikit, namun mampu membuat seluruh keluarga merasa kenyang.
Jika mereka makan tanpa adanya Nabi, mereka tidak merasakan kenyang. Berbeda ketika Nabi ikut makan bersama. Oleh sebab itu, Abu Thalib melarang seluruh anggota keluarganya makan sebelum Nabi memulainya.
Jika mereka sedang minum susu, maka Nabi dipersilahkan meminum susu itu terlebih dahulu. Meskipun susu itu hanya satu gelas, cukup untuk mengenyangkan seluruh anggota keluarga.
Itulah berkah yang Allah berikan kepada keluarga Abu Thalib saat Nabi tinggal bersama mereka.
Kasih Sayang Semakin Bertambah
Fatimah binti Asad ra. merasakan betapa besar berkah yang ia rasakan bersama keluarganya karena kehadiran Nabi saw dirumahnya. Ini pun membuat dirinya semakin menyayangi keponakannya itu. Ia merawat Nabi saw. Sejak Nabi kanak-kanak hingga menjadi pemuda, dengan penuh kasih sayang dan kemuliaan. Hingga Nabi menikah dengan Khadijah.
Permata Hatinya di Rumah Rasulullah SAW 
Lihatlah bagaimana Fatimah binti Asad mendorong anaknya (Ali bin Abu Thalib) untuk tinggal bersama Rasulullah saw. Ia melihat bahwa sebelum ini Rasulullah sangat perhatian dan menyayangi Ali.
Sejarawan Ibnu Ishaq menulis, “Diantara nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah kepada Ali ra. adalah tercukupinya kebutuhannya, padahal Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Ketika itu,orang-orang Quraisy ditimpa paceklik. Muhammad muda berkata kepada Abbas (satu dari pamannya) yang hidup berkecukupan, “Paman Abbas, paman Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Dan paman tahu, ini masa paceklik. Bagaimana kalau kita meringankan beban paman Abu Thalib. Aku menanggung satu anaknya, paman Abbas menanggung satu anaknya?” Abbas setuju.
(Baca juga: Ummu Kultsum binti Uqbah: Wanita yang Diselamatkan Al Quran (bagian 1)]
Lalu mereka datang ke rumah Abu Thalib dan mengutarakan maksud dan tujuannya. Dan Abu Thalib pun menyetujuinya seraya berkata “Terima kasih atas kebaikan kalian”. *bersambung

Ummu Kultsum binti Uqbah: Wanita Yang Diselamatkan Al Quran (bagian 2-akhir)

Oleh: Lia Nurbaiti
 
Klausul ini tidak mencakup kaum wanita, hingga banyak wanita mukmin yang datang dan berhijrah termasuk Ummu Kultsum binti Uqbah ra. Sebenarnya keluarga Ummu Kultsum ra. meminta kepada Rasul untuk mengembalikan putri mereka, namun Rasul menolak permintaan mereka. Penolakan ini juga disebabkan turunnya ayat Al-Quran:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Berdasarkan ayat tersebut, Rasulullah memastikan kembali apakah para wanita mukmin itu benar-benar hijrah karena Allah, Rasul dan Islam? Jika iya, maka Rasulullah tidak akan mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir .
Ummu Kultsum ra. pun menceritakan sendiri pengalaman pribadinya ketika hijrah, “Aku suka pulang pergi ke kampung pedalaman yang disana tinggal beberapa keluargaku. Aku menginap disana selama tiga atau empat malam. Kampung itu terletak tidak jauh dari Tan’im. Setelah menginap, aku kembali lagi kepada keluargaku, sehingga mereka tidak curiga  dengan kepergianku ke kampung itu. Hal itu terus aku lakukan sampai aku benar-benar bertekad untuk meninggalkan Makkah. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk pergi meninggalkan Makkah menuju Madinah. Setibanya disana aku langsung menuju ke rumah Ummu Salamah. Pada saat itu ia tidak mengenaliku karena aku menggunakan cadar. Setelah aku buka cadarku, ia mulai mengenaliku.
Ummu Salamah berkata, “Engkau telah berhijrah karena Allah dan Rasulullah”. Aku membalas, “Benar, masalahnya aku takut Rasulullah akan mengembalikanku kepada keluargaku karena aku telah berhijrah. Apalagi aku sudah meninggalkam rumah berhari-hari.”
Tidak lama kemudian Rasulullah datang dan masuk kedalam rumah Ummu Salamah. Ummu Salamah pun langsung memberitahu keberadaan Ummu Kultsum ra.
Rasulullah saw begitu senang dan hangat menyambutnya. Lalu Ummu Kultsum ra. mengatakan, “Sesungguhnya aku telah melarikan diri dari Quraisy untuk menyelamatkan agamaku, maka pertahankanlah aku dan jangan engkau kembalikan kepada mereka, karena mereka selalu menyiksaku dan menghalangi keagamaanku. Aku tidak tahan lagi terhadap penyiksaan mereka. Aku hanyalah seorang wanita dan engkau mengetahui kelemahan wanita untuk membela dirinya”.
Pernikahan yang Penuh Berkah
Setelah hijrah yang penuh berkah dan penuh pengorbanan karena harus meninggalkan keluarga dan tempat kelahirannya demi meraih ridha Allah SWT, Ummu Kultsum ra. pun bahagia tinggal di Madinah.
Selama tinggal di Makkah, Ummu Kultsum belum menikah,  hingga setibanya di Madinah ia dinikahi oleh Zaid bin Haritsah ra, tetapi kemudian ia menceraikannya.
Setelah itu, Abdurrahman bin’Auf ra. melamar dan menikahinya. Pasangan ini dikaruniai dua orang putera, yakni Ibrahim dan Humaid. Setelah Abdurrahman bin ‘Auf meninggal, ‘Amr bin Al-‘Ash ra. melamar dan menikahinya, namun tidak lama kemudian Ummu Kultsum ra. meninggal dunia.
Itulah gambaran tentang kehidupan rumah tangga Ummu Kultsum ra. Ia pindah dari satu lingkungan  yang penuh dengan nuansa imani menuju lingkungan imani yang lainnya hingga tiba masa yang dikehendaki Allah sebagai batas ajalnya. Hingga ia meninggalkan hirup pikuk dunia ini.
Selama perjalanan hidupnya ia tak lepas dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah hingga masa kepergiannya dari dunia ini. Meskipun jasadnya tak lagi ada, namun riwayat hidupnya masih terasa segar dan tetap akan diriwayatkan dari generasi ke generasi sebagai cahaya yang menerangi perjalanan hidup mereka.
Semoga Allah meridhainya dan membuatnya ridha, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat persinggahan terakhir baginya.
Semoga banyak hikmah terbaik yang bisa kita petik.
Aamiin Allahuma Aamiin..
Referensi:
35 Sirah Shahabiyah jilid2, Mahmud Al Mishri
 

Mulianya Aisyah binti Abu Bakar di dalam Islam

Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
 
Aisyah binti Abu Bakar bin Quhafah ra. adalah salah satu ummul mukminin. Ibunya adalah Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir al-Kinaniyah. Ia lahir 4 atau 5 tahun setelah masa kenabian. Ia adalah sosok wanita yang cerdas dan suci, memiliki keimanan dan kesetiaan yang kuat pada Islam. Ia juga adalah wanita yang putih dan cantik, sehingga Rasulullah SAW seringkali memanggilnya dengan panggilan “Humaira`” (wanita yang pipinya kemerah-merahan).
Ia dinikahi oleh Rasulullah SAW kurang lebih 10 bulan sebelum hijrah pada saat ia berusia 6 tahun. Ia mulai tinggal bersama dengan Rasulullah SAW pada bulan Syawwal tahun ke 2 H saat berusia 9 tahun. Dalam sebuah riwayat dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah SAW menikahiku pada saat aku berusia 6 tahun. Beliau mulai tinggal bersamaku saat aku berusia 9 tahun.” (Muttafaq ‘alaih).
Rasulullah SAW pernah bermimpi melihat Aisyah sebelum beliau menikahinya. Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa Aisyah ra. berkata, Rasulullah SAW berkata padaku, “Aku melihatmu dalam mimpiku selama 3 malam. Malaikat datang kepadaku bersamamu dengan membawa sepotong kain sutera. Lalu malaikat tersebut berkata, “Ini adalah isterimu.” Lalu aku menyingkap wajahmu, dan ternyata itu adalah engkau. Aku pun berkata, “Jika ini berasal dari Allah, maka Allah akan memudahkannya.” (Muttafaq ‘alaihi).
Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang dinikahi saat masih gadis. Ia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menuju sebuah lembah yang di dalamnya terdapat pohon yang sudah dimakan, lalu engkau mendapatkan pohon yang belum dimakan, di pohon manakah engkau akan mengembalakan kambingmu?” Rasulullah SAW menjawab, “Di pohon yang belum dimakan.” Maksudnya adalah bahwa Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita yang gadis selain Aisyah. (HR. Bukhari). [Baca juga: Asma’ binti Abu Bakar : Wanita Dua Selendang (bagian 1)]
Aisyah memiliki kedudukan yang istimewa di hati Rasulullah SAW. Seringkali beliau mengutarakannya secara langsung tanpa menyembunyikannya. Suatu saat ‘Amr bin ‘Ash bertanya kepada Rasulullah saw, “Siapakah orang yang paling kau cintai wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aisyah.” Ia bertanya lagi, “Kalau dari kalangan laki-laki siapa?” Beliau menjawab, “Ayahnya (Abu Bakar).” (Muttafaq ‘alaih).
Aisyah ra. juga pernah berkata, “Demi Allah, aku pernah melihat Rasulullah SAW berdiri di depan pintu kamarku. Sementara orang-orang Habasyah sedang bermain-main dengan tombak mereka di Masjid Rasulullah. Beliau menutupiku dengan selendangnya agar aku dapat melihat permainan mereka. Lalu aku meletakkan kepalaku di atas pundaknya, diantara telinga dan bahunya. Kemudian beliau bangkit agar aku dapat melihat tersebut sampai akhirnya aku sendiri yang pergi.” (HR. Ahmad).
Aisyah ra. adalah seorang wanita yang cerdas dan pintar. Ia banyak mendapatkan ilmu dari Rasulullah SAW. Ia juga termasuk diantara sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Tidak ada wanita yang memiliki wawasan Islam melebihi Aisyah ra.
Al-Hakim dan ad-Darimi meriwayatkan dari Masruq bahwa ia pernah ditanya, “Apakah Aisyah menguasai ilmu faraidh (warisan)?” Lalu ada yang menjawab, “Iya, demi Allah, aku telah melihat para sahabat senior bertanya kepadanya mengenai ilmu faraidh.”
Az-Zuhri berkata, “Seandainya ilmu yang dimiliki Aisyah ditimbang dengan ilmu yang dimiliki seluruh wanita, maka ilmunya Aisyah lebih tinggi”. [Baca juga: Asma’ binti Abu Bakar : Wanita Dua Selendang (bagian 2)]
Sebagaimana ia memiliki ilmu yang luas, ia juga memiliki keutamaan yang banyak. Diantaranya ialah sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Orang yang mulia dari kalangan laki-laki jumlahnya banyak, namun dari kalangan wanita hanya Asiyah istri fir’aun, Maryam binti ‘Imron. Dan keutamaan Aisyah atas semua wanita seperti keutamaan tsarid atas makanan yang lain.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Aisyah sendiri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Aisyah, Malaikat Jibril telah mengucapkan salam kepadamu.” Lalu aku (Aisyah) menjawab, “Wa ‘alaihis salam warahmatullah.”
Bahkan ada sebuah ayat yang turun disebabkan oleh beliau, yaitu ayat yang berbicara tentang tayammum. Suatu saat ia meminjam kalung dari Asma`, lalu kalung tersebut hilang. Kemudian Rasulullah SAW meminta beberapa sahabat untuk mencarinya hingga datanglah waktu shalat, dan sahabat tidak menemukan air. Mereka pun melaksanakan shalat tanpa berwudhu`. Lalu mereka mendatangi Rasulullah SAW dan mengadukan hal itu kepadanya. Lalu turunlah ayat tayammum. Usaid bin Hudhair berkata, “Jazakillah khairan. Demi Allah tidaklah ada sebuah perkara yang menimpamu kecuali Allah memberikan jalan keluar bagimu dan Allah berikan keberkahan bagi kaum muslimin.” (Muttafaq ‘alaih).
Ibnul Qayyim berkata, “Diantara keutamaan Aisyah adalah bahwa ia adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Bukhari dan perawi lainnya”.
Dan keistimewaan yang paling utama adalah saat beliau dibersihkan secara langsung oleh Allah SWT dari tuduhan yang telah merusak kehormatannya, yaitu pada saat ia dituduh telah melakukan perbuatan zina. Allah SWT langsung menurunkan wahyu yang akan terus dibaca oleh kaum muslimin hingga hari kiamat. Allah SWT juga telah menjadi saksi bahwa ia adalah wanita yang suci dan dijanjikan ampunan dan rezeki yang besar oleh-Nya. Allah SWT juga menegaskan bahwa tuduhan zina itu adalah sebuah kebaikan baginya, bukan sebuah keburukan atau aib. Bahkan dengan peristiwa tersebut Allah SWT mengangkat setinggi-tingginya kedudukan beliau hingga hari kiamat.
Dan keutamaan lainnya yang dimiliki oleh Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahnya dan diatas pangkuannya. Ini bukanlah paksaan atau permintaan dari Aisyah, akan tetapi ini adalah keinginan langsung dari Rasulullah SAW. Bahkan sebelum Rasulullah wafat, beliau sempat menyentuh air liur Aisyah yang ada di siwak yang telah dibasahi olehnya. [Baca juga: Asma’ binti Abu Bakar : Wanita Dua Selendang (bagian 3-akhir)]
Masih banyak riwayat-riwayat lainnya yang menyebutkan keistimewaan dan keutamaan Aisyah ra, yang mana hal itu menegaskan akan posisi dan kedudukan beliau di dalam agama Islam. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin untuk menghormati dan memuliakannya, bukan mencela, menghina apalagi melaknatnya. Dan barang siapa yang mencela ummul mukmini Aisyah ra, maka pada hakikatnya ia telah melukai hati Rasulullah SAW dan menghina kehormatan Islam. Siapa saja yang tidak mengakui bahwa istri-istri Rasulullah saw –termasuk Aisyah- adalah ummul mukminin, maka ia telah mengingkari firman Allah SWT,
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.” (al-Ahzaab: 6).
Wallahua’lam.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 333 – 12 Juni 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!