Oleh : Ustad Fauzi Bahreisy
Pertama, prinsip dalam muamalah dan kehidupan bermasyarakat adalah boleh selama tidak ada larangan
(الاصل في المعاملة الاباحة)
Dalam hal ini tidak ada dalil shorih yang melarang memperingati hari kemerdekaan atau memperingati peristiwa penting dalam kehidupan.
Kedua, bahwa dalam Islam hanya terdapat dua hari raya (iedul fithri dan iedul adha) itu benar. Tidak ada lagi hari raya yang lain bagi umat Islam.
Namun itu dalam urusan agama dan ibadah. Bukan dalam urusan kemasyarakatan dan kehidupan sosial yang tidak ada kaitannya dengan ibadah (mahdhah).
Karena itu tidak masalah memperingati hari ibu, hari pahlawan, hari buruh, termasuk hari kemerdekaan dan seterusnya sebagai sebuah cara memperingati peristiwa penting yang pernah terjadi.
Ketiga, kalau dikatakan bahwa perayaan tersebut menyerupai non-muslim (tasyabbuh dengan mereka), maka tasyabbuh yang dilarang adalah yang terkait dengan agama atau simbol-simbol agama.
Jika tidak, banyak sekali tasyabbuh dengan non-muslim dalam kehidupan ini. Rasul saw dalam perang (jihad) juga pernah menyerupai atau meniru Persia yang membuat parit atau khandaq.
Keempat, bila dikatakan bahwa isi dari perayaan tersebut berupa sesuatu yg bathil, maka tidak sepenuhnya demikian.
Yang bathil kita singkirkan. Namun kegiatan yang lain seperti mengibarkan bendera tidak bisa disebut bathil.
Pasalnya ia hanya simbol rasa syukur atas terwujudnya kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah yang memang tidak dibenarkan dalam Islam.
Sama seperti para sahabat yang dalam jihad berusaha menaikkan dan mengibarkan panji Islam apapun kondisi mereka.
Kesimpulannya, merayakan hari kemerdekaan tidaklah terlarang, selama dilakukan dengan benar dan ditujukan untuk menumbuhkan rasa syukur dan spirit kemerdekaan.
Wallahu a’lam.