Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
 
Imam Asy-Syafi’i begitu biasa ia dipanggil, nama yang begitu terkenal, bahkan hampir semua kaum muslimin dimuka bumi ini pernah mendengar namanya. Beliau salah seorang imam madzhab. Lahir di Gaza, pada bulan rajab tahun 150 H dengan nama lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman Asy-syafi’i. Ia keturunan Arab dari kabilah Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdu Manaf.
Meski lahir dari keturunan kabilah yang sangat mulia, Imam Syafi’i tidaklah seberuntung orang-orang yang hidup se-zaman dengannya, ia lahir dan tumbuh dalam keluarga yang faqir. Ayahnya wafat saat usianya baru menginjak 2 tahun. Imam Syafi’i berkata : “Aku adalah seorang yatim dibawah asuhan ibuku. Ibuku tidak mempunyai dana untuk membayar seorang guru agar mengajariku”.
Tumbuh dalam kondisi yatim dan faqir tidaklah membuat Imam Sya’fi’i lemah dan hina, bahkan kelak ia menjadi orang yang sangat dihormati dan disegani karena ilmu dan kecerdasan yang dimilikinya.
Perjalanan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu dimulai saat ibunya (Fatimah) membawanya ke Makkah Al-Mukarramah, dan tinggal disebuah kampung dekat Masjidil Haram, yang disebut kampung Al-Khaif. Disana ia mendapati sebuah halaqah Al-Qur’an yang dibimbing orang seorang Syaikh yang sangat menguasai ilmu Al-Qur’an. Rasa ingin tahu dan ingin bisa Imam Syafi’i begitu besar, hingga ia memutuskan untuk mendengarkan halaqah tersebut meski tidak ikut didalamnya.
Karena kesungguhan dan keseringannya mendengarkan halaqah tersebut, sang Syaikh pun mengizinkan Imam Syafi’i untuk ikut duduk didalam halaqahnya. Bahkan kemudian sang Syaikh pun sangat takjub dengan kecerdasan yang dimiliki Imam Syafi’i. Ia mampu menghafal apa yang didiktekan oleh Syaikh dengan waktu yang sangat cepat. Karena kecerdasannya itu sang Syaikh pun berkata : “Demi Allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari kamu sesen pun”.
Imam Syafi’i pun berhasil menghatamkan hafalan Al-Qur’annya pada usia tujuh tahun, bahkan pada usia ini ia telah banyak menghafal bait-bait syair matan-matan ilmu bahasa, sebab terkadang ia pergi kepedalaman untuk mempelajari bahasa dari para ahli bahasa yang ada disana.
Selesai menghatamkan hafalan Al-Qur’annya Imam Syafi’i pun kemudian belajar memperdalam ilmu hadits dan fiqh dari para ulama yang ada di Masjidil Haram. Karena kefaqirannya Imam Syafi’i terpaksa harus mencatat apa yang disampaikan oleh para gurunya diatas tulang belulang yang ia temukan. Karena begitu banyak tulang-belulang yang memenuhi lemarinya Imam Syafi’i pun memutuskan untuk menghafal semua yang tertulis ditulang belulang tersebut, hingga akhirnya ia pun berhasil menghafal semuanya dengan begitu cepat.
Karena kecerdasan dan kepandaiannya, dengan waktu cepat Imam Syafi’i mampu menjadi seorang ahli tafsir dan bahasa Arab, Sofyan bin Uyainah seorang muhaddits (ahli hadits) Masjidil Haram ketika mendapatkan pertanyaan yang sulit seputar tafsir dan fiqih pun menoleh kearah Imam Syafi’i seraya berkata : “Coba tanyakan kepada anak itu”. Bahkan Syaikh Muslim bin Khalid, seorang Syaikh Masjidil Haram yang juga guru pertamanya telah mengizinkannya untuk berfatwa saat usianya menginjak 15 tahun.
Kemampuannya dalam menguasai berbagai bidang agama lantas tidak melenakannya untuk terus belaja rmendalami ilmu agama. Pada usia 20 tahun Imam Syafi’i mendengar kehebatan seorang alim di kota Madinah Al-Munawarah, seorang penulis kitab Al-Muwaththa’ yang sangat terkenal yakni, Imam Malik bin Anas.
Dengan bantuan Gubernur Makkah dan Gubernur Madinah saat itu, Imam Syafi’i pun berhasil bertemu dengan Imam Malik. Lantas ia menyampaikan keinginannya memperdalam kitab Al-Muwaththa’. Sempat ditolak berguru Imam Syafi’i pun menunjukkan kecerdasannya, ia mengatakan kepada Imam Malik bahwa ia telah menghafal sebagian isi kitab Al-Muwaththa’ dari sahabatnya yang ada di Makkah seraya menyebutkan apa yang ditulis oleh Imam Malik dalam kitab monumentalnya tersebut. Imam Malik pun takjub dengan kecerdasannya, akhirnya Imam Syafi’i pun diizinkan berguru dengannya. Kurang lebih 8 bulan Imam Syafi’i bersama Imam Malik, hampir disetiap majelis Imam Malik selalu mendampinginya, hingga akhirnya Imam Syafi’i berhasil mengusai semua isi kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Selesai menguasai isi kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, Imam Syafi’i pun memiliki keinginan untuk memperdalam apa yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah melalui muridnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang berada di Iraq. Dengan bekal 64 dinar yang diberikan oleh Imam Malik, Imam Syafi’i pun berangkat ke Iraq dan menemui murid Abu Hanifah tersebut.
Beberapa lama tinggal di Iraq Imam Syafi’i pun berhasil menguasai apa yang disampaikan oleh murid Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i pun menjadi orang yang sangat dikenal oleh para penuntut ilmu saat itu bahkan hingga kini. Setiap orang yang belajar ilmu agama pasti ia mengetahui kecerdasan dan kehebatan Imam Syafi’i dalam menguasai ilmu agama.
Karena kecintaannya terhadap ilmu Imam Syafi’i pun terus melakukan perjalanan demi menguasai ilmu yang dimiliki oleh para ulama yang ada di zamannya.Tercatat ia pun telah melakukan perjalanan ke Persia, Yaman, dan Mesir. Semua ia lakukan untuk menguasai ilmu agama dan mengajarkannya ikhlas karena Allah SWT.
Imam Syafi’i wafat pada malam jum’a tmenjelang subuh, pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H, dalam umurnya yang ke 54 tahun. Semoga Allah merahmatimu wahai Imam…
Referensi :
1. Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’ karya Abu Nu’aim Al-Ashfahani
2. Buku 60 Biografi Ulama Salaf, terjemahan kitab Min a’lam As-Salaf karya Syaikh Ahmad Farid
3. Buku Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu, terjemahan kitab Rihlatul Ulama Fi Thalabil ‘Ilmi, karya Abu Anas Majid Al-Bankani
4. Buku Biografi 10 Imam Besar, terjemahan kitab Hayaatul Aimmah, karya Syaikh M.Hasan Al-Jamal
ed : danw