Oleh: Fauzi Bahreisy
Rasul SAW bersabda, “Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim).
Hadis tersebut cukup populer di kalangan umat Islam. Kedudukannya juga shahih. Ia menjadi dalil dan panduan umat terkait dengan urgensi dan prosedur mengubah kemungkaran. Diantara pelajaran yang bisa diambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut.
Pertama, ukuran keimanan seseorang ternyata tidak hanya dilihat dari ibadahnya, shalatnya, puasanya, hajinya, dan seterusnya. Akan tetapi, juga dilihat dari sikapnya ketika melihat dan merespon kemungkaran.
Saat melihat kemungkaran, seorang mukmin tidak boleh diam, abai, apalagi sampai ridha dan mendukung. Namun, ia harus menunjukkan pembelaan dan loyalitasnya kepada Allah dengan berusaha mengubah kemungkaran tersebut. Itulah ciri dari mukmin sejati.
Allah berfirman, “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran” (QS Ali Imran: 110).
(Simak juga: Ceramah Agama: Mencegah Kemungkaran oleh KH. Dr. Muslih Abdul Karim, MA)
Kedua, Nabi SAW menyebut kemungkaran dalam bentuk nakirah (indefinit). Apa maknanya? Maknanya, kemungkaran yang dimaksud berlaku umum. Berlaku pada semua jenis kemungkaran. Berlaku pada semua tindakan yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul SAW. Dengan demikian, ia tidak hanya terbatas pada urusan akidah, ibadah mahdah, dan seterusnya.
Melindungi apalagi melegalkan prostitusi adalah sebuah kemungkaran. Melegalkan peredaran miras di mini market adalah sebuah kemungkaran. Menggusur masyarakat dan pedagang dengan cara semena-mena adalah sebuah kemungkaran. Melindungi pengusaha kelas kakap dan menggusur pedagang kecil adalah sebuah kemungkaran.
Nepotisme adalah sebuah kemungkaran. Korupsi adalah sebuah kemungkaran. Dusta dan bohong adalah sebuah kemungkaran. Tindakan kasar, zalim, aniaya disertai sumpah serapah bertentangan dengan adab dan jelas merupakan sebuah kemungkaran. Dan masih banyak lagi yang lain.
Ketiga, mengubah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) diletakkan oleh Nabi SAW dalam urutan pertama. Pasalnya, kekuasaan itulah yang memiliki peran efektif dan strategis dalam mengubah kemungkaran. Apalagi, kemungkaran yang terjadi saat ini begitu masif. Betapa banyak dakwah, nasihat, dan petuah agama disampaikan tetapi menjadi kurang efektif saat dirusak oleh tayangan media dan regulasi kebijakan yang menyimpang.
(Baca juga: Agar Tidak Tersesat Di Jalan)
Mengubah kemungkaran menjadi sangat efektif ketika dilakukan lewat kekuasaan. Karena itu, dari sini dapat dipahami mengapa agama menyuruh memilih penguasa yang beriman, yang Islam, yang berakhlak, yang taat, dan pintar karena ia akan bisa melakukan proses amar makruf dan nahi mungkar.
Namun, jika kekuasaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, yang tidak layak, yang tidak beriman, maka tunggu saat kehancurannya.
Rasul SAW bersabda, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya, “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada orang yang tidak tepat, tunggulah kehancuran itu.” (HR al-Bukhari).
Wallahua’lam.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 371 – 6 Mei 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi@alimancenter.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!