Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Setiap surat yang terdapat dalam Alquran memiliki keistimewaan masing-masing; entah dari sisi isi, gaya bahasa, cara penyampaian, ataupun fadhilah-nya. Demikian pula dengan surat al-Insan. Surat ini—yang juga disebut dengan surat ad-Dahr—memiliki keistimewaan dan keutamaan sendiri.
Dalam Shahih Muslim seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah SAW pada saat melakukan shalat subuh di hari jumat membaca surat as-Sajadah pada rakaat pertama dan surat al-Insan pada rakaat kedua. Tentu bukan karena kebetulan beliau memilih surat al-Insan sebagai bacaan dalam salat beliau. Pastilah hal itu dilakukan karena kedudukan dan rahasia yang terdapat di dalamnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa surat ini merupakan surat Madaniyyah; diturunkan setelah Rasulullah SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Namun, pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa surat ini dilihat dari muatan isi dan konteksnya merupakan surat Makkiyyah; yakni diturunkan sebelum hijrah. Pasalnya, di sini Allah mengetengahkan gambaran yang cukup panjang tentang surga berikut gambaran tentang siksa.
Di dalamnya Allah juga memberikan pengarahan kepada RasulullahSAW untuk bersabar menghadapi kondisi yang ada dan untuk tidak menaati orang kafir; di mana semua ini terjadi saat beliau mendapatkan intimidasi dan tekanan keras dari penduduk Mekkah. Karena itu, surat ini lebih mencerminkan ciri dari surat Makkiyyah.
Lalu mengapa ia disebut dengan surat al-Insan yang secara bahasa bermakna manusia? Pasalnya, menurut Dr. Fadhil Shalih as-Samira’i, dari segi konteks dan isi, surat ini mengemukakan berbagai tahapan kondisi manusia dari awal sampai akhir. Diawali dengan penegasan tentang fase ketiadaannya, lalu kedatangannya ke dunia yang berasal dari nuthfah, kemudian keberadaannya sebagai manusia yang mendapatkan tugas dan beban taklif, serta kesudahannya entah menuju sorga yang penuh dengan nikmat atau menuju neraka yang penuh siksa dan derita.
Semua itu dijelaskan oleh Allah dalam bentuk yang menarik. Menarik karena gambaran tentang keduanya (surga dan neraka) mendapatkan porsi yang sangat berbeda. Kalau gambaran siksa neraka dilukiskan hanya secara umum dan singkat, sebaliknya gambaran tentang sorga dilukiskan secara detil dan indah. Tentu saja gambaran semacam itu menjadi pemicu bagi kita semua untuk menumbuhkan keinginan, menambatkan harapan, mengarahkan perhatian, dan menyiapkan bekal guna menggapai surga-Nya.
Peluang dan kesempatan untuk menggapai kenikmatan abadi tersebut terbuka bagi kita semua; yaitu yang memiliki akal, perasaan, tekad, dan bashirah. Kalau surga berhasil digapai—di mana ini menjadi doa dan harapan kita semua–sungguh merupakan lompatan perjalanan dan perpindahan yang luar biasa. Semuanya merupakan nikmat dan karunia Allah untuk manusia. Bayangkan manusia yang tadinya tiada, setelah dihadirkan ke dunia tidak dibiarkan begitu saja. Dengan karunia, kehendak, bimbingan dan kekuasaan-Nya Allah arahkan manusia untuk menggapai kenikmatan abadi di dalam surga-Nya. Semoga taufik dan hidayah-Nya senantiasa bersama kita. Amin.
Tadabbur
Sekarang, marilah kita menelaah, mempelajari, dan mentadabburi ayat demi ayat dari surat al-Insan ini untuk kemudian menjadi bekal, modal, dan landasan dalam beramal.
هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا (1)
Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, yang ketika itu ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS al-Insan: 1)
Ini merupakan ayat pertama yang menjadi pembuka surat al-Insan. Ia dimulai dengan sebuah pertanyaan. Namun, pertanyaan tersebut bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Melainkan pertanyaan yang bermakna penegasan. Sama seperti ketika kita berkata kepada seseorang, “Bukankah sebelumnya engkau berada dalam kondisi miskin?! Bukankah ia telah memberikan banyak bantuan kepadamu?! Bukankah aku telah mengatakan hal tersebut sebelumnya?”
Nah, ayat di atas juga bermakna demikian. Dengan bentuk pertanyaan seperti itu Allah ingin menegaskan sekaligus mengingatkan kita tentang sebuah hakikat yang sangat penting. Yaitu bahwa sebelum hadir ke dunia, manusia tidak memiliki wujud dan belum menjadi sesuatu yang disebut-sebut. Jangankan eksistensi dan wujudnya, namanya saja belum ada. Entah berada di mana kita seratus tahun, dua ratus tahun, atau seribu tahun yang lalu. Lalu jika demikian, bagaimana manusia bisa berlaku sombong, congkak dan angkuh. Tidakkah ia mengingat kondisinya yang berawal dari tiada?! Tidakkah ia mengingat kelemahan dan ketidakberdayaannya?! Kalaulah saat ini kita menjadi besar, tampan, cantik, memiliki harta, dan jabatan maka harus disadari bahwa sebelumnya kita tiada, tidak mempunyai modal, dan tidak memiliki apa-apa.
Redaksi di atas merupakan cara Allah dalam menyadarkan dan mengingatkan manusia bahwa Dia Mahakuasa, sementara manusia lemah dan tak berdaya. Dalam surat Maryam ayat 9 Allah juga befirman, “Hal itu adalah mudah bagi-Ku. Aku telah menciptakan kamu sebelum itu, yaitu di saat kamu belum ada.”
Kembali pada ayat pertama di atas, apa gerangan jawaban atas pertanyaan dan penegasan Allah tersebut? Adakah di antara kita yang menyangkal kalau manusia tadinya tiada kemudian ada?! Tentu tak ada yang bisa menyangkal. Kalau demikian, siapa yang yang telah menghadirkan manusia ke dunia dan dari mana asalnya? Ayat kedua dari surat al-Insan memberikan jawaban:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (2)
“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur untuk Kami uji. Karena itu, Kami jadikan ia mendengar dan melihat”.
Sangat jelas bahwa yang menghadirkan manusia dan menciptakannya adalah Allah. Hal ini diperkuat dengan huruf inna (sungguh) yang berfungsi untuk mempertegas agar tidak ada lagi yang ragu dan bimbang.
Ya, manusia tidak hadir dengan sendirinya ke dunia dan tidak berasal dari sebuah kebetulan. Tetapi, manusia hadir dari sebuah proses penciptaan yang rumit dan sempurna. Dan yang menciptakannya tidak lain adalah Allah SWT.
Dari apa Allah menciptakan manusia? “Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur.” Inilah asal dan bahan dasar penciptaan kita. Siapapun kita, apapun jabatan kita, dan di manapun kita berada, semua berasal dari nuthfah atau mani. Lalu, dengan kekuasaan, pengetahuan, dan kebijaksanaan Allah, mani yang kotor dan menjijikkan itu secara perlahan-lahan berubah menjadi janin dan berbentuk manusia. Betapa besar kemurahan Allah atas kita!
Manusia berasal dari setetes mani yang bercampur; yaitu campuran antara sperma laki-laki dan ovum wanita. Dengan kehendak-Nya mani tersebut bersatu dan berproses untuk kemudian menjadi manusia.
Selanjutnya, setelah manusia tercipta muncul pertanyaan lain: Apa makna dari kehadiran manusia ke dunia? Apakah hanya untuk bermain-main, bersenda gurau, dan bersenang-senang? Apakah hanya untuk memperturutkan nafsu dan melampiaskan syahwat? Apa hanya untuk makan dan minum? Untuk berbuat berbagai kezaliman dan penyimpangan? Atau hanya sekedar menghabiskan waktu tanpa tujuan yang jelas?
Tentu saja tidak. Allah tidak pernah bermain-main dalam menciptakan makhluk; apalagi dalam menciptakan manusia.
Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (QS al-Mu’minun: 115)
Ada tujuan yang jelas dari penciptaan manusia. Yaitu “untuk Kami uji”. Jadi, Allah menghadirkan manusia untuk diuji sehingga tampak sejauh mana kualitasnya. Hal sama Allah sebutkan dalam ayat kedua surat al-Mulk,
Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah terdapat segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Dia) yang menjadikan mati dan hidup untuk mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (QS al-Mulk: 1-2)
Inilah hakikat dari keberadaan kita di dunia. Kita semua pada dasarnya sedang diuji oleh Allah. Sepanjang berada di dunia selama itu pula kita harus siap menerima berbagai ujian. Karena itu, dunia disebut sebagai dar al-ibtila (negeri tempat ujian), sementara akhirat disebut sebagai dar al-jaza (negeri tempat pemberian balasan). Ujian yang Allah berikan mempunyai beragam bentuk. Ujian tersebut berupa perintah dan larangan-Nya, berupa kesenangan dan kesulitan, berupa nikmat dan bencana, sehat dan sakit, kaya dan miskin, dan seterusnya. Kalau kita berhasil mengatasi semua ujian yang Allah berikan dengan baik, maka sorga berikut segala kenikmatan di dalamnya menjadi milik kita. Namun, jika tidak, akibatnya adalah derita. Naudzu billah.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh tertipu dengan dunia yang hanya merupakan tempat ujian dan bersifat sementara. Pasalnya, tempat kita yang hakiki dan abadi adalah akhirat.
Nah, karena keberadaan kita di dunia ini dalam rangka untuk diuji, maka di antara bentuk kasih sayang Allah Dia membekali kita dengan sejumlah perangkat yang membuat kita siap menghadapi ujian tersebut. Seandainya Allah menguji kita tanpa memberikan bekal, perangkat, dan penjelasan, tentu ini merupakan sebuah kezaliman. Namun, Mahasuci Allah dari sifat tersebut.
Kami jadikan ia mendengar dan melihat. Allah membuat kita bisa mendengar dan melihat. Pendengaran dan penglihatan merupakan perangkat dan indera utama manusia. Dua hal inilah yang Allah sebutkan mengingat kedudukan dan fungsinya yang sangat penting. Manusia baru bisa menangkap ilmu pengetahuan, menjangkau dan memahami segala informasi, memilih dan menghadapi ujian yang Allah berikan lewat keberadaan kedua perangkat tersebut.
Di samping itu, ada hal menarik lain pada redaksi di atas. Yaitu ketika Allah mendahulukan kata “mendengar” sebelum “melihat”. Hal sama Allah sebutkan dalam sejumlah ayat lain, misalnya:
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Lalu Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (QS an-Nahl: 78).
Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungan jawab. (QS al-Isra: 36)
Pada kedua ayat di atas dan juga pada ayat-ayat lain yang senada, Allah selalu menyebutkan pendengaran sebelum penglihatan. Di satu sisi ini menunjukkan bahwa dalam menangkap pengetahuan, pendengaran memiliki kedudukan yang lebih penting dan lebih utama. Di sisi lain ia juga menegaskan bahwa indera pendengaranlah yang lebih dahulu berfungsi daripada penglihatan. Bukankah bayi yang baru lahir tidak bisa langsung melihat?! Butuh beberapa waktu baginya untuk bisa melihat meski hanya sekedar bayangan. Hal ini berbeda dengan pendengaran yang bisa langsung berfungsi yang karena itu pula bayi yang baru lahir dianjurkan untuk segera diazani dan diiqamahi.
Setelah memberikan pendengaran dan penglihatan, Allah juga menganugerahkan kepada kita sebuah petunjuk jalan.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur” (QS al-Insan: 3)
Inilah penyempurna dan nikmat paling utama dari seluruh nikmat yang diterima manusia. Menurut Fakhruddin ar-Razi, yang dimaksud dengan jalan lurus di atas adalah petunjuk, akal, nabi, dan kitab suci yang Allah anugerahkan untuk membimbing manusia. Hal ini penting karena meskipun manusia telah diberi pendengaran dan penglihatan, namun tanpa bimbingan dan petunjuk dari Allah manusia takkan bisa menemukan hakikat kebenaran. Tanpa petunjuknya, manusia akan tercerai-berai dan tersesat. Semua akan berjalan sesuai dengan kehendak, kemauan, dan keinginan masing-masing. Oleh sebab itu, jalan lurus hanya berasal dari Allah yang berupa manhaj dan ajaran-Nya. Hanya Dia—sebagai Zat Pencipta—yang mengetahui apa yang mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi manusia.
Setelah Allah menganugerahkan pendengaran, penglihatan, akal dan petunjuk, manusia terbagi dua kelompok besar: ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur. Demikianlah fenomena yang kita saksikan dalam realitas nyata. Ini sekaligus menunjukkan hasil dari ujian yang Allah berikan kepada mereka.
Sikap syukur merupakan respon alami yang muncul dari dalam kalbu kita manakala mendapatkan limpahan nikmat dan karunia. Apalagi, karunia tersebut mengantarkan kepada nikmat berikutnya yang abadi. Dalam kondisi demikian sudah selayaknya manusia bersyukur.
Namun, jika sikap yang ditunjukkan justru sebaliknya. Yaitu ingkar dan tidak mensyukuri nikmat tadi, ini sungguh merupakan sikap yang keterlaluan. Karena itu, tidak aneh kalau bentuk kata yang dipergunakan adalah kafûr yang dalam bahasan Arab dikenal sebagai bentuk mubalaghah (hiperbola). Bentuk tersebut dalam Alquran dipergunakan untuk mereka yang sangat membangkang atau untuk mereka yang tidak pandai membalas budi dan kufur nikmat. Misalnya Allah berfirman, setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (QS al-Isra’: 27)