Teladan Imam Abu Hanifah Biar Tak Lupa Sama Warung Tetangga

 
MASYARAKAT modern saat ini lebih gemar berbelanja di minimarket milik segelintir pemodal besar, ketimbang warung tetangga. Padahal bisa jadi warungnya ini yang menjadi sumber nafkah bagi keluarga dan pendidikan anak-anaknya.
Contoh lain, beberapa orang bersikeras menawar harga sayuran di pedagang kecil yang harganya mungkin hanya ribuan perak. Padahal di kesempatan lain, ia bisa menghabiskan uang hingga ratusan ribu hanya untuk makan di restoran tanpa tawar-menawar atau merasa dirugikan.
Baiknya kita mencontoh perbuatan Imam Abu Hanifah yang berlaku ‘anti-mainstream’ (berbeda dari umumnya) kepada seorang penjual seperti dikisahkan dalam kitab Mausu’atul Akhlaq waz Zuhdi war Raqaiq karya Yasir ‘Abdur Rahman.
Pada suatu hari Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah didatangi seorang perempuan yang membawa pakaian sutra di tangannya.
Perempuan ini berniat menjual pakaian mewah tersebut kepada Abu Hanifah.
“Berapa harganya,” tanya Imam Abu Hanifah.
“Seratus dirham.”
“Tidak. Nilai barang ini lebih dari seratus dirham.”
Sontak pernyataan Abu Hanifah ini membuat si perempuan heran. Lazimnya pembeli selalu menawar barang dagangan dengan harga yang lebih murah, bukan ingin membeli dengan harga yang mahal.
Akhirnya perempuan itu pun melipatgandakan harga pakaian sutranya menjadi empat ratus dirham.
“Bagaimana jika barang itu lebih mahal lagi?” tantang Abu Hanifah.
“Anda bercanda?” Tanya perempuan tersebut tercengang.
“Jika Anda tidak percaya, silakan datangkanlah seseorang untuk menaksir harganya!”
Lalu Perempuan itu akhirnya menghadirkan seorang laki-laki untuk menaksir harga pakaian sutranya.
“Pakaian sutra ini seharga lima ratus dirham,” ungkap si laki-laki.
Imam Abu Hanifah lantas membayarnya kontan dengan harga lima ratus dirham. Abu Hanifah paham, perempuan tersebut menjual pakaian sutranya lantaran dalam kondisi sangat membutuhkan uang

Teladan Imam Abu Hanifah

Cicit Rasulullah saw, bernama Jafar Ash Shadiq ibn Muhammad Al Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain. Beliau ini punya murid yang amat mencintainya. Namanya adalah An Nu’man ibn Tsabit yang mahsyur disebut sebagai Imam Abu Hanifah.
Kecintaannya terhadap ahlu bait (keluarga Rasulullah) amat mendalam. Hingga pada taraf menempuh bahaya dan mengorbankan dirinya untuk melindungi para Ahlu Bait. Yaitu An Nafsuz Zakiyah, Muhammad ibn Hasan dan saudaranya Ibrahim. 
Mereka dikejar-kejar pemerintahan Daulah Abbasiyah, Abu Ja’far Al Mansur karena tuduhan makar. Maka cinta Imam Abu Hanifah pada keluarga Rasulullah saw sungguh tak diragukan.
Tapi bagaimana sikap beliau terhadap syiah?
Suatu hari seorang alim Syi’i mendatangi beliau dan berbicara panjang tentang keutamaan Sayyidina Ali dan kebatilan tiga Sahabat (Abu Bakar, Umar, Ustman) yang dituduh merampas hak Ali.
Maka bertanyalah Abu Hanifah, “Menurutmu siapakah yang terbaik diantara ummat Nabi Musa, apakah sahabat-sahabat Musa?” Jawabnya “Ya”.
” Dan apakah insan terbaik dikalangan ummat Nabi Isa alaihissalam adalah sahabat-sahabat Isa?” lanjut Abu Hanifah. “Betul” ujarnya.
“Inilah yang tak kumengerti tentang Syiah”, seru Abu Hanifah. ” Karena menurut mereka orang-orang terburuk dikalangan ummat Muhammad justru adalah sahabat-sahabat terdekat, mertua dan menantunya!”
Maka terperenjatlah tokoh Syiah itu dan seketika menyatakan taubatnya. Maka beliaupun mengutip gurunya, cicit Rasul, Imam Jafar Ash Shadiq, “Teladan kami dalam mencintai Rasulullah dan keluarganya adalah sahabat Nabi Muhammad saw sendiri!”
Demikianlah Imam Abu Hanifah mencontohkan pada kita cinta yang mendalam pada Ahlu Bait Rasulullah sekaligus pelurusan pada penyimpangan. Ada tenggang rasa terhadap penyimpangan yang harus diluruskan.
Dan kita belajar pada Imam Abu Hanifah dalam meluruskan dengan kesediaan diawal mendengar hingga tuntas, kedalaman ilmunya, dan kekuatan dalam berhujjah.
 
Sumber : Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Jawaban yang Telak

“Hati-hati, nak!” ujar Abu Hanifah pada seorang anak yang berlari dan terjatuh. “Jatuhku ini sembuhnya cepat wahai Syaikh,” sahut si anak, “tapi kalau kau yang tergelincir, umat akan tersesat.”
“Aku takut atas amanah ini!” ujar Umar bin Abdul Aziz setelah diangkay menjadi Khalifah. “Yang kami takutkan justru kami tidak takut!” sahut Imam Asy-Sya’bi
“Dimasa Abu Bakar dan Umar kehidupan makmur dan sentosa, mengapa dimasamu banyak fitnah dan sengketa?” hardik seorang khawaraj. Maka Ali pun menyahut, “Sebab dimasa Abu Bakar dan Umar rakyatnya seperti aku, sedangkan dimasaku rakyatnya seperti kamu.”
“Apa hikmah diciptakannya lalat?” tanya Al Walid ibn Abdul Malik yang sewenang-wenang dalam mengemban kekhalifahan. “Untuk menghinakan para penguasa yang sombong!” sahut Thawus ibn Kaisan Al Yamani.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media