by Danu Wijaya danuw | Sep 15, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Tulisan ini lahir dari kecintaan pada ulama besar
Saya dijapri seseorang untuk menanggapi potongan video dua orang ustadz yang sedang diskusi. Saya tak tahu tema diskusi itu, sebab rekaman videonya tak dari awal majelis.
Tetapi satu hal yg membuat saya terkejut dari diskusi tersebut adalah pernyataan salah satu ustadz tersebut, “Sayyid Sabiq yang dijadikan referensi istri antum itu GA BOLEH DIPAKAI, sebab apa? Sebab Sayyid Sabiq BUKAN FAQIH DI MASJID.”
Benarkah Sayyid Sabiq bukan Faqih, sehingga kitab beliau tidak layak dijadikan referensi?
1. Syaikh Nashr Farid Muhammad Washil Mufti Mesir (1996-2002) mengatakan:
جزى الله الشيخ سيد سابق عن أبناء الأزهر الشريف وشباب هذه الأمة خير الجزاء، فهو بحق فقيه الأمة الذي أكد وسطية هذا الدين، وفك طلاسم الفقه التي كان يصعب على العوام أن يفهموها، فقد قرأنا ونحن في شبابنا كتابه العظيم “فقه السنة” الذي أثرى المكتبة الإسلامية ويسّر الفقه لأبناء الأمة الإسلامية في مصر والعالم العربي والإسلامي، وتُرجم إلى عدد كبير من اللغات التي ينطق بها المسلمون في العالم الإسلامي، فجزاه الله عن الجميع خير الجزاء ورزق أبناءه وذويه الصبر والسلوان، وأسكنه فسيح جناته”.
Semoga Allah membalas Syaikh Sayyid Sabiq dengan balasan terbaik, dari anak-anak al-Azhar dan pemuda dr ummat ini. Beliau benar-benar seorang FAQIH UMMAT yg menegaskan wasathiyah agama ini……”
Lihat: http://ansarda3wa.yoo7.com/t665-topic
Sekelas Mufti Mesir tentu bukan sembarang orang, sebab menjadi mufti di negara yang jadi gudangnya ulama dunia, pengakuan beliau itu jelas dan tegas bahwa Sayyid Sabiq adalah seorang Faqih, dan bahkan sang Mufti memuji kitab Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq.
2. Sayyid Sabiq hafal al-Quran diusia 9 tahun, dan doktor Syariah lulusan Universitas al-Azhar, pernah menjadi dosen di Universitas Malik Abdul Aziz dan Universitas Ummul Qura.
Dengan latar belakang pendidikan Al-Azhar, yang jadi doktor disana itu susahnya bukan main, udah jadi dosen dikampus besar masih dianggap bukan faqih juga?
Lihat: http://alrashedoon.com/?p=600
3. Pada tahun 1994 beliau mendapat penghargaan King Faisal International Prize dalam Fiqh Islami.

Sebuah penghargaan bergengsi didunia Islam atas buku beliau Fiqh Sunnah, kitab yang mendapat pengakuan dunia kok dibilang tidak layak dijadikan referensi.
4. Untuk melihat kapasitas kefaqihan beliau, lihatlah murid didikan beliau yg jadi ulama besar, seperti Dr Yusuf al-Qaradhawi, Dr Ahmad al-Assal, Dr Muhammad ar-Rawi, Dr Abdus Sattar Fathullah, Dr Shalih bin Humaid, dan lainnya.
Ulama yang menghasilkan ulama besar kok dibilang BUKAN FAQIH.
5. Beliau sering dikunjungi kibar ulama al-Azhar untuk didengarkan pendapat beliau
Anak beliau Muhammad mengatakan beberapa masyayikh al-Azhar yang mengunjungi beliau seperti Syaikh Abdul Jalil Isa, Syaikh Manshur Rajab, dan Syaikh al-Baquri.
Kalaulah beliau ulama ecek-ecek dan bukan faqih, gak bakalan masyayikh al-Azhar mendengarkan pendapat beliau.
Terlalu banyak kebaikan, kelebihan dan keistimewaan Sayyid Sabiq, sehingga wajar beliau dihormati ulama besar dimasa beliau, tetapi ketika ada yang tidak setuju dengan beliau bukan berarti boleh seenaknya mengatakan beliau tidak layak dijadikan rujukan.
MARI BERADAB DAN BERETIKA kepada ulama besar, sekalipun kita tidak setuju dalam beberapa masalah dengan ulama besar tersebut.
Wallahu a’lam
Sumber : Grup WA Thifan
by Danu Wijaya danuw | Aug 30, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
HARI raya atau ‘id dalam Islam hanya ada 3, yaitu ‘Idul Fithri ,‘Idul Adha, kemudian yang ketiga adalah Hari Jum’at.
Dinamakan ‘Id, yang bermakna kembali atau berulang, karena memang hari raya tersebut senantiasa kembali dan berulang setiap tahunnya.
Seperti halnya sekarang, waktu terasa berjalan begitu cepat. Betapa tidak, rasanya kita akan merayakan hari raya Idul Adha, dengan prosesi Shalat sunah Idul Adha dilanjutkan penyembelihan hewan Qurban di depan masjid, kemudian dilanjut makan Sate ramai-ramai. Sekarang tinggal menghitung waktu menuju tanggal 10 Dzulhijjah 1438 H, prosesi atau ritual itu akan terulang kembali.
Ada beberapa adab yang harus diperhatikan ketika kita memasuki hari raya, diantaranya adalah :
1. Mandi Sebelum Shalat ‘Id
Ibnul Qayyim dalam Za’dul Maad mengatakan, Nabi mandi pada dua hari raya, telah terdapat hadits shahih tentang itu, dan ada pula dua hadits dhaif.
Pertama, hadits Ibnu Abbas, dari riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat Yusuf bin Khalid As Samtiy. Tetapi telah shahih dari Ibnu Umar –yang memiliki sikap begitu keras mengikuti sunnah- bahwa beliau mandi pada hari raya sebelum keluar rumah.
2. Memakai Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang kami punya, dan berkurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak, hasan)
Nafi’ menceritakan tentang Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu saat hari raya: “Beliau shalat subuh berjamaah bersama imam, lalu dia pulang untuk mandi sebagaimana mandi janabah, lalu dia berpakaian yang terbaik, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang dia miliki, lalu dia keluar menuju lapangan tempat shalat lalu duduk sampai datangnya imam, lalu ketika imam datang dia shalat bersamanya, setelah itu dia menuju masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shalat dua rakaat, lalu pulang ke rumahnya.”
3. Makan Dulu Sebelum Shalat ‘Idul Fitri, Sebaliknya Tidak Makan Dulu Sebelum Shalat Idul Adha
“Pada saat Idul Fitri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berangkat untuk shalat sebelum makan beberapa kurma.”
Murajja bin Raja berkata, berkata kepadaku ‘Ubaidullah, katanya: berkata kepadaku Anas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Beliau memakannya berjumlah ganjil.” (HR. Bukhari No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah, mengatakan, “Kami tidak ketahui adanya perselisihan pendapat tentang sunahnya mendahulukan makan pada hari ‘Idul Fithri.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan janganlah makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu.” (HR. At Tirmidzi No. 542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No. 22984, shahih)
4. Melaksanakan Shalat ‘Id di Lapangan
Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id, kecuali di lapangan (mushalla).
Namun, jika ada halangan seperti hujan, lapangan yang berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam masjid.
Dikecualikan bagi penduduk Mekkah, shalat ‘Id di Masjidil Haram adalah lebih utama.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata, “Shalat Id boleh dilakukan di dalam masjid, tetapi melakukannya di mushalla (lapangan) yang berada di luar adalah lebih utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti hujan dan semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali sekali karena adanya hujan.”
Dari Abu Hurairah, “Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat ‘Id bersama mereka di masjid. (HR. Abu Daud)
5. Dianjurkan Kaum Wanita dan Anak-anak Hadir di Lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari raya mesti disambut dengan suka cita. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan: “Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi, tua renta, dan juga wnaita haid.”
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata: “Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul Fitri dan idul Adha.
“Ada pun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat. Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dan ini lafaznya Imam Muslim).
by Danu Wijaya danuw | Mar 14, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Doa merupakan salah satu hal yang sering kita lakukan. Melalui doa, seorang Muslim mencurahkan segala keinginannya kepada Sang Khalik agar Dia mau mengabulkan apa yang kita inginkan. Hanya saja, banyak dari kita yang belum terkabulkan doanya. Mengapa demikian?
Selain karena kurangnya keimanan dan ketakwaan, juga banyaknya dosa pada diri kita. Sebab tidak terkabulnya doa itu mungkin diakibatkan, kita yang tidak memperhatikan bagaimana adab yang baik ketika berdoa. Lalu, seperti apa adab yang baik ketika berdoa?
1. Diawal ketika memulai berdoa, hal pertama yang harus dilakukan ialah istighfar dan memohon ampun kepada Allah.
Ya, ini sebagai wujud dari rasa penyesalan kita yang belum mampu menjadi hamba terbaik bagi-Nya. Dan ini juga membuktikan wujud penghambaan kita kepada-Nya dengan memposisikan diri sebagai makhluk dan Allah sebagai Khalik.
2. Mengucapkan pujian kepada Allah swt dan bershalawat kepada Nabi Muhammad saw
Hanya karena Allah suatu pemberian rahmat dan ampunan diberikan. Dengan memberikan sanjungan dan pengagungan sesuai dengan kedudukan Allah Yang Mahasuci. Kemudian bershawalat kepada Nabi saw atas pengorbanannya dalam menegakkan Islam dan berharap syafaatnya.
Dari Fadhalah bin ‘Ubad Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk-duduk, masuklah seorang laki-laki. Orang itu kemudian melaksanakan shalat dan berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah (dosaku) dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.’
Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau telah tergesa-gesa, wahai orang yang tengah berdo’a. Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat lalu engkau duduk berdo’a, maka (terlebih dahulu) pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bershalawatlah kepadaku, kemudian berdo’alah.’
Kemudian datang orang lain, setelah melakukan shalat, dia berdo’a dengan terlebih dahulu mengucapkan puji-pujian dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai orang yang tengah berdo’a, berdo’alah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan do’amu. (H.R. Tirmidzi no. 3476 dan Abu Dawud 1481, dishahihkan Al Bani)
3. Bersyukurlah kepada Allah
Bersyukur atas segala nikmat yang telah Anda peroleh dari-Nya. Baik itu dalam kesehatan, kemampuan menjalani kehidupan, maupun hal-hal lain yang menjadi kelebihan kita. Ini merupakan wujud terima kasih kita kepada Sang Khalik atas kemurahan yang telah Dia beri.
4. Bersungguh-sungguh dalam berdo’a
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian berdo’a maka hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam permohonannya kepada Allah dan janganlah ia berkata, ‘Ya Allah, apabila Engkau sudi, maka kabulkanlah do’aku ini,’ karena sesungguhnya tidak ada yang memaksa Allah.”
5. Barulah setelah keduanya dilakukan Memohon apa yang Kita inginkan.
Namun kita harus ingat, jangan berdoa dengan kesan perintah. Sebab, kembali lagi kita harus ingat bahwa Allah itu bukan pesuruh kita. Maka, berdoalah secara baik, layaknya seorang hamba yang memohon kepada tuannya.
Wallahu ‘alam.
Diolah dari H. Komarawandana, M.M., Sekolah Tinggi Agama Islam DR KHEZ Muttaqien Purwakarta dan Dosen Universitas Islam Negeri Bandung Sunan Gunung Djati
by Danu Wijaya danuw | Jan 21, 2017 | Artikel, Dakwah
Kita seringkali menjumpai dalam pergaulan atau ketika membaca komentar di acebook atau situs berita, akan ditemukan banyak sekali orang yang berkomentar dengan kasar, kotor, jorok, menghujat, mencaci-maki, cabul dan sebagainya, seakan-akan merekalah yang paling benar.
Padahal Rasulullah telah mencontohkan kepada kita adab berbicara yang baik. Betapa lembut dan santunnya Rasulullah. Sehingga masing-masing lawan bicaranya Rasulullah merasa dia yang paling di muliakan. Muslim sejati akan berbicara sopan, santun, tidak menyakiti hati orang lain, dan selalu mengenakkan dalam berbicara atau berkomentar.
Dalam berbicara dengan lawan bicara, kita harus menggunakan tata karma dan tutur kata yang baik. Kaum Muslim di didik dengan ajaran agama rahmatan lil’alamin (menebar kasih sayang terhadap sesama) dan mengutamakan akhlak mulia (akhlaqul karimah).
Muslim sejati akan berbicara sopan, santun, tidak menyakiti hati orang lain, dan selalu mengenakkan dalam berbicara atau berkomentar.
Muslim yang baik itu bersikap “dewasa”, sabar, tenang, hatinya penuh dengan dzikir, hatinya bersih, cool, calm, tidak emosional, tidak suka menghujat, dan anti-kekerasan.
Melalui Rasulullah Saw, ajaran Islam mengajarkan kepada setiap kaum mukmin agar berkata yang baik saja atau diam. Qul khoiron auliyashmut. Berkata yang baik atau diam.
Sebagaimana Sabda Nabi saw, dari Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam” (H.R. Bukhari Muslim)
Firman Allah ta’ala, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [Al-Ahzab : 58]
Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi saw bersabda, “Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang muslim yang paling baik ?’ Beliau menjawab, “Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya”.
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk jika sampai menghina saudaranya sesama muslim. Seorang muslim wajib manjaga darah, harta dan kehormatan orang muslim lainnya” (H.R. Muslim)
Allah berfirman dalam kitabNya, “Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.” (QS. Al-Hujarat: 12).
Rasulullah Saw juga menegaskan, orang beriman itu tidak suka mencela, melaknat, berkata-kata keji dan berbicara kotor.
“Bukanlah seorang mukmin : orang yang suka mencela, orang yang gemar melaknat, orang yang suka berbuat atau berkata-kata keji, dan orang yang berkata-kata kotor/jorok” (HR Bukhori, Ahmad, Al-Hakim, dan Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud).
Semoga kita diberi kekuatan untuk menjadi Muslim yang Baik. Adab Nabawi dalam berbicara adalah berhati-hati dan memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan lebih baik diam.
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Sep 29, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Al-Laits bin Sa’ad berkata kepada para ahli hadist : “Pelajarilah kesantunan (adab) sebelum engkau mempelajari ilmu.”
Apalah artinya ilmu, jika tidak dibarengi dengan adab yang baik. Apalah gunanya qur’an dan hadist yang dihafal, jika tak membuahkan akhlak yang mulia. Menjadi mukmin yang baik bukan sekedar memperkaya diri dengan ilmu, tapi yang lebih penting bagaimana menghias diri dengan akhlak yang baik.
Membekali diri dengan ilmu memang merupakan perkara yang penting. Akan tetapi mendidik diri agar memiliki adab yang baik merupakan perkara yang lebih penting.
Ibnu Wahab berkata : “Adab yang kupelajari dari Imam Malik lebih baik dari ilmu yang kupelajari darinya.”
Salah seorang salaf berkata kepada Ibnul Mubarak : “Kebutuhan kita pada adab lebih penting daripada kebutuhan kita pada ilmu.”
Ibnul Mubarak berkata : “Aku mempelajari adab selama 30 tahun, dan aku mempelajari ilmu selama 20 tahun.
Imam Syafi’i berkata : “Yang dikatakan ilmu bukanlah yang dihafal, akan tetapi yang disebut ilmu adalah yang bermanfaat.”