by Danu Wijaya danuw | Sep 21, 2017 | Artikel, Dakwah, Sejarah
Masyarakat Arab sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan kalender qamariyah (kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal. Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal.
Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.
Hanya saja masyarakat jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal dan bulan, tapi tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu.
Kita kenal ada istilah tahun gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah.
- Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar.
- Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang.
- Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan, semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.
Keadaan semacam ini berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
Ketika itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
- Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah.
- Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik.
- Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Ali Imran, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud.
- Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena perang khandaq. Dst.
(Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret 2005)
Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah.
Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah.
Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:
إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Kemudian Umar mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:
ضعوا للناس شيئاً يعرفونه
“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”
Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi. Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qornain (Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:
Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muhajirin dan anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.”
Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.”
Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.
Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama (al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi).
Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi Muhammad saw yang menjadi acuan?
Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:
أن الصحابة الذين أشاروا على عمر وجدوا أن الأمور التي يمكن أن يؤرخ بها أربعة، هي مولده ومبعثه وهجرته ووفاته، ووجدوا أن المولد والمبعث لا يخلو من النزاع في تعيين سنة حدوثه، وأعرضوا عن التأريخ بوفاته لما يثيره من الحزن والأسى عند المسلمين، فلم يبق إلا الهجرة
Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam kalender ada empat:
- Tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
- Tahun ketika diutus sebagai rasul,
- Tahun ketika hijrah
- Dan tahun ketika beliau wafat.
Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu.
Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau (Fathul Bari, 7:268).
Abu Zinad mengatakan:
استشار عمر في التاريخ فأجمعوا على الهجرة
“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk kalender Islam. Mereka sepakat mengacu pada peristiwa hijrah (Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150)
Karena hitungan tahun dalam kalender Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya kalender ini dinamakan kalender hijriah.
Penentuan Awal Bulan : Muharram, serta Alasannya
Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama.
Pada musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam kalender Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:
- Muharam merupakan bulan pertama dalam kalender masyarakat Arab di masa masa silam.
- Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah.
- Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua.
(simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268)
Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki kalender resmi, yaitu kalender hijriyah, dan bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut.
Wallahu a’lam
Sumber : Konsultasi Syariah
by Danu Wijaya danuw | Nov 30, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Rasulullah bersabda, “Sebaik lelaki adalah yang paling baik perilakunya pada istri. Akulah yang terbaik pekerti pada istriku.” Dalam riwayat Tirmidzi yang lain lagi, “Tidaklah memuliakan wanita, kecuali lelaki mulia. Dan yang menghinakan wanita, pasti lelaki hina.”
Lelaki tercinta bagi wanita, yang kemarahannya tak mengunci pintu maaf. Lelaki tershalihan bagi wanita, bukan yang sekedar banyak ilmu agama dan rajin ibadahnya, tapi juga yang paling mulia akhlaknya dan kedua hal itu teterjemah dalam kepribadiannya.
Lelaki hebat berjuang melampaui wataknya. Seperti Abu Bakar yang bersifat lembut, tetapi teguh dan tegas. Seperti Umar bin Khattab yang bersifat keras, tetwpi paling penyayang pada umat yang dipimpinnya.
Lelaki mengagumkan itu sempurnakan karakternya. Seperti Ustman bin Affan yang sangat pemalu, tetapi egonya diruntuhkan sikap kedermawanannya. Seperti Ali bin Abi Thalib yang periang dan cerdas, dia singa saat perang tetapi rahib di gelap malam.
Lelaki bahagia adalah Salman, cinta tak bersambut bukan kepedihan. Dia dukung Abu Darda’ sahabatnya, menikahi gadis yang dicintainya. Bukan memusuhinya.
Lelaki Adil itu Abu Ubaidah, musuh yang ditaklukannya pun berkata “Kami lebih suka kalian kalahkan daripada menang bersama Byzantium.”
Lelaki teliti itu Khalid bin Walid, “Tak kulewati lembah, bukit, sungai, dan apapun tempat, melainkan kupikir strategi yang kupakai disana!”
Lelaki jujur itu Mubarak, tiga bulan menjaga kebun anggur tak tahu beda matang, busuk dan ranum sebab tak sekalipun dia mencicipi. Mubarak lelaki lugu itu diambil menantu oleh tuannya, sebab kebaikan agama. Lalu lahirlah putranya sang alim zahid mujahid, Abdullah.
Lelaki hati-hati itu Idris, ayah Imam Syafi’i yang tak sengaja makan delima terhanyut. Lalu rela menikahi gadis buta tuli bisu pemiliknya demi halalnya.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Danu Wijaya danuw | Nov 27, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Romantis adalah ketika Nabi saw dan Aisyah menonton tarian Habasyah berdua, angkat istri dalam pelukan, pipi menempel pipi.
Romantis adalah ketika Ali yang dimarahi Fatimah, terkunci tak bisa masuk kerumah saat pulang. Lalu tidur diserambi masjid berlumur debu.
Romantis adalah saat suami bangunkan istri, istri bangunkan suami. Saling cipratkan air wudhu lalu mencium dengan senyum. Yuk, shalat tahajud.
Romantis adalah ketika semua bertakbir mendengar surah An Nashr, namun Abu Bakar menangis takut kehilangan sang Nabi usai tugasnya.
Romantis adalah ketika Ibrahim alaihissalam bergembira atas kelahiran anaknya yang dinantikan puluhan tahun. Lalu Tuhan berseru, “Tinggalkan ia dan ibunya dipadang sahara.”
Romantis adalah ketika saat Ibrahim tak mampu jawab istrinya, mengapa mereka ditinggalkan. Lalu sang istri berkata, “Jika ini adalah perintah Allah, maka sungguh Ia takkan menyia-nyiakam kami.”
Romantis adalah saat harta, tahta, dan isi kerajaan Persia dihamparkan dihadapannya, Umar bin Khattab menangis, “Jika ini baik, mengapa tak terjadi dimasa Nabi dan Abu Bakr?”
Romantis adalah ketika Ustman bin Affan dikabarkan masuk surga, disertai bencana dan tumpah darahnya. Lalu dia berkata, “Alhamdulillah, tsumma tawakaltu.”
Romantis adalah saat satu persatu harta Nabi Ayyub ‘alayhissalam binasa, anak-anaknya mati, dan dirinya dilanda sakit yang merontokkan badan. Doa Ayyub, “Sisakan hatiku untuk mengingatMu.”
Romantis adalah saat Musa ‘alayhissalam memberi minum kambing-kambing dua gadis penggembala, lalu salah satunya menyebutmu pada ayahnya sebagai orang yang kuat dan terpercaya.
Romantis adalah saat Nabi Zakaria ‘alayhissalam menunggu karunia keturunan hingga uban, keriput dan uzur serta istrinya mandul. Akan tetapi dia hamil dengan kehendak-Nya.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Lia Nurbaiti Lia Nurbaiti | May 10, 2016 | Artikel, Sirah Shahabiyah
Oleh: Lia Nurbaiti
Sosok Fatimah binti Asad Dimata Para Sahabat Nabi SAW
Setelah Ali bin Abu Thalib menikah dengan Fatimah putri Rasulullah saw, Fatimah binti Asad menjalankan tugas sebagai ibu kandung dan ibu mertua dengan baik. Ia sangat menyayangi menantunya. Bahkan, ia membantu Fatimah binti Muhammad dalam menyelesaikan ekerjaan rumah tangga.
Pada suatu kali, Ali bin Abu Thalib ra. menuturkan, “Aku pernah berkata kepada ibuku (Fatimah binti Asad), ‘Biarkan Fatimah yang mengambil air dan berbelanja, ibu yang membuat tepung dan bubur’.”
Saatnya Berpisah
Fatimah binti Asad menjalani hidupnya dengan iman dan tauhid. Ia adalah seorang wanita yang taat lagi rajin beribadah. Hingga akhirnya Allah memanggilnya kembali pada-Nya. Fatimah binti Asad ra. meninggal dunia. Ia dimakamkan di Madinah dan Rasulullah sendiri yang masuk ke dalam liang lahatnya dan menguburkannya. Sungguh ini merupakan satu kemuliaan tersendiri.
Rasulullah begitu kehilangan atas kepergian Fatimah binti Asad yang beliau sebut sebagai Ibu keduanya itu.
Tapi begitu indahnya kepribadian dan akhlak Rasulullah saw, ia ingin menunjukkan sikap balas budi terhadap Fatimah binti Asad yang telah merawatnya sejak kecil.
[Baca juga: Fatimah binti Asad: Wanita yang Mendidik Nabi Setelah Wafatnya Sang Kakek (bagian 2)]
Ibnu Abbas ra. menuturkan, “Ketika Fatimah ibunya Ali bin Abu Thalib wafat, Nabi melepas gamisnya dan memakaikan kepadanya. Beliau rebahan di dalam kuburannya. Ketika beliau menimbunnya dengan tanah, sebagian sahabatnya bertanya, “Ya Rasul, belum pernah engkau melakukan ini sebelumnya”. Beliau menjawab “Gamisku kupakaikan kepadanya supaya dia memakai pakaian surga. Aku rebahan di dalam kubur di sisinya, agar dia diringankan dari tekanan kubur. Selain Abu Thalib, tiada yang lebih baik perlakuannya terhadapku daripada dia.” (HR.Thabrani) .
Begitulah kisah mulia dari seorang wanita mulia, berakhlak surga dengan segala keindahan imannya. Semoga Allah meridhainya dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.
Referensi:
35 Sirah Shahabiyah jilid 2, Mahmud Al Mishry.
by Ahmad Sodikun S.Pd.I. ahmadsodikun | Jan 13, 2016 | Artikel, Ringkasan Taklim
Kajian Kontemporer Majelis Taklim Al Iman
Bersama:
KH. DR. Ali Akhmadi, MA, Al-Hafizh.
Ahad, 3 Januari 2016
Pkl. 18.00-19.30
Di Pusat Dakwah Yayasan Telaga Insan Beriman
Jl. H. Mursid No.99B, Kebagusan, Jakarta Selatan.
Mencermati kehidupan manusia paling mulia Rasulullah SAW:
- Mendapatkan wahyu mulai umur 40 tahun
- Singkatnya waktu dalam melaksanakan tugas dakwah, hanya 23 tahun
Keberkahan umur yang Allah berikan sehingga dalam waktu yang relatif lebih singkat dapat melaksanakan berbagai tugas yang banyak dan berat dibanding nabi-nabi pendahulunya
Kewajiban kepada umat Muhammad SAW relatif lebih sedikit dibanding umat terdahulu, namun kualitasnya menyamai umat terdahulu
Kewajiban shalat 5 waktu ditambah shalat sunah yang mengiringinya hampir sama jumlahnya bahkan lebih dari kewajiban 50 waktu umat terdahulu
Berbicara waktu adalah berbicara tentang:
Al Waktu Huwal Hayah (Waktu adalah Kehidupan)
Kehidupan adalah lembaran (al-waktu shafahatun), seperti halnya buku, kita tuliskan didalamnya cerita tentang kehidupan. Dan kelak buku itu akan dibacakan kembali.
Semua hal yang kita lakukan baik amal sholeh maupun amal buruk akan ditulis. “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir” (QS. Qoff: 16-18)
Anggota badan akan menjadi saksi atas perbuatan yang dilakukan semasa hidup. “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Yasin:65).
Perbuatan yang dahulu dilakukan ketika didunia akan ditunjukkan bekas-bekasnya. “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12).
Yang selalu berbuat baik akan dihisab dengan mudah serta merasa senang dan puas dengan buku catatannya. (QS. Al Insyiqaq: 7)
Sebaliknya yang selalu berbuat jahat dan dzalim terhadap dirinya akan dimasukkan kedalam neraka dan menyesal sesal-sesalnya. (QS. Al Insyiqaq: 9-11)
Al Waktu Huwas Saif (Waktu Adalah Pedang)
Pedang yang tidak digunakan akan tumpul dan berkarat. Begitu juga dengan waktu yang kita miliki jika tidak digunakan untuk kebaikan ia akan menjadi sulit untuk merangkum berbagai kebaikan.
Sahabat Ali ra berkata: alwaktu kassaif fa in lam taqtaha’u qatha’aka [waktu seperti pedang jika kamu tidak menggunakannya untuk memotong (berbuat kebaikan) maka waktu akan memotongmu (menjadi penyesalan)]
Kelak amal-amal baik akan menjadi teman yang setia hingga menghadap Rabbnya.
Amal buruk akan menjadi beban dan penyebab siksa neraka
Al Waktu Huwal Fulus (Waktu adalah Uang)
Orang barat menganggap “time is money” maksudnya waktu adalah penghasilan
Waktu yang sudah kita lewati menghasilkan apa?
Yang menguntungkan? Atau merugi?
Sahabat pernah bertanya “mata sa’ah” (kapan hari kiamat) Rasulullah menjawab “madza a’dadta lahaa” (apa yang telah kamu persiapkan untuknya?).
Orang yang pandai adalah yang menundukkan jiwanya dan beramal untuk kehidupan setelah mati
Bagi orang beriman tentulah memahami pentingnya waktu, setiap detiknya harus menghasilkan. Dua rakaat sebelum shubuh misalnya keutamaannya menyamai kebaikan sebesar dunia dan seisinya. Belum lagi fadhilah dari dzikir, sadaqah dan lain sebagainya yang masih bisa digandakan sesuai kehendak Allah SWT.
Waktu adalah modal yang paling utama dalam kehidupan ini. Modal yang Allah berikan sama dengan
1 hari = 24 jam
1 pekan = 168 jam
1 bulan = 720 jam
1 tahun = 8640 jam
Begitu juga yang diberikan kepada Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Yang membedakan adalah keberkahan dari waktu tersebut.
***
Majelis Taklim Al Iman
Tiap Ahad. Pkl. 18.00-19.30
Kebagusan, Jakarta Selatan.
Jadwal Pengajian:
● Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
● Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
● Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.
•••
Salurkan donasi terbaik Anda untuk mendukung program dakwah Majelis Ta’lim Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya